Bogor, 16 Februari 2016
Dear, My Friend! Boo ...
Jujur, rasanya masih sulit untukku menerima kepergian Zara, Boo. Zara, si gadis periang, teman pertamaku.
Aku menyandarkan punggung pada batang pohon sembari menatap langit. Berharap dari atas sana Zara tersenyum melambaikan tangannya, menyapaku dan mengatakan aku sudah bahagia. Hah, bodoh, itu takkan terjadi.
Apa aku merasa bersalah atas berita kematian Zara? Oh jelas.
Bahkan karena berita ini aku rela membolos pelajaran terakhir. Aku butuh waktu, untuk menenangkan diriku sendiri.
Aku menepuk bahu Melvin usai menulis.
"Dia meninggal karena apa? Sakit?"
Melvin menggelengkan kepalanya usai membaca tulisanku. "Dia dibunuh."
Aku melotot. Dibunuh? Siapa?
"Ayah angkatnya."
"Kenapa?" tanyaku menggunakan bahasa isyarat.
"Polisi bilang karena pria tua itu mabuk hingga emosinya tidak stabil lalu membunuh putrinya sendiri."
Hanya itu? Masuk akal sih tapi sedikit mengganjal. Orang mabuk biasanya kan–nggak, nggak mungkin Zara diperlakukan seperti itu sebelum dibunuh. Aku sontak menggelengkan kepala. Tapi tunggu, Melvin bilang apa tadi ....
"Polisi? Dia sekarang dipenjara?" tanyaku lagi dengan menggerakkan kedua tanganku.
"Iya. Pria tua itu dipenjara, 15 tahun."
Aku menghela napas lega. Setidaknya pelakunya sudah tertangkap.
"Oka."
"Ya?"
"Mau membantuku tidak?"
"Apa?"
"Jadi temanku."
Aish, permintaan itu lagi. Aku menggelengkan kepala dan menarikan jemari membentuk kata. "Tidak."
"Sebagai imbalannya, kuantar kamu ke makan Zara."
Aku sontak menatap Melvin, ragu. Benarkah? Dia tidak membual kan?
"Janji! Sebagai jaminannya, kamu bisa memukulku sepuasmu jika nantinya aku tak menepatinya. Tapi ... jadi temanku dulu."
Jadi temannya? Jika dipikir-pikir, tidak buruk juga.
Aku menyatukan ujung jari telunjuk dan ibu jari lalu menarikan tangan membentuk kalimat. "Dengan satu syarat."
"Oke, apa? Apa?" tanya Melvin sangat bersemangat, matanya pun sampai berbinar.
"Bantu aku menyingkirkan orang seperti Selly."
Melvin diam.
Apa itu artinya ... Melvin tidak mau?
Semenit.
Dua menit.
Tiga menit.
Aku menunduk kecewa, baiklah, sepertinya memang tidak.
Baru aku hendak memainkan jemari tangan membentuk tarian kecil. Melvin sudah lebih dulu bersuara.
"Kenapa disingkirkan? Kenapa tidak dibantu menjadi manusia baik saja?"
Kali ini aku yang diam.
"Tanpa kamu meminta bantuanku, kurasa kepala sekolah sudah lebih dulu bertindak."
Iya juga ya.
Kenapa aku tidak terpikirkan?
Aku langsung menarikan jemariku. "Baiklah, bantu aku menjadikan mereka manusia baik tanpa paksaan."
Melvin tersenyum. "Dengan senang hati, tuan putri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, My Friend!
Teen FictionIni bukan kisah romansa remaja yang berujung manis ataupun persahabatan yang penuh aksi seru. Ini cerita tentang keluh kesah Asmaraloka-gadis tunawicara yang mengeluhkan hari harinya pada sebuah buku purple hadiah dari ayahnya diulang tahunnya yang...