01. Who are u?

61 5 1
                                    

Happy reading


Rasaku yang perlahan memudar kini tak lagi merindu,
Walau hubungan kita terkadang menyatu namun, kini sudah kupastikan bahwa kau tak lagi menempati tahta asmaraloka yang kumiliki,
Kini kita berada diambang kecanggungan yang membelenggu, mengikat kita pada rasa asing
Sempat kutemui tatap sendu milikmu yang dulu membara menatapku bagai anala,
lupakan saja aku,
Jangan terlalu terikat pada rasa sia-sia yang terpaku pada kalbu semu ku.
Kita sudah tak lagi bisa saling merajut kasih,
Hatiku sudah kosong seutuhnya

12:22
Dandelion—

Aku tidak bermaksud untuk cepat-cepat pergi atau tidak berkenan mengulur waktu, hingga menunggu kedatangan bus selanjutnya. Sebab, ada hal genting dan aku tidak punya banyak waktu. Meminimalisir keterlambatan adalah alasanku mengakhiri jumpa yang entah kesekian kalinya itu. Padahal, sejujurnya aku punya banyak pertanyaan untuk dilontarkan.

Buku catatan bahasa Indonesia milikku baru saja kembali ke tanganku setelah dihantarkan oleh seorang pemuda yang bernama Kenzo. Dari mana aku bisa tahu namanya adalah Kenzo padahal, aku belum sempat berkenalan dengannya? Aku adalah dukun, bercanda. Aku tidak bodoh. Jelas-jelas itu tertulis di seragamnya.

Pria dengan tinggi, kira-kira berkisar 170cm, wajah tampan dengan rahang tajam, hidung mancung, kulit putih, muka blasteran, dan bagian yang paling aku suka, bibir yang sempurna. Entah mengapa Kenzo terus mengusik pikiranku. Kenzo selalu saja terlintas, sudah berapa kali pun aku mengalihkannya.

Jumat sore ini adalah kali keduanya aku bertemu dengannya di halte bus yang sama. Bedanya, kali ini dia bergerak, alias tidak mematung. Kenzo yang mengembalikan buku milikku yang katanya jatuh. Hanya sempat mengatakan terimakasih saja tadi.

Kenapa aku menyebutkan kesekian kalinya sebab, halte bus bukan menjadi tempat satu-satunya aku bisa menemukan laki-laki bernama Kenzo. Kantin, perpustakaan, dan lapangan sekolah juga pernah. Apakah saling menegur saat jumpa? Tentu tidak.

Senin. Sama seperti hari ini, bahkan nyaris mirip. Di halte bus yang sama dan jam yang sama. Kami sedang sama-sama menunggu bus datang di halte depan sekolah. Tidak ada suara saat itu karena dia adalah orang asing bagiku meski satu sekolahan. Anehnya saat bus datang Kenzo tidak ikut naik ke dalam bus padahal kursi bus masih belum penuh. Lalu aku berasumsi kalau dia menunggu dijemput oleh keluarganya, mungkin ayah, ibu atau kakak.

Selasa. Di perpustakaan aku menemukannya lagi. Pagi itu di antara rak-rak buku yang tinggi. Sangat tidak asing bagiku meski demikian aku baru sekali melihat dia. Hidung mancungnya itu ciri khasnya. Dari kejauhan aku memandangi nya, bersembunyi diantara rak-rak buku yang menjulang. Itu bukan karena aku pendek, memang rak nya saja yang tinggi. Mungkin aku terlalu lama memandanginya hingga dia tersadar dan menatapku. Jelas aku jadi salah tingkah. Siapa yang tidak salah tingkah saat tertangkap basah diam-diam memandangi orang lain? Aku langsung meninggalkan perpustakaan saat itu.

Rabu. Ketika di jam pelajaran olahraga. Aku sedang berada di lapangan sekolah tentunya dan aku bisa melihat siapa saja yang ada di lapangan sekolah. Termasuk Kenzo. Dia tak sedang berolahraga juga, dia hanya sedang duduk di pinggiran lapang sambil membaca buku. Entah apa maksudnya dia memilih membaca buku di sana. Apakah sebenarnya Kenzo menunggu waktu gilirannya disenter sebuah bola?.

Kamis. Siang itu aku sedang berdesakkan dengan manusia-manusia yang sedang menjelma menjadi zombie-zombie yang kelaparan. Saling berteriak memesan menu makan dan minuman, sudah jelas ini di kantin sekolah. Di tempat umum ini lagi-lagi aku menemukan Kenzo. Sama seperti sebelumnya, aku melihatnya sedang sendirian. Kenzo, sedang menyantap bakso dengan khusyuk tanpa seorang teman disampingnya. Kemana teman-temannya? Dan lagi-lagi aku terhanyut dalam suasana sampai akhirnya aku kena demo oleh zombie— orang lain.

12:22 dandelion Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang