T (Temuan sebuah lukisan)

560 245 406
                                    

Malam ini, cahaya bulan sedang ditutup rapat oleh sekumpulan awan dan bintang pun ragu untuk menampilkan cahaya di langit yang gelap. Suara burung hantu terdengar oleh telinga dua orang pria yang sedang mengitari lingkungan sekolah, satu diantara mereka tengah memegang senter dan satunya menyalakan saklar lampu di tiap-tiap sudut sekolah.

Angin malam berhembus mengenai permukaan kulit mereka, sering kali mereka mengeluh dengan keadaan yang memaksa mereka bekerja hingga larut malam. Suara langkah kaki yang menjadi lantunan musik, turut meramaikan suasana sekolah yang sepi. Bohlam lampu koridor ruang bk -bimbingan konseling- berkedip sesaat setelah mereka lewati, tanpa disadari seorang anak duduk ditangga memperhatikan mereka.

Krekk...

Suara knop pintu yang dibuka, ruangan berlebel seni dimasuki oleh mereka, pria yang tengah memengang senter itu menyoroti tiap sudut ruangan dan menyalakan lampu agar ruangan ini hidup. Lampu itu terus berkedip seakan tak mau menyala. Pria itu mengambil ponsel di saku celananya yang terus berdering tanpa henti, sebuah telepon dari orang bernama Mang Kiding.

"Halo."

"Mang, aing teu asup nya ker meriang ti kamari iye geh, hampura."

Telepon itu berhenti bersamaan senter yang digengam oleh Mang Senud mati. Suara piano yang dimainkan dari sudut ruangan terdengar ditelinga, dilanjut suara drum yang dipukul, dan gitar yang dipetik. Dari kejauhan di atas lemari sesosok wanita tersenyum ke arahnya, Mang Senud merasa ada yang janggal dari ruangan ini langsung menarik tangan rekannya. Namun, ketika ditarik keluar ia merasa sedang menarik sebuah benda berat lalu ketika menoleh, sesosok genderuwo duduk di sampingnya menatap gengaman tangan Mang Senud. Di saat itu juga dengan keadaan sadar dan penuh kepasrahan Mang Senud membaca Ayat Kursi sebagai perantara agar dilindungi oleh Allah swt., dan ketika bacaannya selesai makhluk itu menghilang bersamaan wanita yang duduk di atas lemari. Bukan hilang selamanya, melainkan hilang dari pandangannya.

"Alhamdulilah." Ucap Mang Senud, lalu pergi keluar dari ruang seni.

Sementara itu di ruang sebelahnya, ruangan PMR. Sebuah kursi terlihat melayang dan jatuh ketika Mang Senud membacakan Ayat Kursi.

Keesokan paginya, 18 September

"Sekolah ini ada hantunya!" Kata Widya, mengamati sekeliling ruangan di dalam kelas XII MIPA 1 yang baru saja ia masuki lima menit sebelumnya. Bulu di tengkuknya tegang, seakan ada tangan iblis yang dingin menyentuhnya.

"Kamu tahu dari siapa, Wid?" Tanya Hermawan, yang baru saja tiba dan tak sengaja mendengar obrolan para perempuan penyuka gosip ini. Mustahil bagi lelaki ini untuk percaya dengan hantu sebab ia sendiri belum pernah melihatnya secara langsung.

Hermawan menaruh tasnya di belakang meja Azril, ia masih penasaran dengan cerita temannya. Widya menatap wajah Hermawan penuh keyakinan, sorot mata yang tajam tak membuat Hermawan gentar menunggu hasil pertanyaannya. Sedangkan dari ambang pintu seorang gadis berkacamata dengan tubuh yang sedikit bulat memperhatikan kedua temannya yang sedang bertatapan.

"Denger dari kelas sebelah, katanya semalam Mang Senud lihat ada genderuwo di ruang seni dan wanita bermulut sobek tengah duduk di atas lemari." Desis Widya. Ia celingak-celinguk mengamati ke segala arah. Khawatir pembicaraannya terdengar oleh guru apalagi Mang Senud yang mengalami kejadian tersebut. Ia dipesan agar tak menyebarkan berita ini oleh teman dari kelas sebelah yang sedang bergosip di kantin sekolah.

Sebelum Hermawan menyanggah jawaban Widya, bel masuk berbunyi dan lagu Indonesia Raya diputar melalui speaker yang dipasang dititik-titik tertentu.

"Ada tugas dari Bu Dini buat mempelajari materi isomer rangka. Buat materinya udah gua kirim digrup kelas." Seru Syabina dengan suara melengking, bagaikan teriakan burung Elang.

Mendengar hal itu semua anak-anak di kelas langung menuruti perintah Ica atau mungkin lebih tepat dengan perintah Bu Dini. Widya yang asik melanjutkan gosip mengenai ada hantu di sekolah pun belum usai, Hermawan hanya menarik napas mendengar omong kosong dari temannya, sedangkan Ayuni lagi-lagi memperhatikan Widya dari arah bangkunya.

Beberapa jam kemudian, bel pergantian jam berbunyi. Pak Alno selaku guru seni budaya menyuruh mereka pergi ke ruang seni untuk belajar di sana. Namun, karena beberapa anak yang masih parno dengan gosip yang dibicarakan, mereka enggan pergi ke sana.

"Gila aja disuruh pergi ke ruang seni, padahal semalam ada genderuwo!" Seru Nadia, teman sebangku Widya yang ikut mendengarkan gosip tadi.

Hermawan selaku ketua kelas pun ditunjuk sebagai bahan uji coba untuk pergi ke ruang seni, dan ia benar-benar menyanggupinya.

"Baiklah, kalau aku tidak kembali selama lima menit kalian menyusulku ke ruang seni dan belajar. Tetapi jika aku kembali dengan tergesa-gesa maka kita tetap berada di dalam kelas."

"Oke!" Serempak semua anak perempuan mengatakannya, anak lelaki menunggu di luar kelas, menunggu kedatangan Hermawan.

Wajahnya yang tak terlalu bulat dan kedua bola matanya yang agak sipit, membuat lelaki ini terlihat sangat kesal sekali. Namun, wibawa sebagai pemimpin kelas masih besar dan kuat. Rambutnya yang tersisir rapih ke kanan. Licin sekali, seperti memakai minyak rambut setiap jamnya.

Krekk...

Suara knop pintu yang dibuka, ruangan yang berlebel ruang seni itu dibuka oleh seorang lelaki pendek yang memegang buku, duduk diam selama lima menit kemudian disusul oleh teman-teman kelasnya. Anak perempuan yang khawatir hantu itu muncul kerap membaca Ayat Kursi di dalam hati. Memang bagus membaca Ayat Allah swt., dan meminta perlindungan-NYA, tetapi jika rasa takut kita terhadap setan atau iblis lebih besar daripada rasa takut kita terhadap murka Allah swt., apakah itu benar? Bukankah seharusnya kita jauh lebih takut dengan murka Allah swt., ketimbang takut dengan makhluk ciptaan-NYA?

Beberapa saat setelah anak kelas XII MIPA 1 berkumpul di ruang seni, Pak Alno selaku guru seni budaya pun tiba dengan tumpukan buku-buku di tangannya. Ia duduk di bangku dekat meja proyektor, dan mulai menjelaskan materi pembelajarannya.

"Kita akan membahas pameran, mulai dari perencanaan dan persiapan, pelaksanaan, hingga susunan kepantian." Seru Pak Alno, yang mulai menyalakan laptopnya.

Ayuni, gadis berkacamata yang peka terhadap hal negatif terus memperhatikan lemari coklat yang berada di ruang seni. Ia merasa ada hal aneh dari dalam lemari, sesosok bayangan putih di belakangnya berbisik ditelinganya, memperingati agar tak macam-macam dengan isi lemari tersebut.

Waktu berjalan lebih lambat daripada biasanya, seorang anak perempuan bernama Ghea duduk di dekat lemari, bulu kunduknya meremang, merasakan ada sentuhan dari tangan busuk dan dingin meraba-rabanya. Beberapa kali juga ia merasa seperti sedang dipanggil padahal hanya ada suara Pak Alno yang sedang memaparkan materi.

Husss...

Mendadak embusan angin memasuki ruang seni yang tertutup membuat Ghea tersadar dari lamunannya itu. Ia mendengus. Menatap tajam ke arah papan tulis berniat ingin memfokuskan diri dengan mendengar materi yang disampaikan gurunya, ketimbang melamun tentang gosip ruang seni ini.

Bukkk..

Pintu lemari terbuka dan satu lukisan beraliran naturalisme jatuh, hampir mengenai pundak Ghea. Lukisan pemandangan hutan yang ditumbuhi pohon-pohon menjalar, membentuk lorong yang menuntun ke sebuah jalan yang antah-berantah. Ghea merasa ada yang aneh mencoba pergi dan duduk di sebelah Ayuni, sambil menatap lukisan yang jatuh itu.

"Kenapa Ghe?" Seru Ayuni, menanyakan keadaan temannya itu. Ayuni menatap ngeri ke arah sorot mata Ghea, lalu berpaling ke arah lemari yang masih dalam keadaan semula. Ayuni merasa ada yang aneh pada lemari itu, lantas mencengkram tangan Ghea kuat-kuat hingga membekas. Ghea meringis kesakitan, Pak Alno menoleh ke arah dua muridnya beranggapan bahwa muridnya tengah bertengkar dan memisahkannya.

Ghea tersadar ketika pindah di sebelah Nadia, di arah depan lemari itu semakin terlihat jelas dan lemari itu sudah tertutup tidak lagi terbuka.

Aneh!

Begitulah jalan pikir Ghea ketika melihat keadaan lemari yang dalam sekejap berubah, belum lagi suara-suara yang memanggilnya pun sudah hilang entah kemana. Tidak ada suara selain Pak Alno yang didengar. Suara embusan angin pun sudah tidak dirasakan lagi olehnya. Semuanya kembali normal, hingga jam pelajaran seni budaya pun usai.

Kutukan Lukisan | Misteri Lukisan Sekolah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang