I (Ingatan yang hilang)

283 189 189
                                    

Semua orang berkumpul! Ketika mendengar berita duka menghilangnya siswi SMA Negeri. Berita mengenai hilangnya pun masih simpang siur dan menjadi misteri yang sulit dipecahkan. Dilanda musim penghujan membuat para polisi, detektif, hingga relawan kesulitan untuk mencarinya.

Seperti biasa, siswa maupun siswi pergi bersekolah setelah diliburkan selama satu minggu setelah kejadian itu. Hari itu, waktu baru saja menunjukkan tepat pada pukul satu siang. Siang yang semakin panas membuas penuh haus darah. Di sudut-sudut sekolah, bayang-bayang itu menyelimuti area sekolah.

***

Beberapa tahun berlalu. Hari begitu suram di Kebon Kelapa, tak henti-hentinya diguyur hujan yang lebat. Suara gemuruh angin dan hujan bergelora di atas langit. Suara burung hantu pun turut menemani gelapnya malam, udara dingin yang pekat meraba-raba dalam keheningan malam, mencari mangsa yang penuh dengan dosa.

Malam itu, sofi duduk di bangku meja belajar, menyeruput secangkir kopi hangat yang baru dibuat lima menit sebelumnya. Gadis remaja yang baru menginjak usia tujuh belas tahun itu menyeka sehelai rambut yang mengenai wajahnya.

Angin di luar bertiup-tiup tak henti-hentinya bergolak kencang. Jendela kamar Sofi terdobrak-dobrak, terkena hembusan angin dan cipratan air hujan. Ternyata jendela itu belum ditutup. Sofi bangkit dari duduknya dan menutup jendela kamar. Namun, saat hendak menutup jendela. Ia melihat bayangan hitam yang berdiri di perkarangan rumahnya, tak begitu jelas wajahnya sebab kegelapan malam seakan menyatu dengan bayangan hitam itu.

Melihat keadaan yang janggal, Sofi segera menutup jendela kamarnya. Ia menghela napas. Lalu membalikan badan dan merebahkannya di atas kasur, perlahan-lahan kelopak matanya mulai turun, rasa kantuknya sudah tak tertahan walaupun sudah meminum segelas kopi hangat tadi. Baginya kopi tak memberikan efek samping yang kuat sebagai obat penghilang rasa kantuk.

Sekitar pukul sepuluh kurang seperempat. Terdengar suara deringan handphone milik Sofi, saat itu juga Sofi segera bangun dan membukanya lalu membaca sebuah pesan yang dikirim oleh nomor yang tidak dikenal, ekspresi wajahnya aneh setelah selesai membaca isi pesan yang baru saja masuk.

Sofi memandang sekeliling kamarnya yang terlihat gelap, sebab lampu kamar telah dipadamkan. Satu jam kemudian, Sofi duduk di atas kasur meringkuk penuh ketakutan. Tirai gorden kamarnya tersibak oleh hembusan kipas angin, menampilkan sesosok bayangan hitam yang tengah berjalan melintasi kamarnya. Sofi memejamkan matanya, berharap dirinya segera tertidur lagi.

Suasana malam yang semakin angker ketika suara langkah kaki mulai mendekati kamar Sofi dari dalam rumah, seketika bulu kunduknya merinding, merasakan hawa dingin dari tangan-tangan bau busuk. Desisan angin dari luar yang masuk dari celah-celah jendela mampu menggoyang-goyangkan bingkai lukisan bunga mawar yang tergantung di dinding kamar Sofi.

Brukkk...

Bingkai lukisan bunga mawar itu terjatuh, mengenai lantai keramik. Dengan segera, Sofi memberanikan diri menghampiri lukisannya yang terjatuh. Ia mengambil satu persatu pecahan kaca dari bingkai tersebut.

Sepertinya benar, rasa sayang mengalahkan rasa takut. Sofi merasa sayang jika lukisan itu hancur dan ia tak bisa memperbaikinya, ketimbang melihat hantu.

Saat pecahan kaca terakhir berada di kolong meja belajar, dan berhasil diambil olehnya. Ketika berdiri, sesosok wanita bermulut sobek menampilan wujud aslinya di depan wajah Sofi. Bau anyir darah dan bau tanah basah tercium di hidung Sofi. Ia sempat berteriak, tapi lebih dulu hantu itu mencekik lehernya dan masuk ke dalam tubuh Sofi.

Di malam yang semakin gelap gulita, Sofi keluar dari rumahnya. Sofi berjalan melewati sebuah perkebunan yang berjejer ditumbuhi singkong. Berjalan sendirian dengan kapak di tangan kanannya. Tampak gelap tumbuhan singkong itu bergoyang, ditiup semilir angin malam.

Sofi menyibak beberapa daun singkong yang menghalangi jalannya. Ia mendesis kesal, ketika seekor anjing menggonggong ke arahnya.

Sial!

Benar-benar hari yang sial bagi Sofi karena harus bertemu dengan hewan yang ia sukai. Ketika kapak itu diangkat tinggi-tinggi, suara gonggongan anjing masih terdengar jelas di telinganya. Pergerakan tangan yang akan menyiksa hidupnya kini bermulai, dengan rasa haus darah yang menggebu di hati, kapak itu dilembar ke arah anjing di depannya. Suara gonggongan terakhir adalah rintihan kesakitan, Sofi kembali berjalan mendekati anjing yang tergeletak penuh darah dan mengambil kapak yang tertancap di kepala seekor anjing jantan.

Sepanjang jalan kebun singkong, hanya menyisakan kesunyian malam yang benar-benar sepi dan mencengkram.

Setibanya Sofi di gerbang sekolah, ia tersenyum tipis. Kapak yang digenggamnya itu perlahan di taruh di bahu kanannya.

Gila!

Benar-benar mengerikan untuk anak seusianya.

Krekk klentang tak klek

Suara besi kapak mengenai lemari coklat, dan berhasil mengeluarkan lukisan berlatar hitam dengan pohon menjalar yang menunjukkan sebuah pintu.

Sofi menyeret lukisan itu pergi dan meninggalkan kapaknya. Sorot matanya yang kosong dan dingin, sedingin kedua bola mata mayat. Menatap tajam ke arah ruang kelas yang bersebelahan dengan Hutan. Hutan itu termasuk kawasan sekolah ini, sebab digunakan sebagai praktikum biologi atau praktek jenazah.

Sofi membuka ruang kelas itu dengan paksa, menggunakan sebelah kakinya untuk mendobrak pintu. Ruangan yang gelap dan tak terlalu besar itu, diperhatikan baik-baik. Namun, ketika pandangannya menuju bangku nomor dua dekat jendela, Sofi justru tersenyum dan meletakkan lukisan itu tepat di belakang bangku guru.

Setelah lukisan itu dipasang, sesosok wanita bermulut sobek itu keluar dari tubuh Sofi dan menghilang. Sedangkan Sofi, kini terbaring lemas. Bercak cengkraman tangan wanita itu masih membekas di leher Sofi.

Tidak sampai situ saja! Seorang gadis remaja tengah menggandeng tangan seorang anak kecil. Ia melihat seorang gadis seumur dengannya tergeletak di atas lantai kelasnya.

“Kakak.” Seru anak kecil itu, menatap wajah kakaknya.

“Aku tahu, Ayura, tolong bawa dia ke rumahnya!” Titah gadis remaja itu, Ayura menggangguk dan mengangkat tubuh gadis di atas keramik itu.

Mata Ayura tertuju pada sebuah lukisan, yang terpajang di tembok.

“Ayuni, permainan segera dimulai.”

Kutukan Lukisan | Misteri Lukisan Sekolah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang