I (Isak pilu)

78 40 4
                                    

“Berhentilah berbicara omong kosong! Dari pada menghabiskan tenagamu untuk berbicara, lebih baik gunakan tenagamu untuk berpikir. Cetus Epi memandang sinis ke arah Nia. Gadis itu pun langsung memutar matanya sambil menggerutu kesal. Tampaknya dua manusia ini sedang berselisih.

Hermawan mengambil napas panjang melihat pertikaian kecil diantar dua temannya itu.

Lena mencoba bersuara untuk meringankan ketegangan yang ada karena tingkah Epi dan Nia, “Begini, ada sesuatu hal yang harus aku beritahu.” Kata Lena pada ketujuh anak manusia, dengan mengamati sekeliling ruangan di dalam laboratorium biokim yang agak sedikit berdebu.

“Sesuatu apa?” Seru Hermawan menatap sorot mata Lena.

“Hari semakin sore dan laboratorium ini tak memiliki penerangan lain, selain pancaran sinar matahari dan bulan. Aku sempat berpikir bagaimana jika kita menerobos angin itu. Toh jarak laboratorium dan gerbang depan tidak jauh. Bukankah ide ini cukup mudah tuk dilakukan.”

Lelaki bermata sipit itu mendadak segera bangkit dari duduk. Napasnya tercekat di tenggorokan ketika mendengar pernyataan Lena. Tiba-tiba saja dari ambang pintu laboratorium, suara ketukan pintu yang hampir mirip dengan dobrakan terdengar kembali.

Fauzia menatap tajam ke arah luar, hatinya berdebar-debar keras mengingat bahwa itu adalah Sekar yang akan membunuh mereka.

“Tadi aku menemukan ini di dekat pintu gudang laboratorium.” Ucap Hermawan merogoh kantong celana olahraga. Ia mengeluarkan sebuah lilin putih, “Ini bisa kita gunakan sebagai penerang tambahan.”

“Itu artinya kita akan menginap semalaman di sini sampai angin itu berhenti mendobrak pintu?” Kata Nia mencoba merendahkan suaranya yang hampir meninggi.

Hermawan menganggukkan kepalanya. Lalu tak berselang lama Nia membanting kursi, “Sial, harusnya kita tak usah menolong Ghea. Bagaimana bisa ini terjadi pada kita? Harusnya aku hanya perlu menjalani kehidupan remaja normal yang bermain-main di sekolah.” Rengek Nia, air matanya bercucuran suaranya tersedu-sedu.

“Syutt, diamlah sebentar.” Kata Rizqi yang selangkah demi selangkah mendekat ke arah pintu. Tanpa rasa takut, lelaki berambut ikal ini tengah mengintip dari balik pintu melalui lubang kunci.

Rizqi terperanjat melihat sosok Sekar tengah ikut mengintip dari lubang kunci. Ketika bola mata mereka bertemu hantu yang mendiami tubuh Sekar itu tertawa.

Rizqi mencoba untuk bersuara. Namun, segumpal ketakutan menyumbat liang mulutnya. Detakan jantung berdebum-debum tak karuan. Atmosfer di ruangan ini mendadak menipis sehingga lelaki itu tampak kesulitan bernapas.

“Rizqi, ada apa?” Desis Epi melesat mendekati lelaki berambut ikal.

Kreeek..

Epi bersama ketujuh anak lainnya terhenyak melihat pintu laboratorium biokim yang terbuka dari luar. Ditambah dengan sosok hantu yang mendiami tubuh Sekar diselimuti oleh angin jahat membuat mereka melongo bersamaan.

Hantu itu terkekeh-kekeh sendiri. Lalu menjilat-jilat bibir pucatnya. Wajahnya yang dingin seperti mayat hidup itu mulai menatap satu persatu wajah kedelapan anak.

“Tinggal beberapa jam lagi, sampai aku akan menghabisi kalian semua.” Katanya seraya memperhatikan wajah Fauzia yang sudah pucat.

Hantu itu menghempaskan Fauzia masuk ke dalam gudang laboratorium. Puing-puing kayu pintu berserakan mengenai tubuh anak perempuan itu. Rizqi dan kelima anak manusia sontak mundur beberapa langkah, memperjauh jarak diantara mereka. Dari dalam sana Fauzia mengerang kesakitan.

Melihat pintu gudang laboratorium yang rusak, Epi hendak melesat masuk. Namun, dirinya dihempaskan ke tanah, lalu hantu Sekar menekan pergelangan tangannya. Epi mengerang kesakitan, meronta-ronta meminta hantu Sekar untuk menghentikannya. Bukannya dihentikan, justru hantu itu malah memutar pergelangan tangannya hingga patah. Suara tulang yang patah itu membuat keenam anak lainnya berlari bersembunyi.

“Tidak, tidak! Tidak! Tolong ampuni aku.” Seru Epi, wajah tampak ketakutan, “Kenapa kamu ingin membunuhku?” Katanya kemudian, “Apa salahku? Apakah aku pernah berhubungan denganmu?”

Kini hantu itu menyambar leher anak lelaki bermata sipit, dengan tangan hitam dan senyuman mengerikan sosok itu terus-menerus menekan leher anak lelaki hingga terputus dari badannya.

Sosok itu terdiam sesaat, “Salah kalian adalah ikut campur dalam pembalasan dendamku.” Kali ini wajahnya tampak sedih. Ekspresi ganjil seolah menguburkan kesedihan yang ada.

“Aku hanya ingin pulang dengan tenang, TAPI KENAPA KALIAN MENGGANGGU AKU??” Bentak hantu itu. Suara teriakannya membuat dinding ruangan ini terguncang, seolah hantu itu yang menggoyangkannya.

“Epi.. matii.” Kata Fauzia dengan suara bergetar. Fauzia mencoba berdiri tapi tubuhnya terlalu sakit menghantam pintu tadi. Ia melihat hantu itu semakin mendekati ke arahnya, menjilat-jilat tangannya yang berlumuran darah.

Melihat situasi yang semakin lama semakin tak terkendali, Hermawan mengintip dari bawah meja. Dengan mengumpulkan keberanian yang ada dirinya mengambil sebongkah tulang tangan sebagai miniatur laboratorium. Dengan sengit Hermawan mendekati hantu yang mendiami tubuh Sekar kemudian tanpa aba-aba menghantam kepala anak perempuan itu dengan keras. Sekar yang masih sebagai manusia biasa langsung terjerembab, jatuh ke bawah.

“B*n*sa*!” Kini Fahreza mendekati Hermawan dan mencoba memukul kepala anak lelaki itu. Tapi usaha gagal karena Fauzia mendorong tubuh Hermawan ke samping.

Pukulan yang diayunkan untuk Hermawan berakhir mengenai tepat di atas kepala Fauzia. Darah di kepalanya mengalir deras, lalu bola matanya ikut terlempar mengenai kepala Epi.

Ekspresi kebingungan dan tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Kelima anak itu memandang ke arah Fahreza yang wajahnya sudah berlumuran darah.

“Fahreza. Apa yang kamu lakukan kepada, Fauzia? Kenapa kamu membunuhnya?” Nia memegang kepalanya, aroma darah itu seperti memabukkan dan membuat kepalanya pusing.

“Mempersetan dengan itu, lebih baik kamu mati.” Seru Fahreza mengeluarkan pisau lipat dari kantung celana olahraganya. Kemudian menikam Nia tepat di jantungnya.

Gadis bertubuh kecil itu langsung terkapar lemas di lantai. Ketika Meymey hendak memastikan. Rupanya dengan cepat Fahreza menusukan pisau itu tepat di dahi anak perempuan ini.

“Hentikan!” Hermawan tampak kacau melihat pembunuhan yang dilakukan temannya.

Tiba-tiba hantu yang mendiami tubuh Sekar berteriak keras. Ia menatap Hermawan penuh kebencian lalu mencengkram kuat rambut anak lelaki itu. Sekar menyeringai, begitu menikmati pemandangan terkutuk ini sebelum akhirnya berucap, “Nak, bukankah dia yang harus kamu lenyapkan karena mencoba menggagalkan rencana kamu.”

Fahreza mengangguk, kemudian menoleh menatap Hermawan. Ia ikut menyeringai setelah memutilasi Lena.

“Hermawan, menurutmu kenapa aku melakukan ini semua?”

“Sederhananya aku hanya ingin membalaskan dendam kepada pihak sekolah ini, tapi entah kenapa kalian justru terjebak dalam sebuah permainan kecil. Awalnya aku berniat untuk menghentikannya. Namun, ibuku bilang jangan. Yah, pada akhirnya aku terus melanjutkan sandiwara ini.” Kata Fahreza yang selangkah demi selangkah mendekati Hermawan.

“Hermawan, aku hidup sebatang kara. Hidup itu susah makanya aku ingin mengakhirinya tapi sebelum itu biarkan aku mengakhiri hidupmu.” Fahreza menatap Hermawan, ia sudah benar-benar berniat membunuh teman lelakinya.

“Selamatkan mereka yang berada dalam kegelapan. Tinggalkan dosa dalam kesesatan. Tiada hal yang kebetulan selain telah direncanakan.”

Suara yang tak asing ditelinga Hermawan mulai terdengar dari arah lemari gudang laboratorium. Seorang Kakek tua mulai berkomat-kamit seperti tengah membaca sebuah mantra ajaib.

Fahreza melihat hantu Sekar meronta-ronta tak karuan, ia begitu terkejut karena situasi yang membalik dengan cepat. Rizqi yang mendapat kesempatan untuk menyelamatkan Hermawan bergerak mundur mencari sesuatu, ia menemukan sebuah mikroskop di dalam lemari kaca.

Sementara Fahreza terbelalak, buru-buru Rizqi berlari mendekat ke arahnya lalu menghantam kepala Fahreza dengan mikroskop.

“Tidak!” Hantu itu berteriak sampai pada akhirnya segumpal angin hitam keluar dari mulut Sekar.

Fahreza terkapar lemas melihat detik-detik kejadian terakhir dalam hidupnya, “Jangan pikir kalian semua selamat dari sini.”

“Banyak omong.” Kata Rizqi kemudian menginjak kepala Fahreza dengan sekuat tenaga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 01, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kutukan Lukisan | Misteri Lukisan Sekolah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang