Dua hari sebelum kejadian arah hutan.
Suara isak tangisan itu terdengar dari dari arah kamar dekat pintu rumah. Desiran angin kembali terdengar dari kejauhan sana. Seorang anak gadis berusia genap tujuh belas tahun itu tergeletak di kamarnya, atau mungkin lebih tepat di atas kasur busa.
Sofi terbangun dari mimpi-mimpi aneh yang terus menghantuinya, bercak cengkraman aneh yang membekas itu terasa amat perih dan panas. Keringatnya bercucuran ketika mengingat apa yang telah terjadi padanya.
Sementara itu Sofi yang masih berdiri memandang ke arah cermin, tiba-tiba pintu kamarnya terdobrak beberapa kali hingga kusen pintu kamarnya rusak.
“Astaghfirullah, Sofi. Kamu apaain ini pintunya sampai rusak.” Suara wanita tua itu terdengar bergetar.
Sofi memandang ke arah yang dimaksud wanita tua itu, “Sofi dari tadi diam di sini, Bu.” Katanya dengan wajah pucat, mengigit kuku-kuku jarinya.
“Cepat, Sof. Bantu Ibu benarkan pintunya, sebelum Ayah kamu pulang. Bisa-bisanya nanti kamu kena pukul lagi.”
Dengan segera Sofi meluncur membantu Ibunya hingga jam menunjukkan pukul tujuh pagi.
Sofi buru-buru menyiapkan buku-buku yang akan dibawanya ke sekolah sebab tadi malam ia tak sempat memasukannya ke dalam tas. Waktu berjalan tanpa menunggu Sofi segera bersiap. Ketika jam menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit, terlihat Sofi sedang buru-buru mengikat tali sepatu berwarna hitam.
“Ibu. Sofi, berangkat dulu.”
Tempat ia bersekolah memang tak jauh dari kediaman rumahnya. Hanya melewati perkebunan singkong yang tumbuh dengan terawat.
Langkahnya terhenti ketika mencium aroma busuk seperti bangkai binatang. Sofi mengendus, mencari-cari dimana bau itu berasal. Alangkah terkejutnya ia menemukan bangkai anjing yang sudah dimakan oleh belatung putih. Matanya anjing itu seperti marah padanya. Maka buru-buru Sofi berlari hingga ke gerbang sekolah.
“Loh, neng Sofi. Kenapa lari-lari gitu?” Tanya mang kiding penasaran. Sedangkan, Sofi hanya mengambil napasnya buru-buru.
“Bukan apa-apa, Mang. Saya titip tas dulu nanti selesai senam saya ambil lagi.” Seru Sofi menaruh tas di pos tempat Mang Kiding berjaga.
“Iya, Neng.”
Sofi berlari ketika bel senam sudah dibunyikan, ia berdiri dibarisan kelas dua belas mipa tiga.
“Tumben kamu telat, biasanya juga sebelum pukul tujuh kamu sudah di sekolah.” Kata Silvana dengan pelan. Sofi hanya diam dan tak menanggapi pernyataan gadis berkulit putih itu.
Sofi berpaling menatap pohon mangga yang berdiri dengan rimbun, matanya tak sengaja melihat gadis berkacamata tengah menatap tajam ke arah Elsa. Sekilas Sofi melihat hantu wanita yang berdiri di belakang persis gadis itu. Tak percaya dengan pemandangan barusan, Sofi mengucek matanya dan melihat kembali ke arah yang sama. Namun, ia mendapati gadis berkacamata itu ikut menatap ke arahnya dengan tersenyum. Sofi terkejut kemudian mengalihkan pandangannya.
“Kamu lihat apa sih, Sof?” Tanya Silvana yang merasa aneh dengan perilaku temannya itu.
“Itu siapa?” Tunjuk Sofi menggunakan jari telunjuk.
“Ayuni, Kenapa?” Jawabnya setelah melihat arah yang ditunjuk oleh Sofi.
“Kaya pernah lihat wajahnya.” Ujar Sofi.
Silvana terkekeh-kekeh, lalu menoleh memandang Sofi yang berdiri di belakangnya dengan wajah kebingungan, “Kan Ayuni juga sekolah di sini. Mungkin kamu sering lihat dia di kantin, perpustakaan, atau di ruang guru. Makanya kamu merasa kaya pernah lihat wajahnya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Lukisan | Misteri Lukisan Sekolah
УжасыPerhatian⚠️ Tidak disarankan bagi Ibu hamil dan penderita serangan jantung. Untuk pembaca 17+ ke atas, karena terdapat adegan kekerasan, pembulian, hingga pembunuhan. *** Bagaimana pun, saat lukisan itu disentuh dengan manusia berdarah manis, segala...