1. Hwarang

27 2 2
                                    

Gemuruh angin pegunungan yang turun di sepanjang bukit itu akhirnya sampai di hutan tempat Xian Hun berlatih memanah. Beberapa kali anak panah yang ia lepaskan berhasil mengenai target. Walau belum seterampil Ho Jae, kemampuan Xian Hun meningkat diluar dugaan. Di rentang waktu sebelum menempuh perjalanan ke Goryeo Xian Hun sengaja melatih keterampilan memanahnya. Ia berharap selama perjalanan nanti ada banyak kebaikan menyertai. Bukan sekali dua kali Xian Hun berhadapan dengan perampok saat menjalankan misi.

Xian Hun mengakui, Goryeo bukan medan yang mudah untuk dilalui. Setelah melewati Gori, ada hutan luas terbentang yang harus dilewati. Xian Hun mengetahuinya karena pernah sekali pergi ke sana sebagai utusan Silla bersama Paman Woo Jae. Selain jalanan terjal, binatang buas dan perampok adalah musuh utama yang tidak dapat dihindari.

Banyak hal yang Xian Hun harapkan dalam misi kali ini. Ia ingin menjadi orang bertanggung jawab yang bisa menjaga keselamatan anggota keluarga kerajaan. Kendati sesekali Xian Hun masih merasa getir mengapa sejak awal tak menolak undangan raja ke istana sebagai hwarang1. Tetapi setelah dipikir-pikir, alasannya saat itu tak lepas dari keinginannya untuk tinggal di sekitar Ho Jae dan Chun Seok serta ... gadis itu mungkin.

Mendadak wajah Xian Hun memanas. Ia tak berkonsentrasi sehingga bidikannya meleset. Kali ini Xian Hun benar-benar merasa dirinya sangat konyol dan pikirannya sedikit menggila. Terlebih saat ia menyadari bahwa eunjangdo2yang dibelinya-beberapa bulan lalu-selalu ia bawa kemanapun pergi. Xian Hun pernah berharap bisa berpapasan dengan Eun Seok dan memberikan aksesori itu padanya. Beruntung ide liar itu hanya sempat melintas singkat di kepalanya.

"Daripada bidikanmu terus meleset seperti itu, lebih baik kau berlatih pedang saja!"

Gerutuan khas terdengar. Xian Hun sudah hidup belasan tahun mendengar gerutuan itu, tapi tak pernah memasukannya ke dalam hati.

"Kalau begitu, ajari aku dengan benar agar menjadi pemanah sebaik dirimu," Xian Hun menanggapi gerutuan Ho Jae dengan santai. Setelah sekian lama hidup berdampingan dengan Ho Jae, Xian Hun mulai paham bahwa cara terbaik untuk menghadapi sesuatu yang keluar dari mulut Ho Jae adalah dengan tetap berkepala dingin.

"Daripada mengajarimu memanah, aku lebih senang menemani Eun Seok menyulam seharian!" jawab Ho Jae asal-asalan.

Xian Hun tertawa kecil. Ho Jae masih senang bersikap kekanakan bahkan hingga saat ini.

"Ah! Aku jadi merindukan Eun Seok. Apalagi sekarang ia tinggal bersama ayah dan ibuku."

Xian Hun menatap Ho Jae antusias. Terakhir kali ia mendengar kabar bahwa Eun Seok melakukan perjalanan ke Jeongsan, desa terakhir sebelum memasuki Benteng Daeya yang berbatasan dengan bekas kerajaan Baekje. Sependek pengetahuan Xian Hun, Eun Seok juga tinggal di kediaman Paman Hui Zhong dan Bibi Bahameen-sepasang suami istri keturunan Suku Hui dan Persia.

"Kau tidak penasaran mengapa Eun Seok kembali tinggal dengan keluargaku? Pancing Ho Jae karena Xian Hun tak menanggapi perkataannya.

"Dia pasti punya alasan tersendiri," jawab Xian Hun singkat.

"Kehidupanmu sama sekali tidak seru!" cibir Ho Jae. "Asal kau tahu, Eun Seok kembali ke rumahku karena anak semata wayang Paman Hui Zhong sudah kembali dari berniaga di jalur sutra."

Xian Hun hanya mengangguk kecil mendengar penjelasan Ho Jae.

"Wah! Apa separuh hatimu terbuat dari baja? Bahkan baju perang mendiang Raja Jinheung sepertinya kalah dibandingkan kepribadianmu yang kaku," Ho Jae menatap Xian Hun tak percaya.

Kali ini Xian Hun tersenyum simpul. Seandainya Ho Jae tahu, saat ini degupan jantungnya sedang berlompatan tak beraturan. Benaknya bertanya-tanya, benarkah putra Paman Hui Zhong telah kembali? Mungkinkah Paman Hui Zhong berniat menikahkan putranya dengan Eun Seok? pertanyaan-pertanyaan itu terus bermunculan dalam benak Xian Hun tanpa bisa dicegah.

Flower Knights of SillaWhere stories live. Discover now