Langkah Baru

791 239 36
                                    

Mataku masih terjaga, aku juga nggak tahu kapan terakhir kali aku jatuh tertidur. Mungkin tiga hari lalu, atau justru baru kemarin? Sahabat sekaligus roommate-ku, Jenna, mengecek sesekali untuk memastikan aku masih hidup, mungkin. Hanya keempat sahabatku yang benar – benar kumiliki kini. Tidak ada lagi Aswad, tidak ada lagi Imelda Tan dalam hidupku.

Lucu ya, dalam sekejap hidupku berbalik seratus delapan puluh derajat. Rasa hormatku pada Imelda Tan yang kemarin kuanggap sebagai bos terbaik kini berubah menjadi kebencian mendalam yang tak ada habisnya. Perasaan cintaku pada Aswad berubah menjadi perasaan jijik membayangkan bahwa kami saudara sedarah dan telah saling jatuh cinta. Mungkin sekarang Aswad juga merasakan hal yang sama sepertiku. Sejak peristiwa di rumahnya, tidak ada kabar dari Aswad menyapa ponselku hingga saat ini.

Badanku rasanya sudah kaku karena tidak beraktifitas sejak hari itu. Kuhela napas dan menyingkirkan selimut dari kedua kaki. Aku ingin melanjutkan hidup, sepahit apapun rasanya. Kematian ibuku tidak boleh sia – sia, dia lah yang memperjuangkan kehidupanku dan Imelda Tan mengolok – oloknya dengan menjadikanku budaknya selama ini.

Jam di kamar menunjukkan pukul tujuh pagi, aroma telur goreng dan kopi menyambut indera penciumanku dari arah pantry ketika baru saja membuka pintu. Senyum Jenna terbit ketika melihatku berjalan menuju ke arahnya. Senyum lega karena tanpa bujukannya aku bangkit dari kasur.

"Good morning, Chand."

Jenna tidak bertanya, dua minggu sudah dia bersabar mendengarku menangis tiap malam. Ia pasti menduga tentang kandasnya hubunganku dan Aswad juga mengenai pekerjaanku. Sangat jelas jika dalam dua minggu aku tidak beranjak ke luar rumah. Dan baru hari ini sejak berakhirnya hubunganku dengan Aswad, aku pun keluar kamar.

Dua gelas kopi hitam panas tersedia di atas mini bar, aku berterima kasih pada Jenna karena berbaik hati membuat sarapan dan menjadi teman baik yang selalu ada untukku. Roomate yang tidak banyak mengeluh akan segala tingkah tidak masuk akalku.

"Patah hati nggak apa – apa, tapi lo harus terus hidup." Ucapan menyentil dari Jenna membuat senyumku terbit, ia mengangkat gelas kopinya seolah melakukan cheers denganku.

Sudah banyak waktu kulalui untuk merenung. Cukup sudah waktu bersedih, saatnya berbenah diri dan tetap melanjutkan hidup. Apalagi ketika menyadari kini aku tidak lagi memiliki kerjaan. Aku tetap harus bertahan hidup, bukan? Dan menunjukkan pada Imelda Tan betapa dia telah salah menggunakan kekuasaannya atas diriku. Aku bukan anaknya dan tidak akan pernah menjadi anaknya. Seharusnya dia tidak perlu menaruh perhatian padaku, toh pada akhirnya aku hanyalah seorang anak yang lahir tanpa orangtua yang jelas. Sudah seharusnya dia mengabaikanku, bukan sebaliknya.

Setiap membayangkan bahwa aku tumbuh besar karena campur tangannya, membuatku ingin berlari dan menenggelamkan diri dalam lautan paling dalam. Melebur bersama pusaran air yang menghanyutkanku dalam kegelapan.

Bagaimana bisa aku melihatnya seperti biasa ketika semua fakta telah tampak di permukaan. Mungkin ibu yang melahirkanku salah karena berselingkuh dengan suaminya, tapi siapa dia merasa berhak mengatur hidupku dan merencanakan di mana aku harus bekerja.

Apa mungkin, ia berencana memperbudak diriku seumur hidup? Mungkin selama ini dia menertawakan kebodohanku yang tidak tahu apa – apa dan mengejek mendiang mamaku dengan menjadikanku sebagai budaknya.

"Chand." Sentuhan tangan Jenna pada jemariku yang menggenggam gelas kopi dengan erat, membuat saraf motorikku kembali mengendur rileks.

Tapi, luapan emosi seolah belum mencapai batasnya, aku kembali menangis terisak hanya mengingat nama Imelda Tan dan anak laki – lakinya yang kemarin masih sangat kucintai. Jenna meraihku ke dalam pelukan, seraya membelai lembut punggungku secara berulang untuk menenangkan. Jenna tidak mengatakan apa – apa, hanya membiarkanku menangis di bahunya sampai lega.

Tidak Ada Hari Libur (Untuk Mencintai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang