Panggilan wajib sedang berlangsung, dua puluh lima menit sudah aku berbicara dengan mama. Isinya tidak lebih menanyakan kabarku ; apakah aku makan cukup, istirahat cukup dan masih memiliki waktu untuk bekerja.
Beberapa kali mama membujukku untuk fokus mengerjakan skripsi, tapi dengan bekerja setidaknya aku tidak perlu merepotkan mama jika sedang butuh membeli sesuatu.
"Kalau sedang merintis, harus sabar jalani jatuh bangunnya, Dek. Nggak bisa kayak karyawan biasa yang bebas di hari weekend, kamu siap kerja terus setiap hari?"
Tapi tetap, meski mengharapkan aku berhenti, mama masih juga memberi masukan dan semangat agar aku tidak gampang menyerah menghadapi sesuatu.
"Siap nggak siap, Mah. Tapi aku tetap bisa kerjain skripsi dan dibayar."
"Yowes, mbak Mega kasih jajan toh? Dia baru gajian."
"Iya dikasih kok, Mah."
"Jadi, kamu nggak perlu mengandalkan gaji banget gitu lho. Usaha seperti itu di awal akan lebih banyak ruginya."
"Iya, Mah."
"Kamu sudah makan tah?"
"Sudah, Mah. Baru selesai, aku juga lagi istirahat. Sudah selesai semua pasang meja dan AC."
"Jangan kecapekan, jangan lupain skripsinya juga."
"Iya, Mah."
"Yasudah, lanjutin deh."
"Oke, Mah. Telepon aku kapan aja kalau ada apa – apa ya, Mah."
"Iyaa."
Aku duduk di undakan tangga depan kantor baru kami, melihat bagian atas pintunya yang masih polos belum memiliki plang nama yang menunjukkan identitas tempat ini. Dinding depannya kaca bening, yang semula ditempeli stiker lawfirm bang Darius, kini telah dibersihkan. Karena kaca ini berfungsi sebagai display barang yang akan kami pajang di dalam sana nantinya.
Di dalamnya, dua orang wanita masih asyik bercengkrama sambil tertawa – tawa. Mbak Chandra dan mbak Jenna, dua teman kakakku. Mbak Jenna mengambil cuti dua hari untuk membantu kami merapikan tempat ini.
Setelah mengirimkan pesan pada dospem untuk janjian bimbingan, aku membersihkan celana dari debu sebelum masuk ke dalam kantor.
"Bu, kita baru sadar nih, kita belum punya brand." Ucapan mbak Chandra disahuti tawa mbak Jenna dan aku menatap keduanya tak percaya.
Rencana se-matang ini dan yang terpenting justru mereka belum cari.
"Serius?"
Mbak Chandra masih menertawakan ucapannya sendiri dan aku masih menggelengkan kepala nggak habis pikir. Kalau orang – orang biasanya cenderung memikirkan ide untuk nama brand atau perusahaan, mereka justru sebaliknya.
"Jadi konsepnya gimana, buat kantor dulu baru pikiran cari nama brand dan perusahaan?"
"Tahu ah tuh si Chandra. Terlalu semangat kerja begini nih, yang krusial malah terlewat."
"Kita malah belum punya konsep sama sekali—" ucap mbak Chandra diakhiri tawa geli dirinya mendengar ucapannya sendiri.
"Kocak." Aku hanya dapat berkomentar sambil menggelengkan kepala lagi. "Terus, mau gimana?"
"Waktunya berpikir." Mbak Jenna duduk bersila dan menegapkan badannya dalam pose meditasi.
"Mau semedi cari ilham dulu, Mbak?" Sindirku, mbak Jenna merespon dengan senyum jahil.
Jadi, ide ini bermula dari mbak Mega yang ingin persahabatan mereka lebih erat dengan membangun usaha bersama. Berbekal pengalaman mbak Chandra yang bekerja dengan pemilik usaha fashion, mereka sepakat menyetujuinya meski belum ada pembicaraan lebih lanjut mengenai konsep. Yang penting kantornya jadi duluan, lucu banget semangat mereka berlima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Ada Hari Libur (Untuk Mencintai)
General FictionTentang dua orang yang sama - sama patah hati. Yang perempuan, patah hati pada takdir. Sementara yang laki - laki, patah hati pada kehidupan. Keduanya telah saling mengenal satu sama lain, kemudian kembali bertemu untuk hal yang tidak terduga. Tanpa...