Ketika Hujan

1 0 0
                                    


Apa yang kamu suka dari hujan? Derak suaranya yang jatuh di genting rumahmu? Tetes-tetes yang pecah di tanah? Atau bias berlian yang hadir saat kilat menyapanya? Aku juga menyukainya. Ketika melihat daun-daun perdu yang menari saat menerima tetes-tetes hujan, titik air yang berhamburan ketika angin mempermainkannya, dan bau petrikhor yang menenangkan. Namun, aku tidak bisa menebak mana yang kamu suka. Karena setiap kali hujan, aku hanya mendapatimu merenung di situ, di beranda belakang rumahmu.

Tatapanmu seringkali menerawang seolah ingin membaur dengan tetesan-tetesan air di depanmu. Terkadang bibirmu menyunggingkan senyum saat kecipak air sampai di kakimu dan membiarkan percikan tanah mengerubunginya.

Dari jarak tempatku berada, aku bisa memindai wajahmu dengan sempurna.  Rambut hitammu selalu kusut, bibir tipismu seringkali kering dan pecah-pecah, dan hidung kecil yang bertengger di wajahmu hampir selalu berminyak. Kulitmu sebenarnya kuning dan lembut, dan itu terlihat dari lenganmu bagian dalam, tetapi sepeetinya  kamu tak pandai merawatnya hingga kulitmu terkesan kusam. Namun, dari kondisimu itu, kamu tetap gadis yang cantik.

Kamu cantik, sungguh. Seandainya ibumu masih ada, mungkin kondisimu akan lebih baik. Menurut cerita kakek dari kakek buyutku, ibumu pergi ketika kamu mulai masuk usia belasan. Penyakit yang entah apa, telah merenggut nyawanya. Kakek buyutku hanya mengatakan, lebam-lebam memenuhi tubuh ibumu saat ia meregang nyawa dan ia meninggalkanmu bersama lelaki yang membuat ibumu terpaksa pergi meninggalkanmu. Lelaki itu kamu panggil: bapak.

Bapakmu, dengan dalih bekerja, jarang pulang. Kamu tumbuh begitu saja dengan belas kasih tetangga. Sampai kemudian kamu beranjak remaja, dan kecantikan alami serta kemolekan tubuhmu mulai membuatnya gelap mata. Sejak itulah bencanamu bermula. 

Aku mendengarnya dan aku menyesal tak mampu berbuat apa-apa. Saat itu, hujan dan guntur tengah menyerbu bumi, angin mengayunkan pohon-pohon pisang dengan kencang dan membuat suara riuh di samping rumahmu. Kamu menjerit, namun suara itu tenggelam bersama gelegar halilintar. Suara lecutan ikat pinggang yang hinggap di tubuhmu membuatku ngilu, tamparan tangan kekarnya membuatku merinding. Dan dalam sekejap, dalam riuhnya dentuman guntur, kegadisanmu terenggut begitu saja. Lelaki yang kamu panggil bapak telah mengambilnya dengan paksa.

Sejak itu, kamu berubah. Kamu bukan lagi Sumi yang suka tersenyum. Kamu menjadi pemurung, mengurung diri di kamar, atau merenung di belakang rumah kala hujan datang. Seperti sekarang. Kamu tidak pernah lagi keluar rumah untuk sekadar main bersama teman-temanmu. Binar mata yang biasanya kerjap kejora, perlahan meredup seperti lilin yang tertiup angin.

Sejak itu, lagi dan lagi, bapakmu tak mau berhenti. Bahkan ia kerap pulang dengan teman-temannya, dan memaksamu melayani bandot-bandot kurang ajar itu. "Itu namanya kerja! Makanmu nggak gratis!!" teriak bapakmu setelah dua lelaki tua berbau bacin selesai mengerjaimu. 

Kamu hanya bisa terisak, sambil memegangi perut yang terkadang diikuti darah yang mengalir dari selangkanganmu. Belum lagi, bilur-bilur memerah yang membekas di kaki, lengan, bahkan punggungmu. Pasti sangat menyakitkan. Hanya satu pesan bapakmu  yang ia teriakkan di telingamu ketika bandot-bandot itu akan beraksi, "Berani teriak! Kubunuh kamu!"

Biasanya, setelah itu, bapakmu akan memaksamu menelan pil-pil yang katamu mengacaukan jadwal haidmu. Aku melihat semuanya, namun sekali lagi tak mampu berbuat apa-apa. Aku terlalu lemah untuk melawan keberingasan bapakmu.

Kamu masih menghabiskan waktu dengan duduk di beranda belakang rumahmu, menatap nanar pada hujan. Apakah kamu memang menyukai hujan? Atau sebenarnya kamu ingin melepas getir hidupmu bersama luruhnya air yang menghujam bumi? Aku tidak tahu apa yang berkecamuk dalam pikiranmu. Tetapi, senyum di bibirmu kini sedikit membuatku takut. Aku memindai seraut wajah ayu dengan bibir melengkung, namun sorot mata menyiratkan kepahitan.

Senja sudah datang dan mungkin bapakmu akan pulang. Jika beruntung ia datang sendirian, paling-paling ia akan berteriak meminta kopi,  dengan suara yang membuat dinding rumahmu bergetar. Kalau tak beruntung, ia akan pulang bersama teman-temannya, dan malam nanti akan jadi malam neraka bagimu. 𝑇𝑢𝑛𝑔𝑔𝑢 𝑑𝑖 𝑠𝑖𝑛𝑖! 𝐴𝑘𝑢 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒 𝑑𝑒𝑝𝑎𝑛 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑚𝑎𝑠𝑡𝑖𝑘𝑎𝑛!

Bapakmu datang sendirian. Itu kabar baiknya. Tetapi, ia berjalan terhuyung saat meraih handle pintu, badannya basah diguyur hujan, matanya memerah, dan tangannya siap menggebrak pintu rumahmu yang memang sulit dibuka. Bau busuk menguar ketika ia masuk ruang tamu, lalu ia duduk sambil berteriak, "Sumi! Siapkan air panas!" 

Hening.

Sekali lagi ia berteriak, dan tidak ada suara apapun dari arah dapur. Ia berteriak memanggil namamu lagi dan lagi, sambil mengeluarkan kata-kata busuk, sebusuk bau napasnya. Namun, tak ada suara yang kau sambut seperti biasanya.

Lelah berteriak, bapakmu beranjak mencarimu sambil melepas ikat pinggangnya. Ia ke kamarmu, ke dapur, kembali ke kamarmu dengan ceracau suara mengumpat, mengeluarkan kata-kata kotor yang menjijikkan. Aku merinding, tak sanggup melihat jika ia kembali menyiksamu.

"Lagi ngapain kamu! Sumi! Dipanggil diam saja! Anak brengsek! Anj*ng!" Ia berjalan terseok mencarimu.

Aku bergegas ke beranda belakang. Aku tak akan tahan mendengar jeritanmu kali ini. "Pergi, Sumi! Pergi" Aku berlari sekuat tenaga sambil terus berteriak.

"Sumi! Di mana kamu, Anj*ng! Awas ketemu! Mati kau! Di mana kamu! Ngapain kamu!" Teriakan bapakmu semakin menjadi begitu sampai di pintu belakang. 

Aku terlambat. Lariku tak bisa lebih cepat untuk menyelamatkanmu. Aku benar benar terlambat saat bapakmu berhasil sampai di beranda belakang. 

Namun, ia berdiri mematung kemudian. Tak ada teriakan lagi, tak ada bentakkan lagi, tak ada suara apapun. Hening. Hanya suara hujan dan angin yang masih riuh yang terdengar.

Setelah aku sampai, baru aku mengerti. Kamu memang masih di beranda, terdiam,  tak melakukan apa-apa. Hanya menggantung dan terayun dengan lidah terjulur. 

Aku pun sama seperti bapakmu, terdiam tanpa bisa bersuara. Hanya bisa merayap pelan menuju tempatmu berada sambil berbisik, berharap kamu masih mendengar, "Maafkan aku. Maafkan kelemahanku. Aku hanya mampu merayap di antara kasau-kasau rumahmu, tak berdaya melihat ketidakadilan yang kamu alami."

(End)

Tiga Tahun TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang