00.13

1 0 0
                                    

Malam ini tidak seperti biasanya, udara terlalu dingin, hingga jaket yang kukancing rapat pun tak mampu menghalaunya. Kulirik jam yang tergantung di dinding pembatas antara ruang tengah dan ruang makan. Jam tidurku sudah lewat, rasa kantukku sudah lesap setelah menyesap kopi tiga jam lalu. Biasanya memang sekitar pukul sepuluh kantuk menyerang, tetapi aku masih ingin menuntaskan tulisan yang sedang aku kerjakan sambil sesekali memutar ulang hasil wawancara.


Seseorang dari ujung  pulau Jawa  menghubungiku sebulan yang lalu dan memintaku menuliskan kisah hidupnya. Seorang pemilik perusahaan properti yang wajahnya sering wara-wiri di televisi. Kabarnya ia bukan dari kalangan biasa, karena selain kesuksesannya, kesetiaanya pada sang istri yang sakit-sakitan pun sering diulas di media. Namun setelah bertemu dengannya, aku merasa di balik kesuksesannya ada kehampaan yang begitu menyiksanya. Ia sering tiba-tiba merenung ketika sedang menceritakan kisah hidupnya.


Malam menua. Jarum jam menunjukkan pukul 01.13, dan angin di luar berembus semakin kuat hingga suara gemeresak daun di kebun samping rumah terdengar lebih riuh dari biasanya. Pohon pisang milik tetanggaku tumbuh sangat rapat, hingga daun-daunnya memanjang dan menjulur ke pembatas pagar rumahku. Suara angin yang membelit dedaunan terdengar beradu dengan tembokku. Sebenarnya ini biasa kudengar ketika angin sedang gencar, tetapi mendengar suara-suara itu di tengah malam, rasanya seperti alunan musik yang mencekam.


Kuperhatikan lagi foto perempuan berambut keperakkan di layar laptopku. Aku memotret ulang wajahnya yang sayu dari dinding rumah klienku itu saat aku berkunjung di kediamannya. Ia sedang tersenyum tipis, dengan sorot mata letih. Kata klienku, istrinya adalah asisten apoteker sebelum menikah dengannya. Tiga tahun setelah menikah, ia memilih mengabdi pada keluarganya. Aku berusaha menggali lebuh dalam perasaan-perasaan klien menghadapi masa sulit hidupnya, dan kembali mengetik kata demi kata, hingga tiga lembar terurai tanpa terasa.


Namun, suara angin kembali menggangguku. Pikiranku mulai bercabang, mulai bermain logika. Suara gesekan daun seharusnya tidak berirama seperti itu. Derak tulang daun yang sesekali mengantuk pagar juga tidak sama dengan suara ketukan tongkat. Semakin lama kudengarkan gemeresak tadi memang bukan seperti yang kupikirkan sebelumnya. Suara itu lebih mirip seretan langkah kaki. Tapi, rasanya ronda malam tidak diberlakukan di perumahanku.


Aku mematikan komputer, sambil menajamkan pendengaran. Suara itu memang seperti seretan langkah yang tertatih diikut gemeletak seperti tulang yang beradu. Ketika aku konsentrasi, suaranya malah terdengar nyata dan semakin lama semakin mendekat. Lalu, berhenti. Di depan rumahku. 


Napasku tertahan.


Aku kembali melirik jam dinding: pukul 01.13. Kutajamkan mata, dan jarum tidak berubah. Kurasa tadi jarum jam pada posisi itu, saat aku mulai memutuskan menulis. Aku sempat berpikir baterai jam habis maka aku beralih, menoleh pada jam di ponsel. Dan ternyata memang waktu tidak bergerak. Angka di ponsel pun menunjukkan angka yang sama. Saat masih berkutat dalam pikiran yang membingungkan, pintu rumahku tiba-tiba bergetar hingga membuat gantungan kunci di pintu berdenting cukup kencang. Seperti ada seseorang yang mendorong dari luar dengan paksa.


Sontak aku berdiri, menatap nanar pada daun pintu yang terus bergetar. Masih dalam ketakutan yang mencengkeram, tiba-tiba lampu padam dan gelap menguasai pandangan.

Tiga Tahun TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang