Marwan sudah mengatakan kepada anak perempuannya bahwa ada hantu-hantu yang berkeliaraan di kamarnya. Mereka tidak tampak seperti tuyul yang gundul atau kuntilanak yang berambut panjang. Mereka berwarna hitam, terkadang putih, atau abu-abu yang bergerak melayang-layang, mereka juga sering berbisik-bisik hingga lewat tengah malam yang membuatnya tak bisa memejamkan mata, dan mereka berbicara banyak hal yang kadang jelas dan kadang samar. Marwan tidak merasa takut, tetapi jelas hantu-hantu itu mengganggunya.
Anak perempuannya pernah memintanya untuk pindah kamar, tetapi Marwan terlanjur menyukai kamar itu. Karena dari jendela kamarnya yang berkilau setiap pukul sembilan, ia bisa melihat pohon ketapang yang menjulang, yang bergerak-gerak seperti istrinya. Perempuan yang ia nikahi bertahun-tahun lalu itu tidak pernah berhenti bergerak, tidak pernah berhenti bicara--kadang bicara keras-keras, kadang berbisik-bisik seperti hantu-hantu di ruangan ini.
Istrinya adalah perempuan dengan kecantikan rata-rata, dengan kepintaran yang biasa saja, tak terlalu pandai memasak, atau menjahit pakaian, tapi ia sangat cerewet.
Dahulu, awal menikah, istrinya adalah perempuan pendiam, yang ia tahu. Tetapi bertahun kemudian, ia mulai banyak bersuara. Mulai menceritakan banyak hal setiap Marwan sampai di rumah. Perempuan itu bisa melesatkan ribuan peluru dalam sekali duduk, menceritakan kesibukannya, mengeluhkan kegiatannya, membicarakan tetangga, atau menberondong cerita-cerita sinetron yang ia tonton dari siang hingga petang. Marwan selalu menanggapi, selalu tersenyum, selalu mengangguk, tanpa mengerti apa yang sebenarnya perempuan itu katakan. Setiap kali pulang ke rumah, istrinya seperti anak anjing yang mengekorinya, lalu menggongong tanpa henti demi perhatian darinya. Dan semua akan senyap ketika istrinya tertidur.
Suatu kali dulu, Marwan pernah merantau. Tinggal di barak yang jauh dari rasa nyaman, tidak ada istri dan anak-anak yang menyambut ketika ia pulang. Dan saat senja menjelang, ia hanya menatap langit-langit dan membayangkan suara-suara yang biasa ia dengar. Maka ia menelpon istrinya hanya untuk mendengar suaranya, mendengar celotehnya, dan mendengar cerewetnya. Ternyata, ia merindukan suara-suara yang terkadang membuatnya ia sebal. Ia merindukan perempuan itu. Namun, perempuan yang dikasihinya itu kini telah tiada.
Bertahun lalu, ketika ia pulang dari rantau, istrinya mengatakan: “Ada kanker di leher rahimku.” Ia mengatakan seolah sedang mengabarkan hujan turun tadi malam. Dan sejak itu istrinya tidak lagi banyak bicara, tidak lagi menceritakan tetangga, tidak lagi memberondongnya dengan cerita-cerita sinetron. perempuan itu lebih sering di kamar, menggelung seperti udang dengan tubuh yang sekurus ranting lapuk, sambil meringis menahan sakit. Pengobatan-pengobatan membuat badannya terkikis, rambutnya habis, namun ia tak pernah menangis. Marwan ingat, bagaimana ia selalu duduk di samping ranjang untuk mengelus punggung perempuan itu.
Marwan tidak ingat kapan terakhir kali melihat istrinya, seperti ia tidak ingat kapan sendok-sendok mulai berkumpul di bawah bantalnya. Yang ia tahu, dulu istrinya punya koleksi sendok di lemari makan yang selalu menyusut setiap bulan dan ia selalu bilang, “Entah ke mana sendok-sendok itu menghilang. Setiap kali aku beli selusin dan akhir bulan tinggal setengah. Mungkin ada hantu-hantu yang mencuri sendok di rumah ini.” Marwan hanya tertawa ketika istrinya mulai mengomel. Ia tahu istrinya hanya mengeluh, karena bulan berikutnya ia akan membeli sendok lagi. Dan hilangnya sendok-sendok itu tetap menjadi misteri.
Kemarin, anak perempuannya mengumpulkan sendok di bawah bantal Marwan. Lalu, ia mendekatinya, “Bapak, sendoknya biarkan saja di nampan ini, nanti saya akan mengambilnya.”
Marwan ingin menjelaskan bahwa hantu-hantu itulah yang meletakkan sendok-sendok itu di bawah bantalnya, tetapi kata-kata di kepalanya menghilang. Ia bahkan kesulitan menyebutkan benda-benda di sekitarnya. Ia merasakan kepalanya penuh, tetapi tidak ada kata yang tepat untuk menyatakan apa yang ingin ia katakan. Hanya sebaris sanggahan yang bisa keluar dari bibirnya. "Bukan aku yang meletakkannya."
Perempuan itu tersenyum.
Marwan tahu, anak perempuannya itu tidak mempercayai perkataannya. Esok dan esoknya lagi perempuan itu tidak menegurnya, tetapi setiap hari ia memeriksa kasur Marwan. Kadang perempuan itu menemukan sendok, garpu, piring, bahkan pisau di bawah bantal, di kolong tempat tidur, dan di dalam lemari pakaian.
Akhirnya, Marwan hanya diam melihat perempuan itu membersihkan kamarnya. Ia berdamai dengan diamnya perempuan itu seperti dulu ia berdamai dengan ketiadaan istrinya. Marwan tidak mau dianggap pembohong, maka ia mulai keluar dari kamar itu setiap kali perempuan itu masuk. Ia lebih suka menghabiskan waktu di bawah pohon ketapang, menatap helai-helai daun yang bergoyang, dan ranting-ranting yang mulai mengering. Ia mulai mengamati burung-burung gereja yang beranjak pulang, diiringi awan-awan yang berarak pelan. Lalu, ketika senja datang, perempuan itu akan menghampirinya. "Pak, sudah sore. Ayo masuk ke rumah. Makan udah siap, jangan lupa obatnya di minum ya."
Marwan berdiri, menahan sakit sendi kakinya yang belakangan semakin kaku. Ia melangkah perlahan sambil berkata, "Obat-obat itu harus kumakan, agar hantu-hantu itu tidak datang."
"Iya, Pak. Agar dimensia Bapak bisa lebih lambat datang." Perempuan berseragam putih itu membantu Marwan, kemudian mengalungkan syal rajut ke punggungnya.
(End)
![](https://img.wattpad.com/cover/331811676-288-k575303.jpg)