Angin berhembus melewati pepohonan. Membentuk sebuah orkestra dari daun-daun yang bergesekan. Melodinya terdengar disetiap penghujung jalan. Hingga memasuki rumah-rumah yang dilewatinya.
Salah satunya rumah dengan pagar berwarna hitam, dengan tinggi yang tidak melebihi dada seorang laki-laki dewasa. Di balik pagar tersebut terparkir mobil kecil berwarna putih. Di samping garasi luarnya, ada taman kecil dengan lampu taman berbentuk bulat di tengahnya. Ada juga dua anak tangga yang menghubungkan antara garasi mobil dan teras depan. Di teras tersebut ada pintu cokelat tua yang menghubungkan teras depan dan ruangan di dalamnya.
Pemilik rumah tersebut merupakan keluarga kecil yang beranggotakan satu orang ayah dan satu anak perempuan. Keluarga kecil yang sederhana dengan rumah yang sederhana.
Sang ayah sedang berada di dapur. Perhatiannya fokus pada telur yang mulai berasap di atas wajan. Sang ayah bukanlah seorang koki, yang pandai memasak dan paham akan rasa. Tetapi setidaknya dia bisa memasak masakan yang ringan untuk sarapan sang putri dan untuk dirinya. Itu yang ia pikirkan selagi memindahkan telur dari wajan menggunakan spatula ke piring putih berbahan porselen itu yang sudah ada mie goreng berwarna kecoklatan di atasnya.
"Segini cukup harusnya," ucap sang ayah yang terlihat puas dengan masakan yang ia buat.
Sementara itu, sang anak perempuan berada di kamar yang tak jauh dari area dapur. Pintu berwarna merah, itulah kamarnya. Mudah untuk diingat mana kamar sang anak, karena hanya pintu kamarnya yang berwarna merah di dalam rumah tersebut.
Di balik pintu tersebut, hadir sang anak perempuan dengan pakaian seragam sekolah atasan putih dan bawahan rok abu-abu selutut, sedang menyisir rambutnya sambil melihat cermin yang tertempel di pintu kamarnya. Rambut panjang sebahu berwarna hitam itu ia kuncirkan ke belakang setelah selesai menyisirnya. Dasi yang sudah bertengger di kerah seragamnya itu lalu ia eratkan ikatannya hingga mengunci kerah seragamnya dan terlihat rapih. Berbeda dengan seragam anak SMA pada umumnya, baju atasannya tidak perlu dimasukkan ke dalam roknya. Seragam atasannya sudah di rancang sedemikian rupa agar dapat terlihat rapih meskipun tidak dimasukkan ke dalam celana ataupun rok sekolah.
Sang anak perempuan itu memandangi pantulan wajahnya dalam cermin sejenak. Kemudian ia berjalan mundur ke belakang, ke tempat tidurnya yang dibalut sprei abu-abu, lalu duduk di pinggir kasurnya. Tak jauh dari tempatnya berada terdapat tas ransel hitam dan hp miliknya. Perempuan itu lalu memandangi langit-langit kamar, dinding-dinding kamar, seluruh perabotan yang ada di sana, meja belajar yang ada di samping tempat tidurnya, tas koper di lantai yang terbuka dan memperlihatkan isinya yang belum dibongkar dan pandangannya pun berakhir pada kaus kaki yang dikenakannya.
"Kenapa dari semuanya, harus ke sini lagi..." gumamnya.
Getaran dari hp miliknya menarik perhatiannya. Tangannya yang putih dengan jari jemarinya yang kecil itu menarik hpnya mendekat kepada dirinya. Di lihatnya layar sambil mencari apa yang membuat hp itu bergetar. Alarm. Hanya itu yang membuat hpnya bergetar. Terlihat di layar hp waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Tapi sorot mata perempuan itu tidak tertuju pada jam di layar hpnya. Ia lebih fokus terhadap apa yang menjadi gambar latar belakangnya. Potret dirinya bersama dengan perempuan yang mirip dengannya, tetapi lebih tua darinya itu.
"Sarapan siap," ucap sang ayah dari balik pintunya.
Tidak menjawabnya, perempuan itu langsung mengambil tasnya begitu juga dengan hpnya lalu berjalan menuju pintu kamarnya. Dibukanya pintu tersebut.
"Gak seenak di drama yang kamu tonton tapi ya cukup," ucap sang ayah sambil melihat mata putrinya itu.
Tidak ada jawaban dari sang putri. Sang ayah yang paham langsung membuka jalan menuju dapur. Putrinya mengekornya di belakang.