0.5

161 14 4
                                    

Malam yang gelap tak terlihat satu pun bintang. Seorang gadis tidur tengkurap di atas ranjang. Bola matanya memantulkan bayang-bayang. Pikirannya melayang. Hingga disadarkan oleh cahaya yang terang.

"Kebiasaan kan ngelamun," suara di balik sumber cahaya yang terang itu.

Cahaya tersebut pun mati.

"Gak ada kerjaan banget ya sampe bawa senter gitu?" tanya gadis yang wajahnya baru saja disorot dengan senter.

"Lah abisnya jadi orang gampang banget ngelamun," balas si pembawa senter kemudian duduk bersila di sebelah gadis yang masih diam dalam posisi tengkurap itu.

"Zoy, yakin mau pulang? Kayaknya bentar lagi hujan deh," ucap gadis yang tengkurap itu.

"Kalau gak pulang, besok aku sekolah pakai baju apa Toy?" balas gadis yang dipanggil Zoy itu.

"Toy toy toy, namaku Christy," ucap gadis bernama asli Christy itu.

"Lah namaku juga Azizi," balas Zoy, alias Azizi.

"Tapi kamu jadi keren kalau dipanggil Zoya, kayak nama orang rusia, lah aku Toy, Toy, Toy apa? Toya?" ucap Christy.

"Nah itu bagus, Toya!"

"Bukan itu maksudku!" Christy merengek sambil mendorong tubuh Azizi pelan.

Azizi tertawa puas dan lanjut mengejek Christy dengan memanggilnya Toya. Hingga suara guntur yang cukup keras memberhentikan mereka berdua yang tengah saling ejek. 

"Tuh, aku pulang duluan deh ya," ucap Azizi lalu turun dari kasur.

Diambilnya jaketnya yang tersengkut di kursi belajar Christy. Dengan tergesa-gesa Azizi memakai jaket model varsity berwarna hitam berlengan putih itu. Setelah terpasang, Azizi pergi keluar dari kamar Christy. Dan yang punya rumah pun mau tak mau mengantar Azizi untuk sampai ke pintu keluar.

"Dah Toya! Ketemu besok di sekolah," ucap Azizi setelah berada di luar gerbang rumah Christy.

"Christy, bukan Toya," dumel Christy sambil melihat punggung temannya yang dengan cepat menghilang dari pandangannya.

Azizi berlari melewati gelapnya malam. Sumber cahayanya hanyalah lampu jalanan yang terpasang di pinggir jalan dan lampu depan rumah-rumah yang dilewatinya. Suara dari jangkrik dan anjing yang menggonggong menemani Azizi di malam itu. Azizi terus berlari hingga dirinya pun sampai pada pintu palang lingkungan perumahan Christy.

"Duluan pak," Azizi memberikan salam pada penjaga pintu palang, nadanya yang akrab menandakan bahwa Azizi sudah sering keluar masuk perumahan tersebut.

"Bentar lagi hujan Zee, mau saya panggilkan ojek?" tawar penjaga pintu palang tersebut.

"Enggak usah pak, duluan ya!" ucap Azizi lalu kembali berlari pulang.

Azizi mulai memelankan tempo larinya setelah cukup jauh dirinya berlari dari pintu palang perumahan Christy. Dirinya kini sudah berada di jalan raya yang masih ramai akan kendaraan. Dirinya pun berhenti sejenak lalu mengeluarkan hpnya. Dilihatnya jam yang terpampang di layar hpnya. Jam 8 malam. Masih terlalu dini untuk jalanan menjadi sepi di daerah tersebut.

Zee lalu meletakkan hpnya ke dalam saku varsity nya dan melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki. Sebenarnya jarak rumah Azizi dan Christy tidak begitu jauh. Hanya perlu menempuh waktu sekitar dua puluh menit dengan berjalan kaki.

Akses jalan yang digunakan Azizi untuk sampai ke rumah Christy adalah akses jalan utama, yaitu melewati jalan raya. Dan Azizi lebih suka berjalan kaki jika pergi ke rumah Christy. Selain untuk menghemat, dirinya juga bisa melihat toko-toko pinggir jalan yang dilaluinya.

Christy adalah anak tunggal. Orang tua Christy jarang sekali berada di rumah. Keduanya disibukkan dengan pekerjaannya masing-masing. Itulah sebabnya Azizi kerap sekali bermain di rumah Christy. Biasanya sepulang sekolah Azizi langsung mampir ke rumah Christy dan pasti pulang malam. Christy tidak apa-apa dengan itu, karena Christy tidak merasa kesepian. 

Azizi sendiri merupakan anak dari keluarga yang cukup berada. Ayah Azizi adalah sosok yang disegani di daerah tempat mereka tinggal. Ayahnya menjabat sebagai walikota. Tidak ada yang tidak mengenal keluarga Azizi. Dirinya sendiri pun kerap sekali disapa oleh beberapa orang setiap kali pulang berjalan kaki dari tempat Christy. Merasa dikelilingi oleh orang-orang yang kenal dengan dirinya membuat diri Azizi merasa aman meskipun dirinya pulang malam. Tapi, hal itu tidak menjamin dirinya aman dari serangan hujan yang tiba-tiba saja datang.

Hujan yang tiba-tiba datang dengan deras membuat Azizi kembali berlari mencari tempat meneduh. Beruntung dirinya sedang berada di kawasan kuliner. Ada banyak tempat teduh yang bisa dirinya pilih dan Azizi memilih untuk meneduh sejenak di salah satu kafe dengan nuansa tempo dulu dan di dominasi warna hijau tua. 

Kafenya tidak terlalu luas tapi tidak terlalu sempit juga. Di dalamnya terdapat 4 meja kayu persegi dengan 4 kursi di setiap mejanya. Ada juga meja dengan model bar dengan 4 kursi berjejer. Di luar kafe ada lagi 3 meja kayu bundar dengan 2 kursi di masing-masing mejanya. 

Azizi duduk di area meja bar yang berhadapan langsung dengan mesin kopi dan baristanya. Selain dapat langsung melihat baristanya yang sedang meracik kopi, Azizi juga dapat melihat pegawai kasir yang sedang melayani pelanggan lain, ornamen-ornamen tahun 70 hingga 90an yang tertempel di dinding kafe, bubuk-bubuk kopi di dalam botol-botol kecil yang tertata rapi pada lemari kayu yang ada di area barista bekerja. Selain Azizi, ada beberapa pelanggan juga yang sudah berada di sana sebelum dirinya sampai. 

Sambil menunggu kopinya disajikan, Azizi melihat ke arah televisi cembung yang di letakkan di meja kecil yang tak jauh dari tempatnya duduk. Televisi tersebut sedang menampilkan acara berita malam hari. Beberapa pelanggan yang berada dekat dengan televisi tersebut juga terfokus pada berita yang sedang dibacakan oleh sang presenter.

"Populasi warga Indonesia yang kian hari makin meningkat membuat para pakar khawatir akan sumber daya yang akan cepat habis di masa yang akan datang..."

"Kopinya kak," ucap sang barista sambil memberikan secangkir kopi panas pada Azizi.

"Makasih," balas Azizi singkat kemudian kembali memperhatikan berita televisi.

"...angka kriminalitas yang turut meningkat membuat warga semakin resah. Mari kita lihat grafik angka kriminalitas yang terjadi di beberapa titik daerah."

"Aneh ya, jalanan sekarang terasa lebih ramai, bukan terasa lagi, tapi memang sudah ramai," ucap salah seorang pelanggan yang duduk dekat televisi.

"Ya, baru kemarin terjadi kemacetan yang cukup parah di persimpangan toko kelontong dekat bank itu," balas temannya.

"Tidak hanya di jalanan, aku berbelanja di supermarket antrean kasirnya panjang sekali. Aku sampai tidak jadi dan memilih beli di warung kecil saja. Rupanya itu bukanlah solusi, warung-warung kecil sudah ikutan ramai. Sudah gila zaman sekarang!"

"Tapi untung saja di tempat ini tidak ramai ya, kita masih bisa menikmati kopi," ucap lelaki itu lalu disusul dengan suara tawa keduanya.

Azizi mendengarkan pembicaraan mereka sambil melihat presenter di televisi yang sedang menjelaskan grafik-grafik yang terpampang di layar televisi. Sambil sesekali tangannya menyentuh tubuh cangkir kopi miliknya agar panas dari kopi ikut menghatkan tangannya.

Menit demi menit telah berlalu. Hujan deras di luar sudah menjadi gerimis. Azizi yang sudah menghabiskan kopinya sedari tadi beranjak dari kursinya dan keluar dari kafe. Sesaat setelah dirinya menutup pintu kafe dari luar, seseorang menikam perutnya dan menghujani tubuhnya dengan pisau berkali-kali hingga meninggalkan Azizi tergeletak penuh darah di depan kafe tersebut. 





-tbc-




***




Enjoy. Kritik & saran^^

Doka

ClassroomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang