SEBUAH KEPUTUSAN

8 1 0
                                    


Abi tampak langsung terbatuk dan minuman yang ada dari tangannya tampak ikut terguncang saat mendengar ucapan anak lelaki itu di depan matanya. Sementara itu, beda reaksi dengan Umi, begitu sapaan akrab anak lelaki ini pada ibunya, yang selama 9 bulan mengandungnya, lalu melahirkan dengan segenap usaha dan pengorbanan hidup dan matinya. Belum selesai sampai di sana, menyusui hingga menyapihnya sampai di dua tahun pertama dan sekarang adalah ucapan "tidak" untuk pertama kali keluar dari mulut anak lelakinya. Umi nyaris ingin menggertak putranya. Tapi, tangan suaminya menahan.

Sementara itu, Haqy Muhammad Attaqy tampak terdiam di posisinya. Tak ada reaksi apapun darinya, hanya keberanian inilah yang tersisa pada dirinya. Keputusan besar yang bahkan mestinya dia tahu akan begitu banyak resiko yang akan dia hadapi, tapi lihatlah, matanya menangkap penuh keyakinan meski pandangannya masih tertunduk.

"Apa kamu yakin?" Tanya Abi.

Dari sepersekian detik, menit yang berlalu hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya. AKH!

Ibarat permainan badminton, lagi dan untuk kesekian kalinya, pertanyaan itu dilempar dan kali ini Haqy yang harus menjawabnya. Bisa apa lelaki berusia tanggung itu kali ini.

Mungkin bagi kebanyakan orang ini adalah momentum penting dimana sebuah pertanyaan itu akan mengantarkan kita pada dua hal—benar benar yakin atau saatnya berubah pikiran dan anggaplah hanya sebuah prank belaka. Tapi anehnya, lelaki tanggung itu seolah tak memiliki ketakutan dan keraguan meski hanya satu senti sekalipun.

Haqy hanya mengangguk penuh dengan keyakinan dan ketakzimannya.

Lagi dan untuk sekian kalinya, Umi hendak bereaksi, namun lagi dan lagi tertahan oleh suaminya.

"Hidup ini selalu mengantarkan kita pada pilihan, terkadang suka ataupun tidak suka akan hal itu, kita harus menjalaninya. Apa ada hal yang berat yang tidak kamu sukai dalam hal ini?" Tanya Abi.

Haqy menggeleng.

Dia tahu, semua ini cukup sempurna dan menyenangkan. Tidak ada hal berat yang mesti dia takutkan atau sesalkan hidup di keluarga ini, apalagi menjadi penerus di keluarga ini.

Tapi, keinginannya masih sama—lebih cepat, lebih baik ia segera keluar dari sini. Suka ataupun tidak suka. Dia tahu ini adalah bagian keputusan yang tepat untuk saat ini.

"Bukankah manusia itu menjalani hidup sesuai dengan keyakinannya? Lakukanlah..."

Haqy terkesiap. Dia tak pernah menyangka jawaban yang ditunggu hanya sepatah kata, semudah itukah abi menjawab semua ini?

Umi kali ini bereaksi, taka da penahanan dari suaminya lagi.

"Jangan kamu pikir hidup di luar pesantren ini akan mudah!" Tegasnya.

Haqy tercekat.

"Saya tahu ini pasti mengecewakan buat Umi, tapi—saya mau menjalani apa yang saya yakini persis apa kata abi. Karena, ini hidup saya, hanya sekali ini saya berkata tidak untuk perjodohan yang direncanakan—apa salah?" balas Haqy.

Umi tampak terdiam tapi masih terlihat emosi. Sementara itu Abi berusaha meredamnya.

"Sudahlah mi, Haqy sudah besar, sudah saatnya menentukan mau jadi apa dia dalam hidupnya. Dan apa yang akan dia berikan sebagai balasan."

JLEB!

Selalu begitu. Abi tidak pernah menolak apapun keinginan anak anaknya, tapi satu hal yang selalu menyertai keputusannya mengikuti keinginan anak anaknya, adalah pengungkitan. Balasan, jasa atau bahkan apapun yang kadang membuat kami tak kuasa melanjutkan keinginan ini.

Sementara aku saat ini?

Aku masih dalam posisi keinginan yang kuat. Masih bisa membedakan antara keinginan penuh logika ataupun nafsu belaka. Sungguh, banyak orang di dunia ini yang ketika dia sudah berkeinginan—cenderung dari mereka mampu membedakan mana logika dan mana nafsu belaka! Tapi, ini berbeda—lelaki umur tanggung itu hanya ingin menjalani taqdirnya, bebagaimana mestinya tanpa bentukan dari orang lain, sekalipun itu adalah orang tuanya.

Sebuah petuah besar pernah didengarnya, agama manusia dibentuk oleh agama dan prinsip orang tuanya. Dia tidak pernah tahu apa yang sebenarnya dia inginkan, dan tentu bukan sekadar itu, melainkan juga apa yang dia yakini. Bukan, tentu bukan karena dia ragu dengan apa yang selama 23 tahun ini dia jalani dan peluk. Melainkan, langkah kakinya hanya ingin membuktikan bahwa kebenaran inilah yang sebenarnya dia inginkan dan yakini.

Haqy masih berkutat dengan pemikirannya. Dan dengan segudang kepatuhannya. Banyak orang meragukan pilihannya lantas meninggalkan ajarannya hanya demi mencari pembenaran.

"Ahh manusia, selalu begitu. Dimana ada celah untuk mencari pembenaran, apapun ia lakukan." Gumam Haqy.

Lelaki tanggung itu tampak terduduk dalam kepasrahannya. Sebuah totalitas yang selalu dia pertanyakan. Tangannya masih berputar dalam hitungan setiap garis jemarinya yang digunakan sebagai tasbihnya. Lisannya masih menyebut ke-Maha besaran Allah. Tepat saat itulah sebuah ketukan pintu pelan terdengar. Haqy tampak mengerjapkan matanya. Ketukan pintu ini, dia tahu siapa pemilik tangannya.

KREEKK! Terdengar bunyi derit pintu.

Di depan pintu, Umi, dia ada di sana. Tatapan matanya tak pernah berubah. Semarah apapun seorang ibu tahu, bahwa kasih sayangnya jauh lebih berkali kali lipat dari segalanya.

"Kenapa kamu mau pergi? Apa semua yang ada dalam hidup kamu masih kurang?" Ucapnya.

JLEB! Kalimat itu kontan membuahkan sebuah reaksi yang mengejutkan. Haqy kontan terduduk di lantai dan memeluk lutut umi-nya.

"Kalau malam ini saya harus bersumpah, saya akan bersumpah, Mi. Wallahi mi, apa apa yang sudah umi dan Abi berikan selama ini jauh dari cukup. Jauh dari sempurna. Tapi semakin saya merasakan semua ini, semakin saya merasa gak layak atas semua ini."

Haqy menatap lamat-lama kedua mata sepuh umi.

"Iya tapi di dunia tidak ada hal yang terjadi tanpa alasan, Haqy. Umi yakin kamu pasti menyembunyikan sesuatu dari Umi dan Abi kan?"

Haqy tercenung. Dia bahkan bukan hanya menyembunyikan sesuatu dari Umi dan Abinya, tapi juga menyembunyikan sesuatu itu dari dirinya sendiri. Sesuatu yang bahkan dia belum mengerti.

"Aku mohon ridho, umi.." Ucapnya terbata-bata.

Mata umi tampak berkaca kaca. Sebuah dilemma besar kini dihadapi olehnya. Tidak meridhoi perjalanan anaknya, sama dengan mematikan setiap langkahnya. Tapi meridhoinya artinya ia juga harus mengikhlaskan putranya pergi. Lantas dia mesti melakukan apa?

### 

(gak semuanya) HARUS SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang