Note: Nama cece diganti Nana, biar lebih nyaman aja sih. Happy reading 😘
:
:
:Acara sendau gurau masih berlanjut, mengingat besok adalah hari libur. Akhir pekan yang mana hari yang selalu dinanti-nanti oleh semua orang, waktu yang pas untuk berkumpul bersama sanak keluarga.
"Hari kamis kemarin nilai matematika Ana dapet enam lima," ucap Ana dengan nada sedih.
"Kok bisa?" tanya Hadi, Ayah dua anak itu merasa heran, tidak biasanya putrinya mendapatkan nilai seperti itu. Serendah-rendahnya masih diangka tujuh yang mereka dapat.
"Kenapa baru bilang, coba ambil bukunya. Kakak mau lihat," pinta Nana. Setelah mendengar perintah dari kakaknya, Ana berlari ke kamar untuk mengambil buku. Tidak lama kemudian tampak bocah berkuncir dua itu berjalan kearah kakaknya, dengan sebuah buku bersampul coklat yang ditenteng.
"Adek, bawa bukunya yang baik, dong," pinta Hadi. "Masa bawa ilmu kayak gitu. Jangan diulang lagi, ya," lanjutnya.
Setelah menjawab peringat dari papanya, Ana menyerahkan buku tugasnya kepada Nana, "Ini bukunya," ucapnya sambil mengulurkan buku tugasnya.
"Kamu paham nggak sama perintahnya?" tanya Nana. Untuk saat ini Hadi dan istrinya akan menjadi penonton saja, sudah siap untuk melihat perdebatan kecil yang akan dilakukan oleh kedua putrinya itu.
"Paham, itu suruh bagi dua, kan?" jawabnya.
"Salah. Coba perhatikan kalimat perintahnya,"
"Iya bener. Berapa hasil dari empat puluh dibagi setengah? Jadi bener dong empat puluh bagi dua hasilnya dua puluh. Tapi, kenapa itu disalahkan sama Miss Berlin?" jelas Ana.
"Iya jelas disalahkan. Kamu aja nggak faham sama perintahnya, ini tuh gini," Nana mengambil pensil dan mengerjakan salah satu soal untuk saudara kembarnya itu.
"Lain kali pahami dulu perintahnya, baru dikerjakan. Yang salah bukan Miss Berlin tapi kamu sendiri, Dek," komentar Nana pada adiknya, Ana.
"Hehehe ... maaf. Kan nggak tau kalau dibagi setengah dengan dibagi dua itu beda," balas Ana.
"Iya sudah. Sekarang Adek udah tahu kan? Jadi, lain kali kalau mau mengerjakan dipahami dulu perintahnya biar nilainya nggak turun," tutur Devinta.
"Kemarin satu kelas nilainya sama, Ma," jawab Ana.
"Wah ... terus Miss Berlin sendiko apa, Dek?" tanya Hadi mulai ikut menyuarakan isi kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cendana
General FictionOmbak yang menghempas pantai, deru debur yang tidak pernah membawa kesunyian. Selalu begitu, pamit kemudian menghempaskan kembali. Terlihat sosok remaja yang berjalan ke arah pantai, setelah sampai dia duduk menatap sang surya sambil melipat kaki da...