Bab 1

1.3K 227 35
                                    

Ketika Abi bangun, dia sudah tidak menemukan Gisa lagi di sampingnya. Abi mengitari pandangannya ke seisi kamar, namun Gisa atau pun Alma tidak terlihat dimana pun. Begitu ekor matanya melirik ke arah jam dinding, Abi tampak terkejut. sudah pukul dua belas siang ternyata.

                Abi beranjak dari atas sofa seraya memanggil Gisa. "Gis?" tapi tak ada sahutan. Diperiksanya kamar mandi, pun juga sama, Gisa tak ada di sana. Maka setelahnya, Abi memilih mencari Gisa ke penjuru rumah. Tapi Gisa tak ada dimana pun. Rumah bahkan terasa begitu sepi.

                "Kia," panggil Abi pada ART yang melintasinya. "Lihat Gisa, nggak?"

                "Bu Gisa, Pak?" ulang Kia. Abi mengangguk. "Bu Gisa pergi ke rumah sakit sama Alma. Kata Bu Gisa Alma panas tinggi tadi malam, terus pagi tadi juga masih panas, makanya Bu Gisa bawa Alma ke rumah sakit."

                Wajah Abi berubah panik. "Sama siapa?"

                "Sendiri, Pak. Naik taksi." Jawab Kia.

Di rumah ini memang tidak ada supir yang Abi pekerjakan. Gisa selalu menolak dengan alasan dia bisa menyetir sendiri. Sedang Ibunya jarang bepergian. Arjuna punya motor sendiri, begitu juga Raja. Jadi menurut Gisa, supir tidak dibutuhkan di rumah mereka. Dan mendengar Gisa ke rumah sakit dengan menggunakan taksi, pikiran buruk seketika menerjang Abi. Apa keadaan Alma sangat mengkhawatirkan sampai Gisa pergi ke rumah sakit dengan taksi?

                Abi berterima kasih pada Kia, lalu mulai berjalan kesana kemari seraya berkutat dengan ponselnya untuk menghubungi Gisa. Satu kali, dua kali, bahkan panggilan ketiga pun tetap tak terjawab.

                Abi berdecak kesal, dan bertepatan dengan itu, ekor matanya melirik ke arah pintu rumah dimana Gisa muncul sembari menggendong Alma menggunakan baby carrier. Satu tangannya menepuk-nepuk pantat Alma, sedang satunya lagi memegang sebuah tas tangan.

                Gisa melangkah santai melewati Abi yang masih menatapnya dalam keterpakuan.

                Menyadari hal itu, Abi bergegas menyusul Gisa. "Kamu abis dari Dokter? Alma sakit lagi?" Abi bertanya sembai menyamai langkah Gisa.

                "Hm." Gumam Gisa sekenanya.

                "Dokter bilang apa? Alma nggak apa-apa, kan?"

                "Cuma diare."

                "Terus gimana?"

                "Udah diikasih obat, lihat perkembangannya gimana nanti." Gisa meletakkan tasnya di atas sofa, mengeluarkan Alma dari baby carrier kemudian meletakkan Alma yang sedang tidur dengan penuh hati-hati ke atas ranjang. Dan sejak tadi, yang Abi lakukan hanyalah mengamati Gisa dalam keterdiamannya. Abi menyadari gelagat Gisa yang tak biasa. Cenderung diam dan tenang, tidak meledak-ledak seperti biasanya. Dan itu artinya, Gisa sedang marah.

                Menghela napas, Abi memilih duduk di samping Alma. Disentuhnya jemari kecil putrinya seraya diusapnya lembut.

"Kok kamu perginya nggak bilang aku?" gumam Abi pelan. Matanya menyorot sendu wajah putrinya. Hanya saja, karena dia tidak mendengar sahutan Gisa, Abi kembali melirik istrinya itu. "Gis?"

                Seraya mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, Gisa menjawab dengan suara tenangnya yang menusuk. "Kalau gue harus bilang sama lo, yang ada anak gue keburu mati."

                Abi mengernyit tak senang. "Ngomong apa sih kamu! Yang begitu nggak usah dijadiin bahan candaan."

                Wajah Gisa menoleh cepat seketika. Ada kemarahan diraut wajahnya. "Siapa yang bercanda memangnya? Lagian yang gue bilang juga benar, kan? Kalau gue harus bilang sama lo, artinya gue harus tunggu lo bangun dulu baru ke Dokter. Terus anak gue gimana? Memangnya lo tahu kalau tadi pagi Alma demam tinggi? Lo tahu udah berapa kali Alma muntah-muntah dari tadi malam? Nggak, kan? Jadi mendingan lo tutup mulut dari pada ngoceh nggak jelas kaya gini!"

SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang