Kematian dan Kabar burung

166 5 0
                                    

Dia mati. Bisik hatimu. Menahan pedihnya bibir yang tergigit kuat dan mendongak menahan bening yang siap meluncur dari mata, kamu meninggalkan kubur itu. Beberapa orang menghalangi langkahmu, entah apa yang mereka katakan, hanya tepukan di bahu yang kamu rasakan, telingamu tuli, hanya gaung itu yang kamu dengar, Dia mati... dia mati...

Wanita tua itu menghambur padamu, terisak tanpa henti. "Ayahmu... Dia mati!" Sakit sekali mendengarnya, kamu hanya bisa memeluknya. Bersembunyi di bahunya kamu tidak bisa lagi menahan genangan air mata. Melepaskan diri dan mencari tempat menyendiri, memandang ke langit sore dan melihat burung yang terbang bebas, kamu membayangkan punya sayap dan terbang meninggalkan semua rasa sakit ini. Namun itu hanya sebuah jika, dan 'jika' tak akan pernah memiliki 'nyawa' selama masih berpijak pada realita. Senyap dalam kesendirian, kamu tak berniat untuk beranjak.

"Jika saja kau masih hidup. Aku belum sempat membahagiakanmu, Ayah..." Kamu berkata pada malam. Dalam pikiran kosong, itulah yang pertama terlintas di benakmu. Kunang-kunang beterbangan, tapi kamu tidak bisa menikmati keindahan cahayanya.

"Kamu yakin dengan keinginanmu?" Sebuah suara mengagetkanmu. Burung itu... Kamu terkesiap, yang kulihat tadi sore.

"Sebuah 'jika' hanyalah kata-kata yang keluar dari sebuah rasa putus asa. Tapi pernahkan kamu mendengar sang 'Jika'? Dia adalah 'jika' yang hidup dan bisa mengabulkan 'jika' 'jika' yang diteriakkan ke langit. Baik dan buruk, besar ataupun kecil 'jika' itu, datanglah padanya, akan dia wujudkan." Kata Si burung.

"Apa maksudmu?" Kamu benar-benar bingung.

"Tadi siang saat aku melintasi wilayah ini aku mendengar kamu mengharapkan punya sayap sepertiku, dan terbang meninggalkan rasa sakitmu. Kemudian baru saja aku mendengarmu berharap ayahmu masih hidup. Berharaplah pada yang tepat, dengan cara yang tepat, dan berharaplah hal yang tepat pula. Karena aku tahu ada sang 'Jika' yang akan mengabulkan harapanmu."

Kamu terhenyak. "Itu mustahil, mana mungkin 'jika' punya nyawa dan bisa mengabulkan harapan." Kamu masih tak percaya dengan apa yang sedang kau dengar.

"Kasihan sekali, kau tak pernah mengenal sang 'Jika'. Orang-orang hanya terlalu bodoh dan berusaha memungkiri itu, mereka yang berharap sungguh-sungguh, benar-benar berhasil menemui sang 'jika' dan memenuhi harapan mereka." Burung itu memiringkan paruhnya. Kamu memandangnya dengan aneh, dan kemudian merasa sangat kesal saat baru sadar itu cara burung itu tertawa mengejekmu.

"Oke... Lalu bagaimana rupanya? Bagaimana cara aku menemukannya? Bagaimana aku bisa tau bahwa dia sang 'jika'." Sekarang kamu menjadi sangat tertarik, jika memang kemungkinan bukan lagi sebuah kemungkinan, kamu patut mencobanya.

"Kamu akan tahu itu dia setelah kau melihatnya. Sebesar rasa inginmu, sebesar itu pula kesempatanmu membuat kata 'jika' yang kau katakan terwujud. Carilah..." Burung itu terbang menjauh.

"Hei tunggu... Aku masih belum mengerti." Kau mengejarnya dengan putus asa. Tidak berhasil karena burung itu sudah menghilang di awan. Lelah, kamu memutuskan untuk pulang.

---

Segalanya semakin buruk saja, ditinggalkan dengan seribu kenangan, seribu perasaan yang tak tersampaikan. Hari-hari kamu lewati seperti mayat pucat dalam peti, malam siang terjaga dalam pelukan wanita tuamu dengan punggung basah oleh tangisnya.

"Jika saja..." Kamu semakin sering berandai-andai. Maju mundur, hanya kata jika yang terngiang. Hingga rasanya kamu tak tahan, dan kamu memutuskan untuk percaya pada kabar si burung, berangkat mencari Sang 'Jika'.

"Aku akan menghidupkan dia, Ma." Kamu meyakinkan wanita tua itu.

"Kamu gila... tak akan ada 'jika' yang bisa menjadi nyata. Aku akan kehilanganmu juga kalau begini." Dia tergugu.

"Apakah para pengembara yang memilih jalan, ataukah jalan yang memilih para pengembara?. Aku akan menemukan sang 'Jika', itulah jalan yang aku pilih. Walau aku tidak tahu jalan itu memang untukku atau tidak." Tak ada yang bisa mengubah keputusanmu lagi.

Wanita tuamu mendesah, "Kau adalah ayahmu, jika dia di posisimu sekarang, dia akan melakukan hal yang sama denganmu. Pasti."

"Lihat, betapa banyak kata jika yang kau dan aku katakan akhir-akhir ini, bahkan kau menghantarkan perjalananku dengan kata 'jika' lagi."

"Pergilah. Melihatmu seperti ini aku tidak bisa apa-apa selain memanjatkan 'jika'." Dia melepaskan pelukannya.

Kamu mengambil beberapa benda terutama benda yang ditinggalkan ayahmu di akhir hayatnya dan mengantonginya. "Aku pergi."


---

CAKA (Menemukan Sang "Jika")Where stories live. Discover now