Chapter 4

88 12 1
                                    

Cuaca hari itu cerah, dengan langit biru yang membentang luas di atas kota. Sinar mentari yang hangat menyinari pemandangan, menciptakan suasana yang menyenangkan.

Di tengah langit yang biru jernih, dua bintang paling terang bersinar dengan indah—satu bintang besar yang menyilaukan dan satu bintang kecil yang berkilau lembut di sampingnya.

Fenomena langka ini menciptakan pemandangan yang menakjubkan, seolah-olah langit sedang tersenyum pada penduduk kota di bawahnya.

Jendela terbuka lebar, membiarkan angin segar masuk ke dalam ruangan. Di luar, burung-burung berkicau riang di atas pohon, menciptakan simfoni alam yang menenangkan.

Aroma embun pagi dan dedaunan segar mengisi udara, memberikan sensasi menyegarkan bagi siapa pun yang menghirupnya.

Namun, kicauan mereka terhenti mendadak saat Nira kembali berteriak memanggil Edelweiss. Suara teriakan itu membuat kedua kelopak mata Edelweiss terbuka.

Edelweiss baru saja terbangun. Sudah tiga hari berlalu sejak ia mengurung diri di kamarnya, membutuhkan waktu untuk menyendiri setelah pertemuannya dengan Raven.

Namun, pagi ini Nira sudah berada di luar rumah, berusaha memanggilnya untuk meminta bantuan berdagang.

Selama tiga hari ini, Edelweiss tidak bekerja menjual ikan. Akibatnya, Nira tak henti-hentinya memanggilnya dengan teriakan yang lantang.

Sungguh mengherankan, bagaimana Nira masih kuat berteriak? Sudah beberapa menit berlalu, namun suaranya tetap lantang.

Mengingat Nira itu keras kepala. Maka dari itu, Edelweiss segera bangkit dari tempat tidur lalu dia membuka jendela untuk meminta Nira menghentikan teriakan panggilanya tanpa henti itu.

Karena kamar Edelweiss berada di lantai dua, Nira harus berteriak untuk memanggilnya. Tentu saja, Nira sedang berada di luar rumah.

Edelweiss enggan turun ke bawah karena Nira sudah terlanjur berada di luar, ditambah lagi dia akan sibuk berdagang nanti. Meskipun Edelweiss memintanya berhenti berteriak, Nira tetap membantah.

"EDELWEISS! AYO KERJA!" teriak Nira.

"KAU SUDAH MENGURUNG DIRI SELAMA 3 HARI! AKU TAHU KAU MASIH KESAL KARENA PRIA UBANAN ITU! TAPI TENANG, KAU TIDAK AKAN BERTEMU DIA LAGI!"

Setelah mengatakan itu, Nira menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.

"SUDAH CUKUP MENGURUNG DIRI! KAU PERLU TOUCH GRASS!" Jari telunjuknya mengarah ke bawah, menunjuk ke arah rumput.

Edelweiss hanya bisa menepuk dahinya dan mengerutkan alis. Meskipun enggan, ia sadar tidak punya pilihan lain selain melanjutkan pekerjaannya yang tertunda selama tiga hari terakhir.

Lagipula, Edelweiss sudah tidak merasa sedih atau marah lagi.

Namun, ia masih merasa sulit untuk memercayai bahwa seorang pangeran iblis seperti Raven benar-benar meminta maaf. Konsep ini terasa begitu asing dan hampir tidak masuk akal baginya.

Bagi Edelweiss, gagasan bahwa Raven meminta maaf terdengar sangat konyol.

Ia selalu berpikir bahwa kata "maaf" tidak ada dalam kosakata seorang pangeran iblis atau orang-orang berstatus tinggi lainnya. Mereka biasanya terlalu angkuh untuk mengakui kesalahan, apalagi meminta maaf.

Meski demikian, Edelweiss tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul saat ia mengingat ekspresi Raven.

Ada sesuatu dalam nada suara dan sorot mata Raven yang membuat Edelweiss ragu. Apakah mungkin permintaan maaf itu benar-benar tulus?

Pikiran ini terus mengganggunya, membuat Edelweiss bertanya-tanya apakah ia mungkin telah salah menilai Raven selama ini.

Dengan begitu, Edelweiss tidak perlu lagi memikirkan hal-hal rumit tentang permintaan maaf Raven. Meskipun terlambat, ia membutuhkan waktu untuk memaafkannya.

Your HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang