Sangat mudah untuk takut pada sesuatu yang tidak kita mengerti. Sebelum Adam menginjakkan kaki ke muka bumi, Maut sudah lebih dulu tiba di sini. Dia tidak pernah jauh. Dia selalu lebih dekat dari helaan napas. Lebih nyata dari apa yang bisa disaksikan mata. Dan dia akan menyaksikan setiap jiwa kembali.
Asaar memahami ini. Akan tetapi, seperti hampir semua manusia yang pernah dia jumpai, dia takut mati.
Dan sebagaimana mereka yang mendahului dan akan datang nanti, dia coba memahami. Berusaha dia gali makna dari keberadaannya yang singkat. Yang mungkin tidak berarti. Yang bisa kapan saja berhenti.
Di desa Palareja yang dia tinggali, Asaar yakin dia tidak sendiri ketika dia mengakui dia belum siap beranjak memasuki kehidupan setelah kematian. Dan khusus untuk kasusnya, gambaran apa-apa saja yang akan menyambutnya sesudah napas terlepas dari raga hanya sedikit mendamaikannya. Bekal guna mengarungi hari yang kekal, baginya, bukan sesuatu yang bisa siapa saja ukur.
Perbedaan antara pemabuk dan pak haji, menurut Asaar, sesamar bekas luka yang melingkari lehernya sendiri. Rasa nyaman yang orang peroleh dari menimbun kebaikan baginya sekadar ilusi. Mereka yang tinggi hati, lagi pula, konon haram measuki gerbang-gerbang yang suci. Menyadari keberadaan noda dan dosa yang senantiasa mengeruhka jiwa dia yakini sebagai langkah pertama bagi para pencari.
Asaar bertolak dari desa sebagai lulusan sebuah madrasah yang kental dengan ajaran-ajaran keagamaan. Teropong mulia yang akan membimbing hidupnya dia bawa. Teramat familiar teropong itu di tangannya sampai-sampai dia lupa. Buta. Bahwa teropong serupa bukan murni miliknya pribadi. Bukan sesuatu yang dia berhak monopoli.
Asaar ingat dia masih sering menunaikan sunnah-sunnah di luar kewajiban sebelum adik semata wayangnya berpulang. Insentif-insentif tersebut, sayangnya, tidak menolong saat seorang pelayat yang juga pemuka agama di desanya menasihati. Kata wanita ahli ibadah itu, "Perkuat imanmu, ya? Tragedi ini balasan. Karena kalian kurang beriman. Kurang dekat dengan tuhan. Kurang banyak beramal."
Asaar menyesal dia tidak mencekik leher wanita itu. Dengan melakukannnya, mungkin dia akhirnya tidak akan mengobarkan perang dengan tuhan yang dia nilai sudah picik mengambil adiknya yang baru berusia belasan dengan cara yang paling kejam. Mungkin, dia akan menjadi pria yang sama sekali berbeda sesudah ulang tahun kedua puluh limanya. Mungkin, dia akan sudi mempertimbangkan paksaan ibunya agar dia lekas menikah.
Asaar yang siang itu berjalan kaki usai membantu penguburan salah satu kerabat belum ingin mencari pendamping. Dia masih ingin sendiri. Keleluasaan sebagai seorang bujang belum ingin dia tukar dengan status seorang suami. Dan di mana salahnya?
Merdeka mengepakkan sayap ke mana dia suka mungkin bukan sesuatu yang Asaar bisa lakukan. Belenggu yang mencekalnya ke tanah dia akui berat dan mematikan. Helai kering dedaunan yang beterbangan bersama angin hanya mampu dia amati iri. Namun demikian, dia belum akan berubah pikiran. Menemani ibunya yang korban KDRT mengalahkan segalanya.
Pilihan yang sama, empat tahun yang lalu, menjadi alasan utama Asaar menelantarkan keberlanjutan studinya. Akan sia-sia, dia menilai, jika sampai dia tamat sarjana namun hanya akan terkungkung dalam dunia sempit yang adalah kota kecil kelahirannya. Lebih dari apapun, dia ketahui, untuk sukses di sana yang dia butuhkan adalah lidah yang bersedia menjilat apa saja, siapa saja, kapan saja, dengan cara yang entah bagaimana. Pendidikan terakhir tidak penting. Integritas itu ampas. Harga diri itu tai. Persaingan yang sehat hanya impian sesat.
Jadilah Asaar kemudian seorang pengangguran. Jangan tanya berapa penghasilannya. Bertani, berternak, serta berdagang nasi bungkus di kecamatan baginya hanya sampingan. Mengandalkan mereka sebagai lumbung uang tidak pernah terlintas di benaknya. Oleh karenanya, dia agak risih disebut petani. Atau peternak. Atau pedagang.
KAMU SEDANG MEMBACA
URUP SURUP [on going]
HorrorApa jadinya jika surup (senja) berhenti memulangkan lelah? Dan jangan salah. Malam yang menyiput menjemput pagi bukan bagian terparah. Setiap sesudah matahari berlabuh ke peraduan, bencana melanda. Keranda yang keliling desa dibantu kabut dan sosok...