Chapter 53

1.6K 56 1
                                        

Suapan terakhir wanita itu terima dengan senyuman lebar. Setelah menegak beberapa butir obat dan segelas air, wanita itu merentangkan tangannya. Pria di depannya jelas tahu apa maksud polah tangan sang wanita, tapi tubuhnya tak juga bergerak membalas.

"Aku mencintaimu," ucap wanita itu dengan senyuman yang tersungging begitu tulus.

Pria itu akhirnya duduk beralas lutut, dengan senyuman tipis ia menjawab dengan ragu. "A-aku ... juga mencintaimu," balasnya lalu masuk dalam pelukan. Terlihat begitu kaku dan canggung.

Wanita itu menjauhkan tubuh pria dalam dekapannya. Memandang dengan seksama wajah dari seseorang yang sangat ia cintai itu. Ia membingkai wajahnya, mengelus pipi, lalu merambat ke rambut.

"Kamu sudah beruban. Kamu tidak setampan Altair lagi," ucap wanita yang tak lain Anggita sembari terus menyisir rambut Andre dengan jari-jemarinya. Senyumnya begitu lebar yang kecil kemungkinan akan luntur. Tanpa Anggita sadari, Andre di bawahnya ikut tersenyum.

"Hanya beberapa bagian saja. Lagi pula, wajar jika ketampanan ayah turun pada putranya, kan?"

Anggita tertawa kecil. Sampai akhirnya ia berhenti tertawa tatkala Andre menangkup tangannya. "Sudah malam, waktunya tidur."

"Kamu akan pergi?"

Andre menggeleng. Ya, sejak Anggita keluar dari rumah sakit sebulan yang lalu ia benar-benar menepati ucapannya untuk memeperbaiki hubungan keluarganya. Terutama dengan sang putra. Namun, kemarin malam ia terpaksa harus pergi membeli obat Anggita yang hampir habis. Akibatnya, wanita itu juga tidak tidur sebelum Andre sampai di rumah.

"Aku hanya ke depan mencari Altair. Aku kemarin keluar juga untuk membelikanmu obat," jelas Andre membuat Anggita mengangguk mengerti. Ia membantu sang istri mencari posisi nyaman untuk tidur. Beberapa menit, setelah memastikan Anggita menuju alam mimpinya. Andre mendekatkan tubuhnya, mencium kening istrinya itu dengan sayang.

Sebulan yang lalu, beberapa jam setelah insiden di rumah sakit itu, Anggita akhirnya sadar. Saat itu, Andre sudah menyiapkan mental kalau-kalau Anggita nantinya akan mengamuk padanya. Namun, di luar dugaan. Wanita itu malah memeluknya seraya terus memohon agar Andre tidak meninggalkannya. Entah harus bersyukur karena Anggita tidak membencinya, atau harus bersalah dan tetap mencoba meminta maaf? Namun, Altair memperingatinya untuk tidak membahas hal sebelumnya. Dan sampai sekarang, hanya maaf yang bisa Andre ucapkan ketika istrinya tertidur sangking tak inginya membantah perintah Altair. Tidak ada lagi yang mengungkit kejadian itu di depan Anggita. Wanita itu tahunya keluarganya sudah baik-baik saja dengan Andre yang mulai banyak meluangkan waktunya.

Tanpa dua orang itu sadari, Altair memperhatikan mereka lewat celah pintu. Cowok itu dengan jelas melihat bagaimana tulusnya sang papa saat merawat mamanya. Namun, hal itu tak juga membuat Altair luluh dengan Andre. Hubungan mereka memang tak sesengit dulu, tetapi juga belum bisa sehangat hubungan ayah dan anak diluaran sana.

"Altair?"

Altair mendongak gelagapan. Ia terpergok mengamati papanya, tapi hal itu tak membuat Altair gugup. Cowok itu malah dengan santai berbalik untuk pergi. Andre yang masih berada di dalam kamar mendesah panjang. Ditatapnya Anggita yang sudah tidur nyenyak. Ia pun keluar berniat mencari Altair dan berbicara empat mata.

"Papa ingin berbicara denganmu," ucap Andre mengutarakan niatnya.

Altair yang hendak membuka pintu kamar menggeleng. "Sudah malam, Altair ingin tidur, Pa."

"Hanya sepuluh menit, tolong," pinta Andre memohon.

Altair tak menjawab, namun cowok itu berjalan menuruni tangga. Andre yang paham tanpa anaknya banyak bicara segera menyusul. Hingga sampailah mereka di ruang tengah rumah megah itu. Lelaki berparas sebelas dua belas dengannya itu duduk bersandar dengan tatapan mengarah pada jendela. Andre hanya bisa menghela napas, sebelum setelahnya menyusul duduk di depan anak lelakinya.

"Apa kamu masih marah dengan temanmu itu?" tanya Andre pelan.

"Teman yang mana?" tanya balik Altair. Ia paham, Andre tidak sedekat itu dengannya, maka dari itu Andre pasti tidak tahu nama-nama temannya seperti orang tua kebanyakan. Lagi pula, Altair tak merasa memiliki teman.

"Putrinya ... Trisha." Ada jeda saat Andre menyebut nama itu. Dia hanya takut menyinggung suasana hati Altair. Tapi, ia merasa perlu untuk menanyakan hal ini.

Altair menaikkan sebelah alisnya, ia tersenyum meremehkan. "Peduli apa, Papa? Apa Papa akan marah?" tanya Altair. Nadanya begitu tenang, tapi siapa saja bisa merasakan rasa dingin yang tersirat di dalam ucapan Altair barusan.

Suara hujan tiba-tiba terdengar dari arah luar. Seolah ikut merasakan aura dingin yang Altair pancarkan. Altair kembali mengalihkan pandangannya pada jendela, kedua tangannya masuk dalam saku untuk menghalau suasana dingin saat ini. Entah dingin dari luar, atau malah karena perbincangan mereka barusan.

"Yang patut disalahkan untuk semua kekacauan ini adalah Papa. Papa yang bajingan dengan kembali mendekati Trisha padahal saat itu-"

"Bagus kalau Papa sadar," sela Altair tanpa melihat bagaimana raut penuh penyesalan ayahnya.

Andre bergeming, ia menunduk dengan kedua tangan berpangku paha. Dia tidak akan marah, apapun, Altair berhak untuk mengungkapkan rasa kecewa terhadapnya. Ia menarik napas dalam, sebelum menerbitkan senyum tipis.

"Ya, Papa sekarang sadar. Jadi, bisa Papa mohon agar kamu jangan membenci Trisha dan putrinya. Bagaimanapun, mereka tidak bersalah," pinta Andre syarat akan nada penuh permohonan. Dia takut jika harus hidup dengan rasa bersalah karena membuat dua orang yang tidak bersalah dibenci oleh putranya.

"A-"

"Akan Altair pikirkan." Altair tak bisa menjawab pasti. Memaafkan memang mudah, tapi Altair tak yakin jika hatinya nanti akan sepenuhnya menerima. Walaupun yang dikatakan oleh Andre tadi benar, tapi tetap saja kehadiran orang itu telah membuat keadaan ibunya menjadi seperti saat ini. Altair hanya mengungkapkan rasa kecewanya, itu saja.

Merasa tak ada pembicaraan lebih lanjut, Altair pamit undur diri. Andre membiarkannya, cukup sampai di sini, ia tidak akan memaksa yang nantinya malah membuat jarak di antara dirinya dan Altair terbentang semakin jauh.

***

"Lo marah?" Daniel terkekeh sinis. "Ternyata lo bisa marah?" lanjut Daniel dengan nada sinis nya seolah meremehkan Nara yang sudah hampir seminggu merajuk perkara Daniel yang waktu itu tidak memberi jawaban secara jelas.

"Oi." Daniel mencolek Nara yang tengah sibuk mengelap meja kafe milik om Safira. Nara serius dengan keputusannya untuk tetap bekerja di kafe, meski Trisha sempat melarang, tapi dengan ini Nara merasa memiliki kesibukan lain.

Nara melirik kesal ke arah Daniel, sedangkan yang dilirik malah tertawa begitu manis. Menghiraukan gadis yang sejak tadi menatap iri ke arah mereka berdua dari meja kasir-Zilla. Seingatnya, dia adalah orang yang lebih dulu mengenal Daniel karena cowok itu sering datang ke kafe ini sekedar manggung atau membeli menu kafe untuk dinikmati bersama teman-temannya. Namun, kenapa malah Nara yang dekat bahkan sekarang berstatus menjadi pacar cowok itu?

Zilla meremas kain serbet yang tengah ia genggam. Tatapannya tak lepas dari gerak-gerik Daniel yang tengah mencoba menggoda Nara yang terlihat kesal. Andai ia berada di sana, bersama orang yang lebih dulu bertemu dengannya dari pada Nara.

"Mereka keliatannya cocok." Zilla mengerjap, ia langsung berdiri tegap, siap menanyakan pesanan pada cewek di hadapannya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Zilla ramah.

Gadis di hadapan Zilla itu tersenyum manis.

"Ya, temue gue sepulang lo kerja. Di taman depan kafe ini," ucapnya yang tanpa menunggu jawaban Zilla, ia sudah berlalu pergi.

Zilla mendengus. "Masih kecil, belagu," umpat Zilla tapi tak urung ia akan datang sesuai keinginan gadis itu. Siapa tahu, ia bisa memberi pelajaran.

Tatapannya kembali pada dua sejoli yang terlihat dalam percakapan serius, detik berikutnya, Daniel berdiri. Ia bisa mendengar pamitan cowok itu yang hendak berkumpul bersama teman-temannya. Di ambang pintu, Daniel berhenti. Memasang wajah sok galak lalu tersenyum manis dan melambaikan tangannya. Hanya saja, ia harus cukup sadar diri. Pamitan itu bukan ditujukan padanya, tapi pada kekasihnya-Nara.

TBC

Daniel Owns MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang