02

6 7 16
                                    

Sesuai perkataan ayahnya kini Aradera sedang bersiap-siap untuk pulang ke rumah walau pernyataan dari dokter yang mengatakan bahwa Aradera harus di rawat inap sampai pulih.

Namun gadis itu tak mendengarkan sama sekali perkataan dari mulut sang dokter. Alhasil dokter hanya dapat pasrah dan menyarankan Aradera untuk konsultasi setiap 2 minggu sekali.

Aradera lebih memilih pulang dibanding ia harus mendapat hukuman dari sang ayah yang lebih berat.

Anariri, sahabat gadis itu kini juga menatap Aradera dengan pandangan yang sulit diartikan. Ingin sekali menahan tapi ia yakin Aradera tetap teguh pendirian.

"Ra, lo beneran mau pulang?"

Aradera mengangguk lalu menatap Anariri dalam.

"Lo bisa anterin gue, kan? Kalo gak bisa gapapa biar gue pesen ojol."

"Tentu bisa dong, yakali gak bisa."

Aradera menatap luka di lengannya setelah itu ia menyusul Anariri yang sudah berjalan di depannya.

Kini Aradera sudah berada di rumahnya. Kakinya enggan melangkah untuk memasuki rumah miliknya. Dengan malas, Aradera membuka pintu dan berjalan masuk.

Terlihat ayahnya yang sedang membaca koran sambil melipat kakinya dan menikmati secangkir kopi. Tanpa minat Aradera menghampiri nya dengan langkah santai.

"Kamu sudah pulang? Bagus. Sekarang masuk kamar dan kerjakan tugas yang ayah berikan! Karena kamu sudah menghabiskan waktu selama dua minggu kurang dan tugas kamu menumpuk, ayah minta kamu kerjakan sekarang dan besok harus sudah selesai."

Aradera tak menjawab ia melangkahkan kakinya menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Baru beberapa langkah Aradera kembali di panggil oleh ayahnya, dengan malas gadis itu mendekati sang ayah.

"Kamu belum berlutut kepada saya! Cepat lakukan!"

Aradera menatap ayahnya dengan datar. Ia masih terdiam tidak menuruti kata sang ayah.

"CEPAT!"

Dengan perlahan tapi pasti Aradera menunduk lalu berlutut ke ayahnya dengan perasaan hati yang benci dan tidak suka.

"Katakan sesuatu sebagai kata maaf!"

"Maaf."

"Apa? Katakan lebih jelas dan lantang!"

Aradera mendecih. "Saya rasa telinga ada punya masalah sehingga tidak bisa mendengar suara saya."

plak

Tamparan dilayangkan pada pipi Aradera yang masih memar dan nyeri.

"Cepat katakan, dan jangan cari masalah dengan saya."

"Maaf."

"Bagus, sekarang pergi ke kamar dan kerjakan tugasmu. Saya dengar dari guru sekolahmu bahwa minggu kemarin mereka mengadakan ulangan harian dan saya meminta kertasnya untuk kamu kerjakan. Jika nilai kamu kurang dari 98, jangan harap kamu bisa keluar!"

Aradera menangkap dengan telinga kanan dan kembali mengeluarkan dengan telinga kiri. Sudah biasa ayahnya seperti itu dan tak sedikitpun Aradera hiraukan perkataan dari sang ayah.

Dengan langkah santai namun tegas, Aradera memasuki kamarnya dan menatap setumpuk kertas di meja belajarnya yang terbilang cukup banyak. Tak ada waktu istirahat karena tenggat waktu hanya sampai besok.

Aradera mengganti baju terlebih dahulu lalu mulai mengerjakan setumpuk kertas itu satu-satu. Terkadang mulut gadis itu meringis kala merasakan nyeri di tangan kanan nya.

Setengah jam berlalu, baru 8 kertas yang ia selesaikan masih ada 32 kertas lagi yang harus ia kerjakan dan 15 buku yang terdiri dari pelajaran lalu sisanya untuk urusan perkantoran.

Aradera tidak ingin melanjutkan profesi ayahnya sebagai CEO. Ia ingin menjadi dokter, menolong dan menyembuhkan orang yang sakit. Namun impian hanya bisa terkubur karena ulah ayahnya.

Semua kehidupan seakan seperti robot yang sudah dirancai sedari awal. Tak ada keputusan sendiri, ia harus selalu mengikuti perintah sang ayah dan jika membantah maka tubuhnya lah yang menjadi korban.

Aradera ingin seperti anak-anak seusianya yang sangat aktif dalam segala sesuatu dan tak terkekang. Mereka bisa bermain seharian atau bahkan menginap di rumah temannya.

Sedangkan Aradera? Ia sendirian, ayahnya selalu pergi ke luar kota atau ke luar negeri dan jika ada ayahnya di rumah pun Aradera tidak merasakan kebahagiaan hanya ada kehampaan di hidupnya.

Melakukan percobaan bunuh diri? Tentu saja pernah. Namun hal itu gagal dan berakhir ia dipukuli oleh sang ayah habis-habisan sehingga jatuh sakit dan harus dirawat dirumah sakit.

Aradera menatap bingkai berwarna hitam di tembok yang juga berwarna hitam. Entah apa maksudnya Aradera pun tidak mengerti. Bingkai itu adalah pemberian dari nenek tua yang pernah ia tolong.

Tak memikirkan soal bingkai, Aradera kembali berkutat pada tugasnya.

Kini sudah 3 jam Aradera habiskan untuk mengerjakan tugas-tugas dari ayahnya dan sekarang hanya tersisa 15 kertas lagi. Aradera menghela napas, tangannya lelah.

Gadis itu memilih untuk beristirahat sebentar dan mulai merebahkan tubuhnya di kasur hitam miliknya. Baru beberapa menit Aradera menutup matanya kini mata indah gadis itu kembali terbuka kala mendengar suara tegas dari sang ayah.

Waktu makan malam tiba dan Aradera masih sibuk pada tugas yang diberikan ayahnya. Kertas-kertas itu sudah Aradera selesaikan sedari tadi dan kini Aradera harus merangkum dan mengerjakan soal yang ada pada buku.

Saat sedang fokus, pintu kamarnya diketuk membuka Aradera mau tidak mau berdiri dan membuka pintu. Terlihatlah pembantunya yang sudah ia anggap sebagai ibunya.

"Kenapa, bi?"

"Sudah waktu makan malam, non. Sebaiknya non Ara makan terlebih dahulu baru melanjutkan tugas yang diberikan tuan."

Sejujurnya pembantu Aradera merasa kasihan pada Aradera. Sedari kecil hingga remaja, Aradera tidak mengetahui ada apa dengan keluarganya dan juga sejak usia 3 tahun ayahnya mulai melakukan kekerasan.

Kebahagiaan yang Aradera dapat selalu direnggut oleh sang ayah dan dibuang jauh-jauh. Bibi hanya bisa mendesis setiap kali melihat Aradera dipukul oleh ayahnya namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Ayah Aradera merupakan seseorang yang penting dan kaya. Jika ada sebuah kasus maka ada ditutupi dengan uang.

Bibi tidak bisa menolong karena ayah Aradera akan mengancam memecatnya alhasil pembantu itu hanya bisa tutup mulut kala melihat Aradera yang di pukuli oleh ayahnya.

"Sebentar deh bi, tanggung bentar lagi selesai." Kata Aradera.

"Ih, non mah. Ayo makan dulu baru lanjutin. Ini pasti non Ara belum mandi kan? Mandi dulu terus makan baru deh lanjut. Masih ada besok kan?"

"Iya, tapi kan besok Ara harus sekolah."

"Gak bisa kalo libur aja non?" Tanya bibinya.

"Mending masuk daripada libur di pukulin." Jawabnya dengan kekehan kecil.

Pembantu tersebut tersenyum. Aradera memang anak yang tangguh dan kuat. Ia yakin suatu saat Aradera akan bebas dari kukungan ayahnya dan sukses menjadi apa yang gadis itu inginkan.

"Ya sudah, mandi dulu lalu makan baru lanjut. Gak lama kok, nanti bisa di lanjut lagi." Kata bibi terus meyakinkan.

"Ya usah, Ara mandi dulu."

Bibi mengangguk dan Aradera menutup pintu kamar lalu menguncinya setelah itu gadis tersebut pergi membersihkan dirinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ARADERA [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang