PROLOG

32 15 0
                                    

Embusan angin menusuk hingga ke dalam tulang. Dingin, begitulah yang kini tengah dirasakannya. Angin bertiup kencang, awan mulai menampakkan pilunya, dan tak lama kemudian ia mulai mengeluarkan tangisnya. Hujan mengguyur bumi, membuat gadis berkulit kuning langsat itu menepi dan mencari tempat yang teduh untuk ia singgahi. Ia mengusap kedua lengannya, memberi sedikit kehangatan pada tubuh mungilnya.

"Mana masih lumayan jauh," gumamnya pelan.

Gadis itu melihat jam yang melingkar cantik di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.15, ia mulai kembali melangkahkan kakinya, tak peduli hujan yang masih setia menemaninya. Ia juga tak peduli dengan puluhan pasang mata yang menatapnya heran berlari di tengah derasnya hujan.

Dengan waktu sepuluh menit ia berlari, senyum indah terlukis jelas di wajahnya, menambah kadar kecantikan yang ia punya. Ia berdiri tepat di depan gerbang rumah bercat putih.

"FAAAAAAR!!!" teriaknya, berharap penghuni dari rumah itu menghampirinya.

1 detik...

2 detik...

3 detik...

Dan benar saja, seorang laki-laki pemilik tinggi 175cm membuka pintu rumahnya dengan menggenggam payung di tangannya. Ia pun setengah berlari dan membuka kunci gerbangnya. Baru saja gadis itu ingin membuka mulutnya, ia dikejutkan dengan kalimat yang keluar dari mulut lelaki itu.

"Harus berapa kali gue ngomong, gak usah dateng ke rumah gue!" bentaknya tanpa aba-aba.

"Kalo aja mama gue tau lo nekat nemuin gue dengan cara kayak gini, gue yakin dia gak bakal suka sama lo!" imbuhnya, membuat gadis di hadapannya termenung.

Lelaki itu menyodorkan payung yang ia genggam, "lo ambil ini, pulang!"

Tanpa menunggu jawaban, ia berlalu begitu saja, menutup kembali gerbang rumahnya. Namun tiba-tiba langkah kakinya terhenti, dengan posisi tubuh yang masih membelakangi, ia berkata, "sampai kapanpun, gue gak akan pernah bisa menuruti permintaan lo!"

"Kalo lo gak mau nurutin permintaan gue yang satu ini, gue gak akan pernah pergi dari sini!" teriaknya, namun sama sekali tak dihiraukan oleh lelaki itu, tanpa ada rasa kasihan ia memasuki rumahnya, membiarkan seorang gadis malang itu memeluk kedinginan seorang diri.

Sebuah payung yang tadinya digenggam oleh seorang bernama Rein, kini sudah terlepas. Ia bersandar pada pagar rumah yang terbuat dari besi, yang membuat kadar kedinginan semakin menyeruak hingga ke tulang rusuk. Entah seberapa pilunya sang langit sampai ia tiada henti mengeluarkan tangisnya. Dan entah seberapa geramnya dia sehingga terdengar suara guntur menyapa, membuat gadis itu semakin meringis ketakutan.

"Far, aku takut," lirihnya yang mengundang bulir bening mengalir begitu saja di pelupuk matanya.

***

Seorang laki-laki berdiri menghadap jendela yang mengarah langsung ke gerbang utama. Ia tersenyum miring, gadis itu rupanya bersikeras dengan apa yang dia ucap. Masih dengan bertemankan hujan, gadis itu terduduk dengan memeluk kedua lututnya.

"Cih, keras kepala." Ia mendengkus kesal, kemudian menutup kembali gorden kamarnya.

Seseorang bernama lengkap Farzeeshan Bratanio itu kembali menyibukkan diri dengan membaca buku perkuliahannya. Rasanya penat sekali jika terus memikirkan hal yang tidak penting baginya. Reinzanny Aliandra Quinadinne misalnya, wanita yang tiada kata lelah untuk terus mengejar sesuatu yang dia inginkan. Terlalu rumit untuk dipahami, baginya, gadis itu ialah seseorang yang kehadirannya sama sekali tak diharapkan. Tak peduli berapa banyak orang yang menganggapnya jahat, namun kenyataannya memang seperti itu.

Dengan teliti ia mencoba memahami buku yang ia baca, namun setiap kata yang ada di dalam buku tersebut sangat sulit dimengerti sehingga mengundang rasa kantuk yang tak tertahankan. Dan pada akhirnya, mata yang sedari tadi melotot menatap buku, kini terpejam dalam hitungan seperkian detik.

DUAARRR!!!

Suara guntur yang terdengar seperti ledakan bom itu membangunkan ia dari tidurnya. Netranya menatap jam dinding yang kini sudah menunjukkan pukul 21.00, ia tertidur selama tiga jam di meja belajarnya. Matanya membulat sempurna, ia berjalan sedikit sempoyongan karena sambil menahan kantuk yang masih menyergapnya. Lelaki itu mengintip di balik gorden, memastikan bahwa wanita tadi sudah enyah dari tempatnya.

"Cih, pergi juga kan lo," ucapnya sambil tersenyum penuh kemenangan.

Ia membalikkan badannya untuk berpindah tempat ke tempat tidur. Ia memegangi lehernya yang terasa pegal karena selama tiga jam tidur tanpa menggunakan bantal. Namun, baru saja ia merebahkan tubuhnya, riuh suara kaki berlari di luar kamarnya mengacaukan waktu istirahatnya. Bukan Farzeeshan namanya jika tidak mempunyai rasa penasaran yang tinggi. Alhasil, ia kembali mengintip di balik gorden.

"Apaan sih orang-orang berlarian malam-malam gini." Gerutunya kesal.

Untuk menghilangkan rasa penasarannya, lelaki berkulit sawo matang itu melangkahkan kakinya menuju keluar rumah. Orang-orang berlari dari arah kanan menuju ke persimpangan jalan. Lelaki itu memberhentikan salah seorang diantara mereka.

"Pak, ini ada apa ya kenapa pada lari malam-malam begini?"

"Itu katanya ada cewek terlindas mobil tronton di persimpangan jalan. Ciri-cirinya pake baju putih, kerudung hitam, isi tasnya banyak buku, kayaknya sih mahasiswa, meninggal di tempat."

Mampus!

Tanpa aba-aba, lelaki bernama Farzeeshan itu memukul keras pagar rumahnya.

"AAAAGGHHHH!" teriaknya geram.

"Far, kalo gue mati, gue pengen mati dalam pelukan lo." Seketika rekaman itu terdengar sangat jelas di telinganya.

Tubuh yang tadinya berdiri tegak, kini meluruh begitu saja. Rasa bersalah, sesal, marah, dan takutnya kini bercampur dalam satu waktu yang bersamaan.

"Rein, bukan lo, kan?" lirihnya dengan suara yang terdengar begitu parau.

***

Prolognya aja dulu:v

PELIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang