PELIK - BAB 2

7 13 0
                                    

"Jangan terluka lagi, Rein." Ucap lelaki itu kemudian menarik tubuh mungil milik gadis di hadapannya ke dalam dekapannya.

Sudut bibir gadis itu tertarik membentuk bulan sabit, satu senyuman terbit di wajah manisnya. Baginya, tidak perlu banyak orang untuk mengerti dirinya, satu saja cukup jika itu mampu membuat dia merasakan kehangatan dalam dinginnya kehidupan di alam semesta ini.

"Jangan pernah pergi dari hidup gue, Far. Gue pengen terus ngerasain dekapan hangat dari lo selamanya."

"Iya, gue janji."

Rein melepas pelan dekapan itu kemudian menaikkan jari kelingkingnya di hadapan lelaki bermata teduh yang berjarak hanya sejengkal darinya.

Farez tersenyum tulus dan menyambut jari kelingking milik Rein hingga akhirnya kedua jari kelingking itu saling bertautan.

Pandangan Rein kini naik menatap netra hazel milik Farez. "Far, mata lo indah, alis lo juga bagus," gumamnya pelan namun masih bisa terdengar jelas oleh indera pendengar lelaki itu.

Kini jari telunjuknya mulai nakal menyentuh hidung milik lelaki itu, "hidung lo gemes, dan..."

"Dan apa?" sambarnya cepat.

"Dan bibir lo imut." Lanjut Rein yang mengundang tawa dari laki-laki berparas tampan itu.

"Semuanya tentang lo, gue suka, Far."

"Semuanya yang ada dalam diri gue, suatu saat akan menjadi milik lo juga, Rein."

Rein mengalihkan pandangannya pada gemericik air yang terlihat begitu tenang nan damai. Seketika terbesit dalam benaknya mengapa dirinya tak menjadi air saja yang hanya mengalir tanpa memikirkan betapa beratnya kehidupan, mengapa ia tak menjadi benda mati saja yang tak pernah merasakan pahitnya penderitaan. Mengapa ia harus diciptakan sebagai manusia yang harus diasingkan oleh manusia lainnya?

"Far, apa suatu saat nanti lo juga akan pergi dari hidup gue?" kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutnya.

"Alur kehidupan sulit untuk ditebak, Rein."

Lelaki dengan headphone yang melingkar di lehernya itu beranjak dari duduknya dan mengulurkan tangan pada wanita yang sedari tadi menemani waktu sorenya.

"Bentar lagi gelap, gue anterin lo pulang ke rumah sekarang!"

Dengan cepat wanita itu menggelengkan kepalanya.

"Lo mau makin disiksa lagi?"

"Rumah itu seharusnya jadi tempat ternyaman, penghilang penat, dan tempat istirahat terbaik. Gue gak pernah dapetin itu semua di rumah, Far. Yang gue anggap sebagai rumah itu–" ia menghentikan ucapannya dan membuang napasnya kasar, "adalah lo." Lanjutnya.

Farez menurunkan tubuhnya dan berjongkok di hadapan wanita itu. "Rein, gue pun gak akan selamanya ada buat lo. Ada masanya gue akan pulang pada Dia." Ucapannya dengan mengarahkan jari telunjuknya ke atas.

Rein menatap awan yang kini mulai mengabu. "Kalo lo pulang pada Dia, gue juga boleh ikut kan, Far?"

"Gak. Kita punya masa dan waktu masing-masing. Sekarang gue anterin lo pulang. Gak ada bantahan lagi!" ucapnya bulat kemudian menarik tangan Rein untuk berdiri.

***

Gemuruh guntur membuat wanita berparas manis itu ketakutan dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang lelaki yang tengah menyetir motor. Tanpa aba-aba, langit kini mengeluarkan tangisnya yang sendu. Mau tidak mau, Farez harus menepikan kendaraannya dan berteduh sementara.

"Gue gak bawa jas hujan, jadi kita neduh dulu." Ucapnya sambil menurunkan standar motornya.

Setelah itu mereka berjalan memasuki halaman masjid dan berteduh sekaligus salat di sana karena azan magrib sudah berkumandang.

PELIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang