PELIK - BAB 3

7 11 0
                                    

Mentari kini telah kembali ke peraduannya, menggantikan sang rembulan yang sepertinya sudah kelelahan menerangi malam kelam. Dengan mata yang masih terpejam dan posisinya yang terduduk dengan air yang mengguyur tubuhnya, gadis itu mengembuskan napasnya kasar.

Kenapa waktu terus berjalan tanpa henti? Kenapa ia tak berhenti walau sejenak? Sungguh, jika gadis itu mempunyai alat untuk menghentikan waktu, maka sudah ia lakukan sejak dulu. Lelah, satu kata yang terus menyelimuti dirinya. Cara seperti apa lagi yang harus ia lakukan untuk keluar dari kejamnya semesta dan derita yang tak ada ujungnya?

Kini ia merasakan getaran hebat di sekujur tubuhnya. Mata yang mulai memerah, bibir yang kian memutih, dan gemetar yang semakin menjadi-jadi membuat ia terpaksa beranjak menghindar dari air yang mengalir deras mengguyur tubuhnya. Ia berjalan keluar dari kamar mandi dengan tembok sebagai alat bantunya.

"Orang tua, yang seharusnya gue hormati, dia tak pernah menunjukkan sifat selayaknya manusia yang wajib dihormati. Orang tua seperti apa yang harus gue taati, Tuhan?!" teriaknya sambil mendudukkan dirinya di tepi kasur.

Perlahan ia menaikkan kedua kakinya ke atas kasur. Dengan tubuh yang masih menggigil, ia lingkarkan kedua tangan pada lututnya, kemudian ia menenggelamkan wajahnya dengan lutut sebagai tumpuannya, lalu ia berteriak sekuat tenaga membuat para penghuni rumah yang tengah bersiap untuk sarapan di meja makan seketika menghentikan aktivitasnya dan kompak melirik ke arah kamar gadis itu.

"Shakeil, suruh dia untuk bersiap-siap kuliah!" titah Ayana yang sudah dipastikan tak akan mendapat penolakan.

Shakeil melangkahkan kakinya menuju kamar sang kakak. Ia mengetuk pintu dua kali kemudian membukanya.

"Kak," gumamnya pelan.

Rein mendongak dan menyeka air matanya.

"Gak kuliah?"

"Ah iya, gue siap-siap sekarang." Jawabnya kemudian mengambil pakaiannya di dalam lemari. Masih merasa ada yang memperhatikannya, Rein menoleh ke belakang dan didapati adiknya itu masih berdiri di ambang pintu.

"Lo mau nontonin gue buka baju?"

"Amit-amit." Shakeil bergidik ngeri dan menutup pintu kamar Rein.

Ting!

Wanita itu menghampiri nakas dan meraih ponselnya.

Angkasa
Banguuuuuunnnn, Reinzanny! Sekarang matkul pak Agam jangan sampe telat kalo lo gak mau ditelen hidup-hidup sama dia. Gue jemput lo sekarang!

Matanya membulat sempurna tatkala membaca kalimat terakhir dari pesan tersebut. Sontak jarinya menari dengan lincah diatas layar.

Gak perlu jemput, gue bisa berangkat sendiri, lagian gue semalem gak tidur di rumah.

Tanpa pikir panjang wanita itu mematikan ponselnya dan segera mengambil tas kemudian meninggalkan istana pribadinya. Ia berjalan menuju meja makan dan menuangkan segelas air untuk diminumnya.

"Kurang perhatian ya, sampe harus teriak-teriak gitu?" gadis pemilik netra coklat terang itu berucap santai sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.

Dug!

Seseorang bernama Reinzanny Aliandra Quinadinne itu menghentakkan gelasnya ke meja, membuat empat pasang mata sontak menatap tajam ke arahnya.

Rein menoleh ke arah kiri dan sedikit membungkukkan badannya lalu berucap tepat di telinga kanan adik perempuannya, "kurang kerjaan ya, sampe harus mencampuri urusan orang lain gitu?"

Gadis itu mengepalkan tangannya, "gak ada gunanya gue nyampurin urusan anak haram kayak lo!"

Tanpa aba-aba Rein menjambak rambut lurus gadis itu hingga ia meringis kesakitan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 16, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PELIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang