Mr Stark membelai kumis tipis di atas bibirnya dengan ekspresi serius saat membaca essai yang dikumpulkan Celene. Kedua bola matanya bergerak semakin ke bawah dan kepalanya mengangguk kecil. "Hm ...," gumamnya dengan nada puas. "Teorimu bagus juga."
Celene membengkokkan bibir.
"Jadi, kau berencana untuk membuat mesin pengendali cuaca?" Mr Stark melirik Celene yang kini berdiri sendirian karena pelajaran sains baru saja selesai dan anak-anak sedang beristirahat atau masuk ke kelas lain.
Celene kikuk. Dia bahkan belum membaca isi essai itu. Satu-satunya orang yang bisa menjawab isi dari essai itu adalah penulisnya, Andrew. Sialnya, cowok itu sudah kabur ke lapangan basket sejak tadi.
"Celene!"
"Yes, Sir!" sahut Celene buru-buru.
"Bagus. Kau bisa ambil kelas tambahan robotik kalau menganggap serius teori ini."
Celene mengangguk polos. Andrew lah yang seharusnya masuk kelas tambahan robotik, bukan dia. Dia tidak tau apa-apa tentang teknologi selain ponsel dan laptopnya.
"Oke, sepertinya kau akan dapat nilai lebih baik daripada nilaimu di semester lalu."
Celene mengangguk senang. Mr Stark memperbolehkannya keluar. Celene baru selangkah dari kelas sains dan dia menghela napas sangat lega di tengah-tengah sengatan yang menjalar di tubuhnya. Dua orang siswi yang lewat langsung membelalak melihatnya mengejang.
"Freak!" cemooh mereka membuat Celene berjalan menjauh.
Salah satu dari dua orang tadi adalah Rachel, si cewek berkulit gelap yang jadi idaman para cowok karena tubuh semampainya. Dia sahabatnya Angela dan ikut angoota cheers, meskipun agak penakut daripada anggota yang lain.
"Panggilan, untuk Celene Gaarder, segera mendatangi ruang kepala sekolah!"
Celene menghentikan langkah begitu mendengar pengeras suara memanggil namanya. Dia menajamkan telinga, memastikan dia tak salah dengar.
"Sekali lagi, Celene Gaarder, segera mendatangi ruang kepala sekolah!"
Celene terperangah saat menyadari tidak ada gadis lain bernama Celene Gaarder di sekolah ini selain dirinya. Tunggu, apa dia berbuat salah? Celene menatap tangan patahnya yang terkalung di depan dada.
Dengan langkah ragu-ragu, Celene mendatangi ruang kepala sekolah di samping kelas seni. Anak-anak seni berjengit saat melihatnya mengejang di depan pintu ruang kepala sekolah. Sengatan itu menjadi semakin parah saat Celene gugup.
Tok tok ...
"Yes!" seru suara dari dalam. Celene mengintip dari celah kecil pintu. Seorang wanita berambut kribo duduk di kursi dengan raut datar. Tangannya sibuk mencoret-coret kertas di atas meja. Begitu melihat Celene, dia menghentikan kegiatannya dan menegakkan punggungnya. "Miss Gaarder, silahkan masuk!"
Celene masuk ke dalam ruangan. Dia baru sadar ada orang lain di ruangan ini. Dia bukan Angela ataupun Andrew, melainkan Dried. Itu cukup mengejutkannya. Dried hanya menoleh sekilas, lalu mengalihkan pandangan saat kedua mata mereka bertemu pandang.
Perasaan Celene semakin tak enak. Masalah apa yang harus melibatkan Dried dengannya padahal mereka sama sekali tidak pernah berinteraksi di rumah maupun di sekolah?
"Miss Gaarder, saya mendengar laporan dari salah satu anggota cheers, kau mengacaukan latihan kemarin," jelas Miss Olly. Mengatupkan bibir sangat rapat. Menatap Celene dari balik kacamata tebalnya.
"Saya tidak buat keributan. Saya hanya ...." Celene agak memperhatikan Dried yang terdiam dan menunduk. Pipinya menggelembung, dia terlihat kesal karena dilibatkan dengan masalah ini padahal dia tidak tau apa-apa.

KAMU SEDANG MEMBACA
HURRICANE
Ficção Científica[Follow dulu, yuk!] Hidup di lingkungan berisi keluarga para militer, Celene merasa tak nyaman karena keluarganya hanyalah keluarga biasa. Ibunya yang galak hanya seorang forensik, ayahnya gelandangan, sedangkan dia dan kakaknya masih sekolah. Bukan...