Dried baru saja memasukkan seragam sepak bolanya ke dalam mesin cuci saat pintu terbuka, menandakan ibunya telah kembali. Wanita berambut merah itu membawa kotak besar berbahan besi yang terutup rapat. Telinga dan bahunya sibuk mengapit telepon untuk menerima panggilan. Sebuah kunci tergantung di kelingkingnya. Dried buru-buru menutupkan pintu agar ibunya tidak semakin kerepotan.
"Terima kasih," bisik Mary sambil mengedipkan sebelah matanya dan berjalan ke arah kamar. Dried sempat memperhatikannya dan berniat menawarkan bantuan, tapi Mary menolaknya dengan gelengan lembut.
Mary menghilang di balik pintu kamarnya. Dried berkacak pinggang. Menatap sekeliling, sofa yang masih punya aroma khas toko karena baru beberapa kali diduduki, meja kaca yang masih tertempel label harga. "Maisih menempel?" pekiknya sambil menarik label harga itu dan membuangnya ke tempat sampah.
Ting tong ...
Dried terlonjak kaget. Menatap ke arah suara, pintu masuk ke rumahnya. Dia melangkah untuk membukakan pintu dan menemukan Andrew berdiri di sana. Laki-laki itu langsung tersenyum ramah begitu melihat Dried.
"Hay, cantik!" sapa Andrew dengan kedipan nakal. Tangannya membawa sebuah kotak bergambar mikroskop.
"Hay, Andrew!" sahut Dried.
"Dimana Mary? Aku mau mengembalikan ini." Andrew menyodorkan kotak miskroskop di tangannya.
"Ibu sudah beli yang baru karena kau terlalu lama meminjamnya. Ambil saja."
Andrew menggigit bibir bawahnya. "Kau sangat baik," katanya dengan nada menggoda. "Sayangnya ini punya ibumu, bukan punyamu, dan keputusan dia lah yang aku butuhkan."
"Baiklah." Dried mempersilahkan Andrew masuk. Cowok itu langsung mendaratkan diri di atas sofa dan menghela napas panjang. "Wow, tidak ada yang membuatku bahagia kecuali sensasi sofa baru."
Dried menggeleng tak menyangka. Dia berkacak pinggang. Menatap ke arah lantai dua. "Mom!" serunya memecah keheningan sore itu.
"Adikmu mana?" Andrew mengerling ke arah sayap kanan lantai dua, tempat pintu berwarna biru berada, itu adalah pintu kamar Celene.
"Di dalam. Panggil saja kalau kau mau."
"Bagaimana kalau kau yang panggil?" Andrew mengangkat sebelah alisnya.
"Aku ada kerjaan, Andrew."
"Kerjaan apa? Mengabaikan adikmu?"
Dried tertawa malu-malu.
Mary muncul dari pintu kamar. Dia segera turun dan tersenyum senang begitu melihat Andrew duduk di sofa tamunya. "Noven!" seru Mary membuat Andrew bangkit dan mendekatinya. Keduanya saling membenturkan kepalan tangan dan berseru ala-ala anak muda. Dried menertawakan gaya mereka yang selalu aneh.
"Bagaimana proyekmu, dude?" Mary mengibaskan jas dokternya ke belakang. Berkacak pinggang.
"Luar biasa. Aku berhasil meneliti bakteri di jerawatku sendiri."
"Iw!" Dried memekik risih.
"Percayalah, Dried. Ini tidak seperti yang kau kira!" Mary duduk di samping Dried yang sedang memeriksa mikroskop dari dalam box kardus. Andrew ikut duduk di sofa lain.
"Bagaimana dengan proyekmu?" Andrew berbalik bertanya kepada Mary.
"Hampir jadi." Mary memperlihatkan ekspresi meremehkan. "Dunia akan segera terguncang dengan hasilnya."
"Aku tidak mengerti apa yang sedang kalian bicarakan," Dried mengerutkan kening keheranan. "Bisakah salah satu dari kalian memberitahuku proyek apa yang kalian maksud? Dan bukankah kerjaan Ibu setiap hari hanya memeriksa mayat? Proyek apa yang kau punya? Menghidupkan orang yang sudah mati?"
Andrew dan Mary tertawa bersamaan. "Terkadang kau lucu, Dried!" kata Andrew di tengah tawanya. "Aku jadi gemas dan ingin sekali menciummu!"
"Hentikan, Andrew!" Dried menyeringai tak suka.
"Bercanda," sahut Andrew. "Tapi percayalah, kau lebih suka latihan sepak bola daripada mendengar proyek yang sedang ibumu kerjakan."
"Mom, kau tidak mau membagi rahasiamu dengan anakmu sendiri?" Dried menatap tak menyangka.
"Nanti juga kau tau sendiri." Mary merangkul bahu Dried untuk menenangkan rasa kesalnya.
Saat itu juga, Andrew bangkit dari duduknya. "Aku lupa tujuan utamaku ke sini bukan hanya untuk mengembalikan benda itu. Aku perlu es krim di perjalanan pulang karena suhu di luar cukup untuk menggoreng telur."
"Kau serius?" Dried menatap Andrew yang kini melangkah buru-buru ke arah dapur seolah ini adalah rumahnya sendiri. Beberapa saat kemudian, Andrew kembali dengan dua mangkuk es krim dan satu sendok di tangannya. "Aku akan ganti dengan jus lemon besok pagi. Bye!" dia melangkah ke arah pintu keluar.
"Andrew, Dried akan merindukanmu, katanya!" seru Mary saat Andrew menutup pintu. Dried langsung mencubit pinggang ibunya.
"Siapa bilang?" pekik Dried tak terima.
"Keluarga Noven akan pindah beberapa hari lagi. Kau harus melakukan sesuatu dengan hubungan kalian!" ledek Mary.
"Mom!"
Sementara itu, di balik pintu kamar berwarna biru, Celene sedang menahan rasa kesalnya. Jika tidak salah, dia baru saja mendengar Andrew datang ke sini dan sama sekali tidak mengunjungi kamarnya.
Tidak seharusnya Celene cemburu, tapi saat melihat satu-satunya orang ia percaya berinteraksi dengan orang-orang yang tidak dia percayai, itu cukup membuatnya takut tak punya orang yang bisa dia percayai lagi.
Celene membuka lemari kamarnya. Menarik sebuah kendi berisi abu sang ayah yang telah meninggal. Jonathan Gaarder adalah ayah kandungnya yang meninggal sebelum Celene bisa mengenalnya. Meskipun Celene hanya tau wajah ayahnya dan rambut hitam kelam yang mirip dengannya lewat sebuah foto, dia sangat menyayangi sosok itu. Apalagi sejak dia tau apa yang dilakukan ayahnya sebelum meninggal.
Celene dengar dari para tetangga, Jonathan dan Mary sangat menginginkan anak laki-laki sebagai anak kedua mereka. Tetapi yang mereka dapatkan adalah bayi perempuan. Celene yakin, itu adalah alasan ibunya lebih menyayangi Dried daripada menyayanginya.
Mary sempat memutuskan untuk menggugurkan kandungan keduanya, tetapi Jonathan bersikeras untuk mempertahnkan Celene agar tetap hidup dan bisa menangis di dalam kamar seperti saat ini. Itu adalah alasan paling besar kenapa Celene begitu mengenal ayahnya lebih dari ibunya meskipun dia belum pernah bicara ataupun bertemu ayahnya secara langsung.
Celene menghela napas panjang. Menarik ingusnya. Mengelap wajah dan hidungnya dengan tisu. Seharusnya hari ini dia bersiap, besok tim cheers harus bertugas bersama dengan para pemain sepak bola. Lalu dia ingat, dia sudah dikeluarkan dari tim cheers dan bukannya berdiri di tengah lapangan untuk melakukan pertunjukan, dia harus duduk di kursi penonton yang membosankan.
___________________
KAMU SEDANG MEMBACA
HURRICANE
Science Fiction[Follow dulu, yuk!] Hidup di lingkungan berisi keluarga para militer, Celene merasa tak nyaman karena keluarganya hanyalah keluarga biasa. Ibunya yang galak hanya seorang forensik, ayahnya gelandangan, sedangkan dia dan kakaknya masih sekolah. Bukan...