Nama di Ujung Lidah

26 4 0
                                    

Selangkah ….

Dua langkah ….

Aku menjejakkan kaki berkasut jerami berlapis ter dalam-dalam ke tengah lapisan salju dengan berat hati. Perjalanan ini tak seharusnya dimulai apalagi diakhiri. Rasa enggan membebani setiap jejak yang kutinggalkan di atas warna putih yang menyelimuti semesta. Namun, tidak ada pilihan selain terus maju, melawan segala kata hati, melawan kesedihan yang makin erat mencengkeram dada. 

Kualihkan pandang ke arah langit. Awan gelap beriak menyebar dari gunung yang menjulang tinggi. Sebuah peringatan, agar tidak ada yang mendekat. Namun aku tahu dengan pasti tujuanku. Jika keenggananku tidak bisa membuatku berhenti, badai salju bukanlah halangan untuk terus maju. Kehidupan seluruh penduduk desa ada di pundakku, musim semi tidak akan datang jika aku gagal.

“Fay.” Sebuah suara lembut membuatku menoleh. 

Seorang gadis dengan rambut perak panjang menyambutku dengan senyumnya. Genggaman tangannya mengerat membuat rasa hangat menyebar dalam dada. Tanpa sadar aku ikut tersenyum.

“Aku tahu,” balasku singkat, membalas genggamannya.

Satu tarikan napas, aku kembali melangkah menuju puncak gunung bersama dengan Yana, kekasihku. Kami merapat seiring dengan embusan angin yang makin kencang, berusaha memerangkap hangat yang terus terkikis walau kami telah memakai berlapis-lapis kulit hewan yang dibentuk menjadi pakaian.

Lolongan angin mulai menderu di telinga yang terasa beku sementara serpihan salju menampar-nampar wajah yang tak terlindung oleh pakaian. Napasku berubah menjadi embun dan tiap kali aku menarik udara masuk, paru-paruku ditusuk hawa dingin.

“Yana.” Aku memandang khawatir ke arah gadis rapuh yang kubantu berjalan. Dia tidak seharusnya memulai perjalanan ini. Jika bisa, aku ingin menjaganya tetap di desa, hidup bahagia tanpa harus merasa kedinginan atau kelaparan, bukan mendaki gunung salju tempat segala petaka dimulai.

“Alismu berkerut lagi.” Dia menempelkan jari telunjuknya ke keningku, tepat di lipatan antara alis. “Kita sudah sepakat soal ini, bukan? Aku yang mengambil keputusan untuk melakukannya.”

Aku menggenggam tangannya yang terulur dan menarik napas panjang. Tak peduli berapa lama aku berusaha membiasakan diri, aku tidak akan pernah bisa. Rasa sakit yang menusuk tetap terasa sama seperti tiga bulan lalu saat aku mengerti akan kebenarannya.

“Kita masih bisa lari, Yana. Aku bisa membawamu pergi jauh ….”

“Ke mana?” tanyanya dengan senyum yang tak berubah. Senyum yang selalu dipakai bagai topeng untuk menyembunyikan perasaan. Aku benci ekspresi Yana yang itu, karena berarti Yana menyimpan segalanya untuk diri sendiri, menolak berbagi.

“Kita tidak memiliki harapan untuk keluar dari salju, Fay. Seluruh dataran telah membeku dan hanya aku yang bisa membuat musim dingin abadi ini selesai. Ini adalah tujuan hidupku, Fay ….”

Aku menempelkan tangan gadis itu ke dahiku, merasa enggan melepaskan gadis yang telah merebut hatiku sejak remaja. Aku mengulas senyum tipis ketika mengingat masa-masa itu. Rambut perak Yana yang indah menarik perhatian seluruh pemuda desa, tapi dia memilihku, seorang pemuda petani biasa yang canggung dalam bergaul. Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya alasannya. Dia selalu menjawab bahwa cintaku yang paling tulus, tapi aku sendiri tidak yakin. Jika aku benar-benar mencintainya, aku tidak akan mengizinkan dia mendaki gunung ini. 

“Fay,” panggilnya lagi, menarikku keluar dari ingatan masa lalu. “Ini adalah keinginanku, jangan membebani dirimu dengan rasa bersalah.”

“Seandainya aku cukup kuat ….”

Yana menggeleng. “Kamu sudah melakukan apa yang paling kuinginkan, menemaniku mendaki gunung ini menuju tempat itu.”

Aku terdiam. Tidak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan perasaanku saat ini. Walau aku enggan, tetap saja aku mengantarnya pergi.

Sebuah Antologi - Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang