"Jack the Ripper?" tanya Henry tidak percaya.
Robert mengangguk yakin. "Dia sudah membunuh lima korban, dilihat dari cara membunuhnya," ucapnya seraya mengepulkan asap dari pipa kayu. Mata birunya memandang awas pada setiap orang lalu lalang di depannya, menyelidiki mereka walau hanya sekilas.
Henry terdiam. Dia tidak terlalu tahu tentang penyelidikan polisi, dia lebih tahu tentang bagaimana mengobati pasien. Satu-satunya cara dia bisa mendengar hal-hal seputar kota London adalah mendengarnya dari Robert, mantan pasiennya yang bekerja di Scotland Yard.
"Jadi apa kamu sudah dapat titik terang siapa pelakunya?" tanya Henry sekedar membuat pembicaraan berlangsung. Dia memandang ke arah gelas berisi malt sementara Robert terus memandang ke luar jendela.
Robert menggeleng frustrasi, asap tembakaunya dihembuskan dengan sekuat tenaga. "Tidak ada. Bayangkan seluruh Scotland Yard London mencarinya namun tidak ada satupun petunjuk yang ditemukan."
Henry menghela napas, Robert selalu emosional bila membahas kasus tersebut. Dia memandang sekeliling ruang prakteknya, hanya ada mereka berdua di sana. Jam praktek Henry berakhir tiga jam lalu. Ruang itu berwarna putih dengan sebuah tempat tidur yang dibatasi oleh kain putih, sebuah meja dan dua buah kursi yang saat ini mereka duduki.
"Bukankah kamu bilang kalau korban-korban sebelum ini tidak ada hubungannya dengan dia?" Henry berusaha untuk tetap netral.
"Itu karena kondisi mereka berbeda dengan lima korban terakhir tapi." Robert memandang Henry tajam. "Aku yakin korban-korban sebelum ini adalah caranya menyempurnakan kemampuannya."
Henry terdiam sejenak sebelum menghela napas dan merapikan rambut coklatnya dengan tangan. "Sudahlah! Kamu butuh istirahat, Robert. Apa kamu tidak ingat? Baru enam bulan lalu kamu kecapekan hingga harus kemari."
"Tapi Henry, mengakulah, kalau kasus ini menarik perhatianmu," desak Robert tidak menyerah.
"Ya, ya," balas Henry bosan. Dia hanya tertarik karena Robert sering membicarakannya. "Sudah jam sepuluh. Waktunya kamu pulang dan beristirahat."
Henry berdiri dari kursinya membuat Robert melakukan hal yang sama. Henry membukakan pintu ruang prakteknya dan mempersilahkan Robert keluar. Robert tampak enggan menggunakan mantel dan topinya tapi toh dia menurut.
"Sampai jumpa, Robert." Henry berkata ramah.
"Sampai jumpa," balas Robert pada Henry yang tersenyum. Ada sebuah perasaan aneh dalam benaknya, seakan itu adalah saat terakhir dia bertemu temannya.
Robert hanya sempat mengangguk sekali sebelum Henry menutup pintu, berusaha mengusir pikiran aneh itu. Dia memasukkan pipa yang telah kehilangan baranya ke dalam saku mantel berwarna coklat tuanya sebelum berjalan pergi. Dia mengikuti cahaya redup lampu jalan sementara kabut menutupi kota London malam itu, lebih tebal dari biasanya. Polisi berusia tiga puluh enam tahun itu mendesah, membuat napasnya mengembun. Pikirannya masih belum lepas dari pembunuh sadis tersebut membuat keinginannya untuk menghisap tembakau kembali muncul.
"Sial," umpatnya pelan ketika menyadari pemantiknya tertinggal di rumah Henry. Dia berhenti, menimbang apakah dia harus kembali atau tidak.
"Sial," umpatnya sekali lagi ketika dia memutuskan berbalik. Dia harus berjalan satu blok lagi untuk kembali ke rumah Henry.
Pria bertubuh janggkung itu melewati jalanan dengan langkah kaki lebar sambil memegangi topi bowler agar tidak tertiup angin. Akhirnya setelah lima menit, dia tiba di rumah Henry. Dia mengetuk pintu kayu tersebut namun tidak ada balasan. Dia mengetuk lagi lalu menoleh ke kanan dan ke kiri sambil menunggu. Pada saat itu dia melihat sosok seperti Henry di ujung jalan. Kabut membuat pandangannya buram, namun dia tahu gaya berjalan Henry. Robert sumringah, temannya itu belum berjalan terlalu jauh. Tanpa berpikir panjang, dia segera mengejar bayang-bayang itu. Jalanan makin sepi membuat pengejarannya makin mudah, Henry adalah satu-satunya yang berada di jalan saat itu.
Robert melihatnya bergerak ke arah Whitechapel, membuat polisi berambut hitam pendek itu bertanya-tanya ada urusan apa Henry ke sana. Bulu kuduk Robert meremang, dia hanya berjarak kurang dari satu kilometer dari lokasi pembunuhan Jack the Ripper. Sambil memendam pertanyaan, Robert terus berusaha mengejar. Henry cepat juga. Robert membelok ke sudut jalan dan mendapati siluet Henry menghilang. Untuk sesaat dia terdiam, napasnya memburu membentuk uap putih. Robert kembali memgumpat, pemantiknya membuat dia bekerja keras.
"Aaaaaaaaaaaa!!!!"
Jeritan seorang wanita membelah kesunyian malam. Pikiran Robert langsung mengarah ke satu nama, Jack the Ripper. Jantungnya berdetak kencang, adrenalin memenuhi aliran darah. Robert segera berlari ke arah sumber suara. Senjata telah digenggamnya. Dia membelok di gang ujung jalan dan bertabrakan dengan seseorang. Orang yang menabraknya terpental jatuh, Robert segera menodongkan senjata ke arahnya.
"J-j-j-jack!!!" Seorang pelacur memandangnya dengan horor di bawah pucuk senapannya. Make up tebalnya luntur oleh keringat.
"Dimana?!" Robert setengah berteriak.
Pelacur berambut coklat tua itu menunjuk ke dalam gang dengan gemetar. Air mata menggenang di pelupuk mata.
Robert memberi kode agar perempuan itu segera berdiri dan lari. Tergopoh, pelacur itu lari melewati Robert meninggalkan pria itu melangkah maju ke sudut dimana lampu jalan makin jarang. Semakin dalam, dia mencium aroma anyir darah. Pria itu menelan ludah mengatasi rasa takutnya. Dia melangkah makin dalam dan merasakan kakinya menginjak cairan.
"Hello." Terdengar suara seorang wanita.
Robert mengacungkan senjatanya ke bayangan samar di depannya. Matanya memincing berusaha melihat sosok yang berjarak lima meter darinya. Dia menduga bahwa lawan bicaranya hanya setinggi lima setengah kaki, termasuk pendek. Perawakannya sedang dan dia memakai gaun.
"Tak kusangka akan ada yang memergokiku." Suara yang sama kembali berbicara. Robert berusaha menebak dari logat bicaranya tapi tidak ada petunjuk apapun di sana. "Kamu polisi bukan?"
Robert diam, bertanya-tanya bagaimana orang itu tahu dirinya seorang polisi. "Siapa kamu?!"
Dia mendengar perempuan itu tertawa kecil. "Aku melakukan tugasmu, pak Polisi. Jack the Ripper sudah berakhir."
Dia berjalan mundur, menyamarkan sosoknya di balik kabut dan gelap.
"Tunggu!" Robert bergerak maju berusaha mengejar terus menyiagakan senapan.
Sosok itu makin membaur dengan gelap. Robert mempercepat langkahnya namun kakinya terantuk sesuatu. Nyaris saja dia terjungkal untung saja dia dapat menyeimbangkan diri. Dia menatap ke bawah dan melihat mayat seorang pria tergeletak di sana. Perlahan ketika matanya telah terbiasa dengan gelap, dia mengenali sosok itu.
"Henry!!!"
Robert segera memasukkan senapannya untuk memeriksa tubuh sahabatnya. Tidak ada napas, tidak ada denyut nadi. Isi perutnya tertumpah keluar seperti korban Jack the Ripper. Robert menahan diri untuk tidak muntah. Dia segera memanggil medis dan bantuan, tempat itu dalam sekejap diisolir dan diselidiki. Penyelidikan berlangsung namun dengan cepat jejak menjadi dingin. Tidak ada satupun bukti yang menunjuk pada pelaku. Kesaksian Robert terlalu kabur untuk dijadikan petunjuk. Perempuan itu lenyap bagai angin dan sejak saat itu Jack the Ripper tidak lagi beraksi. Hanya ada beberapa pembunuhan yang diduga sebagai peniru yang berusaha ikut dikenal tapi sosok sebenarnya tidak lagi muncul.
Robert memandang batu nisan putih bertuliskan nama Henry. Temannya itu mati sebagai seorang dokter terhormat. Dia tidak pernah dianggap korban Jack the Ripper karena dia seorang pria berbeda dengan korban lainnya yang adalah wanita dan pelacur. Keraguan merayap dalam benak Robert, Henrykah monster itu? Jika benar, selama ini Robert telah berteman dengan pembunuh berantai paling kejam sepanjang sejarah.
Bulu kuduk Robert kembali meremang. Dia menelan ludah dan segera meletakkan setangkai mawar putih sebagai penghormatan terakhirnya. Gelap telah turun sempurna dan lampu jalanan menggantikan tugas matahari untuk memberi penerangan. Robert memasukkan tangannya ke saku mantel dan berjalan pergi. Dia tidak tahu bahwa seorang wanita bergaun biru mendatangi makam Henry di belakangnya dan tersenyum pada punggung yang menjauh tersebut.
End
______________________________________
52 weeks challenge
Week 5
A story located in London______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Antologi - Kumpulan Cerita Pendek
Storie breviSerpihan dari ingatan. Cerita dari tempat-tempat jauh. Balada yang keluar dari seorang penyair. Kamu bisa menyebutnya sesukamu tapi bagiku ini adalah sebuah perpustakaan tempat aku mengistirahatkan kata demi kata, menyusunnya dan menyimpannya...