Menipu Maut

189 24 0
                                    

"Kita akan menipu maut."

Dian memandangi wajah kakak keduanya dengan mulut menganga di tengah lorong rumah sakit yang kosong. Dari mana dia mendapat ide seliar itu? Gadis berusia dua puluh dua tahun dengan rambut sepunggung itu mengerutkan alis sambil menatap Donna lekat-lekat di bawah lampu neon yang menerangi malam, bertanya-tanya apakah perempuan di hadapannya masih waras.

"Aku serius." Donna berkata sambil mengeluarkan sebuah ampul berisi cairan bening. "Ini adalah racun yang bisa membuatku 'mati' selama lima menit."

"Yang benar saja?!" Dian setengah berteriak ketika Donna menggoyangkan benda itu di depan wajahnya. "Buat apa?"

Donna menghela napas sambil menggelengkan kepala lalu dia menatap Dian selama beberapa detik sebelum berkata, "Apa kamu sudah lupa dengan cerita tentang keluarga kita?"

Dian tidak menjawab, dia memandangi Donna dengan penuh tanda tanya membuat kakaknya menggeleng lagi.

"Ternyata kamu lupa...." Gadis berambut cepak tersebut memasukkan ampul itu ke dalam tasnya dengan hati-hati. "Dulu, kakek buyut kita mencari pesugihan dan membuat perjanjian dengan penunggu Gunung Dompong. Keluarga kita akan dilimpahi kekayaan dengan syarat hanya tiga orang dari garis keturunannya yang boleh hidup bersamaan. Bila ada yang lahir, maka akan ada yang mati karena menjadi tumbal."

Dian menutup mulut dengan kedua tangannya sementara matanya terbelalak. "Astaga, cerita itu betulan?" bisiknya tercekat.

"Ibu meninggal sewaktu melahirkan kamu 'kan? Kakek meninggal ketika aku lahir." Donna menatap adiknya dalam-dalam, menunjukkan kesungguhannya. "Aku awalnya juga ga percaya, tapi memang itulah yang terjadi. Lebih dari lima generasi, cuma tiga orang dari keluarga kita yang bisa hidup."

"Bagaimana dengan Ayah? Beliau masih hidup sampai tahun lalu 'kan?" Dian berusaha berargumen, cerita ini terlalu dibuat-buat. Mana ada di zaman modern seperti ini ada hal semacam takhayul nenek moyang.

Donna menggeleng lagi. "Itu karena Ayah adalah orang luar. Ayah menikah dengan Ibu yang keturunan langsung kakek buyut. Ayah tidak terkena pesugihan ini."

Mulut Dian kembali menganga. "Ga mungkin. Ini ga mungkin!"

Donna menghela napas lagi. Alisnya bertaut. Bibirnya menipis sama seperti kesabarannya. Dia mengutuki kecuekan adiknya. "Aku sudah mengeceknya, kamu percaya sajalah!"

"Tapi-"

"Tidak ada tapi." Donna semakin kesal. "Kembali lagi ke rencanaku. Aku ingin memutus pesugihan ini di keturunan kita. Aku ga ingin jejadian itu mengambil nyawa salah satu anggota keluarga kita lagi. Kamu akan membantuku."

Dian masih menatap kakaknya dengan tidak percaya, berpikir bahwa mungkin ada salah satu sekrup di kepalanya yang lepas tapi karena Donna tampak begitu yakin, Dian memutuskan untuk diam dan melihat keadaan.

"Sebentar lagi Kak Desy akan melahirkan anak pertamanya." Donna mencuri pandang ke arah pintu kamar rumah sakit tempat kakak pertama mereka sedang beristirahat. "Karena semua sepupu kita meninggal saat Kak Desy lahir, jadi jejadian itu akan mengambil salah satu di antara kita."

Dian menahan napas. Dia tidak bisa membayangkan bila hal itu terjadi. Tumbuh tanpa seorang ibu membuat ketiga saudara perempuan itu dekat satu sama lain, terutama bila ayah mereka harus bekerja lebih lama. Tuntutan jabatan Direktur dari perusahaan keluarga yang telah berdiri selama lebih dari enam generasi tidaklah mudah apalagi dengan makin besarnya permintaan konsumen akan produk mereka. Dian sudah menganggap Desy dan Donna sebagai pengganti Ibu yang tak pernah dilihatnya.

"Aku tidak akan biarkan hal itu terjadi." Donna memandang penuh tekad ke arah Dian.

"Lalu apa rencanamu, Kak?" Dian memandang Donna. Saat ini Donna mungkin sedikit hilang akal tapi Dian akan mendengarkan ocehannya bila itu menyangkut nyawa orang-orang yang dicintainya.

Sebuah Antologi - Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang