Aku membuka helm besiku dengan segera, melemparkannya ke tanah hingga berdentang keras. Jantungku berdetak kencang dengan rasa takut dan cemas. Aku berdiri kaku, terbelalak memandangi kejadian di depanku. Teriakan-teriakan panik terdengar begitu jauh seperti aku tidak berada di tempat ini. Aku memang berharap aku tidak berdiri di sini dan memandangi akibat dari perbuatanku....
"Cepat angkat dia kembali ke kastil!!!" seru Ian, wakil komandan membuatku tersadar.
Mataku kembali melihat apa yang ada dihadapanku, kenyataan. Sang komandan terluka parah, aku dapat melihat goresan panjang membelah baju zirah dan merobek kulit dibawahnya, mengalirkan darah segar yang membasahi tanah, akibat ulahku.
"Jangan meleng, Prajurit!" teriak Ian sambil memandangiku sebelum dia berlari melewatiku.
Aku menoleh dan melihat yang selama ini terlupakan. Sesosok raksasa menyerigai kejam melihat kami, dia tampak puas melihat komandan kami tumbang. Pedang ditangannya berkilat tajam dengan noda darah di sepanjang bilahnya. Ian berlari dan melompat dengan sekuat tenaganya untuk menghujam tombaknya ke arah Raksasa. Beberapa prajurit lain memberi assist dengan menyerang bersama-sama dengan dia. Dari jauh aku dapat melihat Sarah membidik panahnya dan melepaskannya dengan cepat. Anak panah itu melesat memberi celah bagi Ian untuk menusuk Sang Raksasa.
Terdengar bunyi bedebum kasar. Raksasa itu jatuh tapi pertempuran masih jauh dari selesai. Ian mencabut tombaknya dari dada raksasa dan melihat bahwa komandan sudah dibawa menjauh dari arena peperangan.
"Cepat maju dan runtuhkan benteng mereka!!!" serunya sambil mengangkat tombaknya tinggi-tinggi.
Para prajurit langsung berlari ke depan dengan teriakan perang, melewatiku yang masih terguncang....
"Apa yang kau lakukan, Prajurit?"
Tiba-tiba saja Ian sudah berada di depanku, matanya yang tajam memandangku lurus, membuatku semakin menciut. Aku tak menjawabnya, tercekat. Aku dapat melihat alisnya makin berkerut, tanda tak sabar. Dia semakin tidak senang dan aku semakin gemetar. Ketegasannya mengintimidasiku.
"Mundurlah, jaga Komandan. Lakukan sesuatu untuk akibat dari perbuatanmu." ucapnya tegas seraya berbalik dan berlari menyusul prajurit lain.
Aku tak dapat berkata apapun. Aku terdiam dan seluruh dadaku sakit dililit oleh rasa bersalah yang dalam.
*
Seandainya, seandainya, seandainya....
Kata-kata itu mencengkram pikiranku dengan kuat. Aku tertunduk di sudut kamar Komandan, menjaganya selagi yang lain sedang berperang. Merasa bodoh? Ya. Tak berguna? Ya. Merasa gagal? Apalagi. Aku mengusap wajah dengan frustrasi. Kuangkat kepala dan melihat ke arah Komandan sedang tertidur di ujung ruangan yang berseberangan. Keadaannya stabil. Para Healer sudah mendoakan dan menyembuhkan lukanya. Aku bersyukur lukanya tidak fatal tapi tetap saja, dia tidak akan terkapar di sana jika bukan karena ulahku. Ugh, mengingat hal itu lagi membuatku ingin membenturkan kepalaku ke tembok kastil.
Aku baru beberapa bulan tergabung dalam kesatuan ini. Sudah lama sekali aku ingin menjadi prajurit, bertarung di medan perang dan membawa kemenangan bagi Sang Raja. Ketika aku tahu aku ditempatkan dibawah pimpinan Ariokh, aku langsung melonjak gembira. Dia adalah salah satu prajurit terhebat yang dimiliki Kerajaan dan selalu membawa kemenangan bagi kami. Saat itu aku merasa aku sanggup mengangkat pedangku tinggi-tinggi dan melakukan hal yang sama bagi Kerajaan tapi sekarang aku merasa aku berada di jurang terdalam....
Aku kembali mengusap wajahku. Aku mengacaukan semuanya.
Terdengar suara tertahan. Aku segera mengangkat wajah, Sang Komandan telah bangun. Aku menghampirinya dengan enggan. Aku takut kata pertama yang diucapkannya adalah memecatku. Aku melihat ia membuka matanya dengan pelan lalu menggerakkan kepalanya ke samping dan melihatku.
"Fahren?" tanyanya pelan, berusaha mengumpulkan kesadarannya.
Aku mengangguk pelan.
Dia menggeram pelan, menahan sakit. "Ugh...untunglah kamu baik-baik saja." ucapnya sambil tersenyum lemah membuatku terkejut.
Dia....tidak marah?
"Bagaimana dengan pertempurannya? Apakah kita menang?"
Aku tak sempat menjawab, terdengar ketukan pintu. Sang Komandan memberiku tanda untuk membukanya dan Wakil Komandan Ian muncul di balik pintu. Wajahnya kaku, membuatku mundur selangkah. Entah mengapa aku selalu takut dengan dia.
"Lapor, Komandan." ucap Ian sambil memberi hormat. "Kita menang. Benteng musuh sudah jatuh dan kita mendapat banyak jarahan. Seluruh tawanan telah berhasil diselamatkan."
Sang Komandan bernapas lega. "Terpujilah nama Raja. Ian, tolong antar Fahren untuk beristirahat."
"Tapi Komandan...." Aku berusaha membantah.
Komandan menghela napas. "Kamu pasti belum sempat beristirahat sejak kamu datang kemari 'kan? Aku sudah tidak apa-apa."
Aku masih keberatan tapi Ian sudah menggiringku keluar kamar. Begitu pintu kamar tertutup, dia berjalan di depan, memimpin.
Kami melewati lorong-lorong kastil dalam diam. Sinar lemah matahari menyirami jendela-jendela memberikan sebercak warna keemasan pada batu hitam. Beberapa kali aku memandang Ian dengan sudut mataku. Berbeda dengan Komandan, Wakil Komandan yang satu ini tegas dan sangat menakutkan. Aku bertanya-tanya, apakah dia marah dengan tindakan sembronoku tadi....
"Fahren," ucap Ian membuatku nyaris terlonjak. Dia berhenti, berbalik memandangku. Aku menciut. Rasanya ingin lari sejauh mungkin.
"A-pa?" balasku berusaha untuk tidak terlihat menantang, gugup, aku tidak ingin membuatnya lebih marah.
"Kamu lihat bekas luka di badan Komandan?" tanyanya.
Aku memandangnya heran, tidak mengerti mengapa dia tiba-tiba bertanya hal tersebut. Aku terdiam, namun Ian terus memandangku meminta jawaban membuatku memaksa otakku untuk mengingat. Ya...aku ingat, aku dapat melihat bekas luka memanjang dari lengan ke telapak tangan tersembunyi di balik kain bajunya tapi aku tetap tidak yakin, apa itu memang benar atau hanya imajinasiku.
Dengan ragu aku mengangguk pelan. Tegang, bagaimana kalau jawabanku salah. Aku tidak ingin kehilangan pekerjaanku, pekerjaan yang sudah aku inginkan sejak pertama kali aku melihat pawai kemenangan lima belas tahun lalu.
"Luka ditangannya, itu ulahku." ucap Ian, mengalihkan pandangnya ke arah matahari.
Aku terbelalak, tidak menyangka mendengar Ian bercerita dan lebih tidak menyangka lagi Ian pernah melakukan kesalahan yang sama.
"Lima tahun lalu, aku tidak mendengarkan perintah dan menyerang sendirian," lanjutnya, pandangannya menerawang, "perhitunganku salah, monster yang kuhadapi jauh lebih kuat dariku. Di saat aku sudah pasrah dan siap dihabisi, Komandan datang. Dia mengalahkan monster itu walau harus kehilangan banyak darah dan nyaris meninggal...."
Aku terpana. Ian tersenyum.
"Aku tahu kesalahanmu fatal hari ini dan apapun yang terjadi jangan ulangi, tapi jangan merasa gagal. Tidak ada orang yang menyalahkanmu." lanjut Ian seraya kembali berjalan, aku mengikutinya di belakang. Diam, tidak menyangka keadaannya akan menjadi seperti ini.
Aku dapat melihat pintu kamarku beberapa meter di depan.
"Adalah tugas seorang pemimpin untuk menahan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh prajurit-prajuritnya." Ian berbicara sambil membuka pintu kamarku, mempersilakan aku masuk.
"Suatu ketika, baik aku maupun kamu, akan melakukan hal yang sama untuk setiap orang yang kita pimpin. Menanggung kesalahan dan kelemahan mereka." lanjutnya, tersenyum, lalu menutup pintu kamar.
Aku terdiam, memandangi pintu kayu yang tertutup di depanku. Kata-kata terakhir Ian menggema dalam kepalaku.
End
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Antologi - Kumpulan Cerita Pendek
NouvellesSerpihan dari ingatan. Cerita dari tempat-tempat jauh. Balada yang keluar dari seorang penyair. Kamu bisa menyebutnya sesukamu tapi bagiku ini adalah sebuah perpustakaan tempat aku mengistirahatkan kata demi kata, menyusunnya dan menyimpannya...