07. Yang sejujurnya

34 9 0
                                    

Sekaleng minuman beralkohol rendah menjadi teman satu-satunya bagi Ae-ri kala mengambil waktu rehatnya sendirian, terduduk di bangku yang tersedia di atas rooftop rumah sakit---di selimuti dinginnya malam yang menusuk tulang. Sekalipun setiap tegukan yang melewati tenggorokannya menyakiti dirinya, meninggalkan rasa pahit juga terbakar yang perlahan merambat---gadis itu tetap mati-matian menelannya. Meskipun yang sebenarnya adalah; Ae-ri bukanlah penggemar alkohol, atau lebih tepatnya ia tidak pernah berani menjejalkan minuman tersebut ke dalam mulutnya. Bahkan barangkali dirinya dulu tidak menyukainya sebab mengetahui efek yang akan ditinggalkan; mabuk, tentu saja. Ae-ri tidak suka. Apalagi jika badan sehatnya tiba-tiba dilanda pening hebat. Ia sudah khatam melihat tabiat teman-temannya dahulu ketika mabuk saat mereka tengah berkumpul. Mereka meracau kepalanya pening dan berperangai seperti orang tidak waras.

Padahal jika diingat usianya sudah memasuki legal untuk mengecap rasa pahit minuman tersebut. Mengingat bahwa biasanya remaja dibawah usianya saja selalu penasaran dengan rasa minuman itu. Dan sebetulnya Negara mereka tidak melarang edaran alkohol. Tetapi gadis itu tetap saja enggan.

Ae-ri ingat tolakan keras yang selalu dilayangkan, manakala dia dibujuk oleh temannya untuk mencoba minum-minum. Selain tidak suka. Ae-ri menghargai orangtuanya yang tidak memberi izin. Jadi, ia tau betul akan bagaimana reaksi orangtuanya bilamana ia didapati mabuk, bisa-bisa ia didepak dari Rumah. Barangkali Jungkook pula pasti marah besar jika tau sekarang malah Ae-ri secara rahasia minum alkohol.

Ae-ri jadi merasa durhaka, dan munafik sekali. Cih, lihat apa yang dilakukannya sekarang. Ae-ri macam menjilat ludah sendiri.

Kendati tidak dapat dipungkiri, jika minuman ini menjadi salah satu yang berhasil masuk ke tubuhnya setelah segala hal yang terjadi. Sebab nafsu makannya tidak kunjung membaik. Lantas dengan sok dirinya coba-coba, dan ternyata Ae-ri sedikit menyukainya. Beban dipikiran yang dirasa seperti teralihkan begitu saja dalam setiap tegukan yang ditelannya. Ae-ri tidak tau mengapa itu terjadi.

Hanya saja amat disayangkan, perasaan melegakan itu hanya mampir barang sekejap. Kini tergantikan oleh efek pening yang samar-samar menginvasi. Ae-ri mengurai surai panjangnya dengan sedikit pijatan kasar di sana. Sedikitnya membawa tawa kecil yang keluar tiba-tiba. "Ah, tidak seru. Payah sekali sih kamu Ae-ri!" runtuknya sebal. Mengetahui jikalau toleransi tubuhnya pada minuman tersebut amat payah.

Ae-ri merendahkan pandangannya manakala kepalanya terasa begitu berat untuk diangkat. Menikmati saat-saat dimana efek dari minuman itu memulai aksinya. Lalu mengamati lantai yang dimatanya terlihat seperti berputar dan berloncatan, atau entahlah, bahkan penglihatannya juga sedikit mengabur.

Ae-ri fokus sekali memperhatikan hingga kiranya ia menangkap bayangan hitam yang muncul mendekat di permukaan. Gadis itu menerka-nerka siapa gerangan yang datang, lantas pertanyaan itu cepat terjawab tatkala suara bariton yang dikenalnya menyapa.

"Di sini kamu, Ri."

Kim Seokjin berdiri dibelakang si gadis yang duduk di bangku sedang menunduk, tidak menoleh pada kehadirannya sama sekali, seakan tidak lihat. Seokjin sedikit sakit hati. Padahal ia membela-bela kemari dan mencari Ae-ri di seluruh Rumah Sakit sebab Ibu bilang jika si gadis pergi keluar tanpa izin lebih dulu, cukup membikinnya kelimpungan. Namun kesalnya itu berganti dengan kelegaan yang keluar bersamaan dengan suara helaan napas pendek.

"Kamu sedang apa sih di sini sendirian?" tanya Seokjin dengan bumbu penasaran. Tidak tau kenapa dari sekian tempat Ae-ri memilih di sini. Tidak ada takut-takutnya di malam hari.

"Memangnya tidak boleh?" balik bertanya. Ae-ri menoleh dan mendelik sebal. Mengundang keterkejutan dari Seokjin lantaran suara si gadis yang sedikit menyentak.

Masih dengan sisa terkejutnya, sambil mengusap dada pelan, ia menjawab, "Boleh. Tapi di luar dingin sekali. Aneh, kenapa kamu kuat padahal aku pakai pakaian tebal masih saja dingin." Seokjin keheranan karena dirinya saja yang mengenakan mantel masih merasa dingin, apalagi gadis itu yang anteng sekali dengan pakaian tipis.

Endings, Beginnings.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang