"Mencintai itu bukan berarti selalu senang. Ada juga mencintai yang malah selalu sakit."
***-***
Kata Ayah, Rius itu mirip dirinya. Selalu tidak sadar bila sedang jatuh cinta.
Berulang kali Ayah bercerita tentang berapa banyak laki-laki yang bersaing denganya dulu, untuk mendapatkan Mama. Mama itu cantik, manis, dengan tutur lembut. Wajar jika menjadi rebutan laki-laki yang jumlahnya hampir satu kampung.
Hiperbola, tapi kata Ayah memang begitu adanya. Sempat kehilangan harapan untuk mendapatkan Mama, namun akhirnya bangkit kembali karna gengsi dibilang 'gitu aja nyerah'. Masa di tolak sekali langsung mundur sih!
Kata Ayah, lelaki sejati itu tetap berusaha pada satu wanita selagi wanita itu belum menjadi milik orang lain. Tapi kalau banyak sakit hatinya, hingga terbawa mimpi, lebih baik dilepas saja. Agar tidak terlalu menyakiti.
"Mencintai itu bukan berarti selalu senang. Ada juga mencintai yang malah selalu sakit." Saat itu, Rius dengan terpaksa diseret Ayah untuk menemaninya ke toko bangunan. Membeli beberapa semen untuk mempercantik tembok pagar belakang rumah.
"Katanya cinta itu bahagia, Yah.."
Pembicaraanya masih soal cinta, hati, dan wanita. Dibalik helm bogo bermotif catur, Rius menajamkan telinganya agar tak terlewat sedikitpun tentang apa yang Ayah bicarakan.
"Kata siapa?"
"Kata Mama."
"Cinta Ayah sama Mama, alhamdulillah takdirnya bahagia. Bisa terlahir kamu dan dua kakakmu. Tapi jangan salah, ada banyak cinta yang berahir patah, nyeri, sakit, hingga mati. Banyak kasus bunuh diri karna putus cinta." Ayah tertawa, suaranya berpendar dengan angin jam tiga sore. Kebutnya laju kendaraan membawa sebagian tawa ikut mengalir hilang.
"Itu namanya bodoh."
Ayah makin terbahak mendengar jawaban Rius.
"Benar, Ayah setuju. Sebagai laki-laki, kita wajib berusaha, terutama dalam hal cinta. Kita mengejar satu wanita, menunggu dia mau menerima kita. Bukan mengejar wanita, untuk memaksa agar dia mau dengan kita. Ingat ya, kita berusaha agar dia mau dengan sendirinya, bukan mau karna terpaksa.""Itu sebabnya ada cinta yang sakit?" Rius melempar pertanyaan dari jok belakang scoopy milik Mama.
"Iya, cinta yang kita paksa itu sama saja dengan pisau yang kita hujamkan ke dada. Sudah tau dianya nggak mau, mati-matian menolak, tapi tetap saja dikejar, begitu ditolak, sakit hati sendiri."
"Pie to Yah.. Tadi katanya kita kudu berjuang. Kok plin-plan sih Ayah iki."
Ayah kembali tertawa. "Artha, segala sesuatu di dunia ini ada batasnya. Kita berjuang, tapi kalau sudah melampaui batas yang kita bisa, sampai sakit. kita wajib putar balik. Kembali masuk dalam zona aman yang lebih nyaman." Ayah berhenti tepat di ramainya kendaraan bermotor yang terparkir. Tiba di sebuah toko bangunan, Ayah melepas helm dan menoleh.
"Berjuang sewajarnya laki-laki berjuang. Menggenggam sewajarnya kamu menggenggam. Kalau yang kamu genggam sudah menyakitimu berulang kali, membuatmu patah hati sampai rasanya mau mati. Longgarkan, mungkin kamu terlalu keras berjuang sampai dia risih. Lepaskan, mungkin juga kamu terlalu erat menggenggam."
Wejangan Ayah sore itu kembali berputar dikepala Rius. Bocah itu mendadak galau cuma karna chat panjangnya pada Nika hanya dibalas buble chat yang isinya hanya kalimat yang membuat pesimis, 'gue capek'.
Rius menyandarkan punggungnya pada tembok putih gading yang sudah usang dengan coretan. Ia menatap layar ponselnya yang mati, tergeletak begitu saja disamping gelas kopi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abu Tentang Biru
Teen FictionTentangnya, dunianya dan semua cerita yang di dengarnya. Abu-abu yang bercerita tentang si biru. Si biru yang menjadi rumah, menjadi raga, menjadi suara, menjadi telinga, dan menjadi tiang yang sekuat baja. Ini Rius, dan semua tentang hidupnya. Ju...