"Tolong kasihin Juna, ya."
•••_•••
Matahari meredup, cahayanya berselisih dengan kelabu yang kian memekat, panas terasa surut dengan gumpalan awan yang mengancam jatuh.Rius mendongak begitu keluar dari pusat perbelanjaan. Menatap langit yang menggelap, menerka bahwa akan turun hujan. Tanganya menenteng paper bag berukuran sedang, milik Nika yang berdiri disebelahnya.
"Mau kemana habis ini?" Rius melirik jam tanganya, masih pukul 4 sore.
"Pulang aja kali ya, udah mendung juga tuh." Gadis itu menunjuk gumpalan awan yang kian menggelap.
"Syukur dong, tadi siapa yang ngeluh panas?" Rius terkekeh, "Ke masjid dulu, ashar." Dan beranjak mendahului Nika.
Di belakangnya, Nika menatap punggung laki-laki itu. Punggungnya lebar, terlihat kokoh. Tapi apa pantas Nika merapuhkanya berkali-kali? Nika sadar kalau setiap perlakuan yang ia tunjukkan pada Rius, akan membuat laki-laki itu salah paham, dan berakhir menyakitinya. Tapi entahlah, sisi jahat hatinya tak mau mengalah.
Sejahat itu dirinya, dan ternyata tak semudah itu mendekati teman dari laki-laki hebat itu. Dari awal ia sudah salah mengambil langkah, Nika pikir, setelah gagal mendekati Juna secara langsung, akan dengan mudah mendekati Juna bila ia dekat dengan Rius yang statusnya sahabat pujaan hatinya.
Tapi ternyata salah, ia malah seolah menjebak Rius untuk jatuh padanya juga. Laki-laki itu nyata menyukainya, setiap afeksi dan perhatian yang diberikan padanya, jelas tertuju untuk menarik perhatianya.
Nika sungguh merasa jahat.
Tapi maaf, egonya masih lebih mendominasi hatinya, Nika masih teguh mencoba mendekati Juna.
"Gue lagi enggak." Katanya, setelah berdiri disebelah Rius.
"Apa?"
"Gue lagi enggak sholat."
"Nanti tunggu di parkiran bentar, nggak papa?"
Gadis itu mengangguk, membiarkan tangan lebar Rius bergerak memasang helm pada kepalanya. Ia menatap wajah Rius, tampan, ganteng definisi cah bagus sesungguhnya. Sikapnya lemah lembut, selalu mendahulukan wanita, tuturnya juga Nika suka. Tapi mengapa harus Nika? Mengapa harus dirinya yang menjadi saksi dari kebaikan laki-laki itu. Sudah jelas Juna masih disana, di dalam hatinya. Dan lagi-lagi Juna tak pernah melakukan apapun untuknya, tapi kenapa Nika masih sulit beranjak? Bahkan dengan tak pernah adanya hubungan khusus antara dirinya dan Juna selain hanya mengenal nama.
"Gue tau kalau gue ganteng. Tapi ya jangan di pelototin juga."
"Idihhhh.. Pede.."
Rius tertawa dan menepuk helm yang sudah bertengger manis melindungi kepala Nika. Ia menyalakan motor Matic yang ia pinjam dari Juna. Tadi pagi Rius pergi ke sekolah bersama laki-laki itu, dan saat pulang, Juna pergi langsung ke lapangan futsal, latihan mingguan. Dan berahirlah motor Juna yang Rius manfaatkan untuk mengantar Nika yang meminta di temani ke Gramedia.
5 menit waktu mereka menuju Masjid, memarkirkan motornya pada area depan masjid.
"Gue sholat dulu ya, Cil. Ati-ati diculik." Kata Rius, mengambil alih kancingan helm Nika yang tak kunjung terbuka.
"Iya Riussss, buruan dah. Gue tungguij."
Rius beranjak, meletakkan helm pada sepion motor, kemudian berbalik. Menatap Nika yang duduk menyandar pada motor.
"Mau tau nggak apa yang bakal gue minta pas do'a nanti?"
Nika mengernyit, "Hah?"
"Gue bakal minta, semoga kita cepet ta'aruf, terus jadi jodoh." Rius nyengir, berjalan mundur dengan masih menatap Nika. "Kok diem? Bantu amin ya nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Abu Tentang Biru
Ficção AdolescenteTentangnya, dunianya dan semua cerita yang di dengarnya. Abu-abu yang bercerita tentang si biru. Si biru yang menjadi rumah, menjadi raga, menjadi suara, menjadi telinga, dan menjadi tiang yang sekuat baja. Ini Rius, dan semua tentang hidupnya. Ju...