7. Anak Pojok Kantin

187 30 4
                                    

Siang semakin panas, angin semakin pelit berhembus, langit juga terlihat biru cerah tanpa ada segerombol awan yang menghalangi panasnya.

Cuaca yang membuat sebagian besar manusia kota enggan beraktifitas di tengah hari begini, berakibat dengan jalanan yang sedikit lengang. Aktifitas lalu lintas tak seramai pagi dan sore hari, pedagang kaki lima pun lebih banyak mengipasi diri dengan potongan kardus, berusaha menciptakan angin yang sekiranya mampu menurunkan suhu udara yang dirasa.

Berbeda dengan suasana diluar sana, suasana sekolah saat jam-jam istirahat tengah hari begini malah lebih ramai dari biasanya. Bergerombol memenuhi kantin, sibuk memilih menu makan siang dan saling berteriak menyebutkan pesanan.

Jika siswa lain sudah damai dengan menu yang mereka dapat, atau malah sedang sibuk berebut tempat, beda lagi dengan sekelompok siswa laki-laki yang duduk mengerumuni satu meja di paling pojok.

Perut mereka sudah terisi, jadi tak ada alasan untuk mereka berhenti membuat gaduh. Suara Jeki, dan Haga yang paling mendominasi. Bernyanyi dari satu lagu ke lagu lain, keroncong, dangdut, pop, atau bahkan genre rock juga mereka terabas. Mungkin jika dihitung-hitung, sudah ada lebih dari satu album lagu yang mereka nyanyikan sejak mereka duduk disana. Berbekal botol saos dan kemoceng bulu milik pemilik kantin, mereka menciptakan suasana konser milik sendiri.

Sedangkan lima lainya hanya sibuk menjadi saksi dari betapa ramainya dua orang itu. Bayu yang sudah menghabiskan berbungkus-bungkus roti berisi kacang hijau, Ranju yang tengah asik mengunyah es batu sesekali berteriak emosi pada dua orang yang paling berisik, atau Rius yang masih berambisi mengalahkan Azis dalam permainan ular tangga. Mainan yang di dapatkanya dari serba duaribu.

Sementara Juna, entahlah, bocah itu terlihat diam sejak pagi. Memang dasarnya dia pendiam, tapi biasanya tidak sediam ini, hari ini kepalanya lebih sering menyentuh permukaan meja dengan mata terpejam. Bukan tidur, hanya seperti anak TK yang kehilangan uang duaribunya. Galau.

"HEY MANUSIA!!" Suara nyaring Jeki masih saja berkumandang, mengabaikan kenyataan bahwa akibat ulahnya, seisi kantin jadi lebih sering mendesis terganggu. Tapi, apa perduli Jeki?

"JENG JENG JENG JENG JENG!" Diiringi suara Haga yang ikut mendalami peran sebagai gitaris.

"HORMATI BAPAKMUUUUUU! YANG MELAHIRKAN!"

"Bego!" Jeki menghentikan nyanyianya ketika Haga dengan semena-mena menempeleng kepalanya. "Bapak-bapak mana yang melahirkan?"

"Bapak gue." Sahut Jeki cepat.

Haga melotot sinis, mengacungkan kemoceng yang sempat dijadikannya gitar. "Bapak lo bisanya bikin doang ya nyet, kaga bisa melahirkan!"

"Ya biarin sih, suka-suka hati kakanda."

"Ganti lirik." Haga menuntut.

"Ogah, gue maunya Bapak yang melahirkan."

"YANG MBROJOLIN LO KE DUNIA INI EMAK LO YA! BUKAN BAPAK LO!"

Jeki memandang Haga yang sudah naik pitam, entah kenapa bocah itu jadi sumbu pendek, bahkan Ranju sempat menahan tangan Haga yang bisa saja menjambak rambut keriting Jeki.

"Gue nggak punya emak ya, Njing!"

Hening, senyap seketika. Perdebatan singkat itu terhenti sampai pada guyonan Jeki yang mampu meredupkan panasnya matahari siang itu. Bocah itu tertawa jenaka ketika melihat temanya menatapnya dengan pandangan ngeri.

Bayu yang tengah mengunyah roti saja sampai tersedak dengan Ranju yang menatap nanar pada nasib Azis yang kena sembur.

"Gue punya Mamak dua, lo mau nggak?" Azis tau-tau menyahut, bocah paling sabar itu menebas remah roti dari seragamnya, wajahnya berbinar polos. Mengabaikan Rius yang berbuat curang, melompati dua angka tanpa mengocok dadu.

Abu Tentang BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang