Tinggalkan saja pacarmu

6 1 0
                                    

3. Tinggalkan Saja Pacarmu

Baru kali ini aku tau rasanya malu berhadapan dengan seorang laki-laki. Baru kali ini aku tau, rasanya merindukan. Jika jauh ingin dekat, jika dekat tak sanggup menatap. Tatapan curi-curi pandang yang membuat candu. Kenapa harus kepada Biyan? Bukannya sebelum kenal dengan dia, banyak sekali laki-laki yang mencoba dekat. Semua aku abaikan, hanya karena prinsipku tak mau berpacaran dan fokus menggapai cita-cita. Otakku mulai berpikir dan mencari tau, apa kelebihan Biyan dibanding dengan yang lain?

Semenjak pulang sekolah, aku hanya diam. Rebahan dan melihat wajah Biyan yang berhasil dipoto diam-diam oleh Maria. Sunguh aku sudah gila. Setumpuk PR yang menunggu dikerjakan aku abaikan. Yang aku lakukan hanya menunggu pesan selanjutnya dari Biyan.

Sebuah video call masuk ke ponselku, dari Maria. Apakah tak ada manusia lain yang peduli terhadapku selain Maria?Aku segera mengangkat panggilan darinya.

"Ngapain Lo telpon gua?" tanyaku singkat.

"Yaelah Jeng, angkat telpon pakai salam napah. Lo kayak ga rido angkat telpon dari gue!" jawab Maria tampak kesal.

"Gue lagi tidur!" bentakku.

"Serius Lu lagi tidur? Yaudah gua ama Biyan balik lagi," tuturnya.

"Apa?! Lu bilang apa? Bareng Biyan?" Aku benar-benar kaget dan tidak percaya.

"Iya. Nih orangnya." Maria. Mengarahkan kamera ponselnya ke arah Biyan.

"Hallo Kak," ucap Biyan melambaikan tangannya sambil tersenyum manis.

"Ha--hallo. He." Aku membalas lambaian tangannya dan terdiam menikmati senyum manisnya.

"Kunyuk, cepetan buka gerbang!" Maria mendengus.

"Masuk aja, kan ada Pak Lili!"

"Ga ada orang, makanya gue telpon Lu. Cepet ke bawah!"

Aku segera berlari menuju pintu gerbang, dengan hati bertanya-tanya. Mengapa Biyan bisa bersama Maria? Di dalam rumah sangat sepi, kemanakah penghuni rumah lainnya? Rumah benar-benar kosong.

"Hai. Mari masuk." Setelah membuka pintu gerbang, aku langsung mempesilahkan mereka masuk ke dalam. Biyan tampak takjub. Melihat ke sekeliling rumah, pandangan matanya beredar ke seluruh penjuru rumah.

"Lo sendirian?" tanya Maria.

"Huum, dari semenjak pulang sekolah gue di kamar. Tadi masih ada si bibi sama pak Lili. Tapi ga tau mereka pada kemana?"

"Emang keluarga Kakak yang lain pada ke mana?" tanya Biyan.

"Mami dan Papi masih sibuk di toko. Adik gue palingan lagi les atau ngaji. Bisa jadi Pak Lili lagi anter mereka. Oia kalian mo minum apa?"

"Apa aja," jawab Maria dan Biyan serentak.

Setelah menyiapkan minuman dan makanan, aku segera duduk berbincang bersama mereka. Ternyata Maria dan Biyan bertemu di jalan. Motor Maria mogok, dan dilarikan ke bengkel untuk diperbaiki. Mereka bisa tiba di sini dengan berjalan kaki.

"Lo sengaja mau ke rumah gue?" tanyaku kepada Maria.

"Enggak! Kebetulan tuh motor mogok deket rumah Lo?"

"Kalau aku, baru pulang sekolah Kak. Kebetulan liat temen Kakak dorong motor. Jadi aku bantu dorong." Biyan menjelaskan tanpa diminta. Pantas saja Biyan masih menggunakan seragam sekolah. Menurut Biyan, angkutan umum tak kunjung lewat terpaksa dia pulang berjalan kaki.

Aku sungguh tidak rela melihat seorang Biyan berjalan kaki menyusuri jalan raya yang penuh debu, onak dan duri. Bisa-bisa kulit putihnya terbakar, bisa-bisa wajah tampannya memudar, kasihan.

"Pacar lo pulang duluan gituh? Ko lo jalan sendirian?" celetuk Maria.

"Hmm, Cantika rumahnya di pinggir sekolah," jelas Biyan.

Tanpa diminta Biyan menceritakan asal mula dia jadian dengan Cantika. Menurut Biyan, mereka baru saja pacaran selama satu minggu. Mereka berdua teman sekelas. Menurut pengakuan Biyan, Cantika yang 'menembak' Biyan duluan.

"Andai saja aku kenal Kakak lebih dulu. Aku akan menyatakan cinta kepada Kakak. Dulu aku menerima Cantika karena kasihan. Dia mengutarakan cinta di depan kelas," tuturnya.

Kali ini aku dibuat tersipu malu, 'GeEr'. Berarti Biyan juga merasakan hal yang sama, dia juga menyukaiku. Otak jahat ku berpikir, supaya Biyan meninggalkan Cantika.

"Masa iya cewek berani nembak cowok di depan umum? Lo ngarang cerita kali," sindir Maria.

"Kalau Kakak tidak percaya, tanya aja temen-temen sekelas," bela Biyan.

"Aku percaya Kok. Aku percaya semua yang kamu katakan," tuturku. Termasuk pernyataan bahwa kamu akan menyatakan cinta kepadaku jika kamu belum jadian dengan Cantika.

"Awas lo kena gombal. Gue tetep ga percaya ma cowok." Maria menatap tajam ke arah Biyan. Biyan tertunduk, kikuk. Wajahnya memerah.

"Udah ah, jangan ngebahas itu lagi. Mening kita makan yuk. Tadi gue liat di meja makan banyak banget makanan. Mama udah masak kali." Aku mencoba mencairkan suasa.

Biyan dan Maria pulang sore hari. Tepat setelah azan magrib berkumandang. Tentunya Maria dan Biyan sudah meminta izin kepada orangtuanya. Biyan sudah aku kenalkan pada seluruh penghuni rumah. Mami mengobrol banyak dengan Biyan. Tapi Papi seperti tidak suka.

***

Setelah mengikuti pengajian rutin di rumahku, aku memilih masuk kamar, malam ini aku bakalan ngebut mengerjakan PR. Setiap hari Rabu, Papi mengundang ustaz untuk memberi siraman rohani kepada keluarga kami dan seluruh karyawan yang bekerja pada Papi.

[Kak, perasaan aku nyata. Aku serius, suka kamu.] sebuah pesan singkat dari Biyan, membuat bibirku tersenyum lebar. Suasana hati tenang, sejuk. Aku seperti berada di atas pegunungan, di dekat air terjun, indah. De dahsyat ini rasanya jatuh cinta. Apalagi cintaku berbalas. Cinta pertamaku.

[Serius?] bawaslu singkat.

[Sangat serius sekali, Kak. Tapi aku bingung dengan Cantika,] keluhnya.

[Tinggalin aja dia, hehe. Putusin aja Cantika. Just kidding, he, ] jawabku. Padahal hatiku serius.

Setelah pesan ini Biyan menghilang. Mungkinkah dia marah? Aku kembali mengerjakan PR. Sebelum tidur ponselku kembali berdering. Panggilan dari Biyan. Tanpa pikir panjang aku langsung mengangkatnya. Kami berbincang hangat hingga pukul 01:00 pagi. Dan diakhir panggilan Biyan memastikan, akan segera memutuskan Cantika. Aku benar-benar bahagia.

Rasa Yang BerbelokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang