Bag 3

533 107 4
                                    

   Setelah mencuci piring-piring serta baju-baju kotor, Vie mengajak Jayna untuk ke kamarnya yang terletak di loteng. Ia berniat meminjamkan pakaian pada gadis berseragam itu untuk di kenakan.

"Pakailah." Vie menyerahkan beberapa lembar pakaian ke hadapan Jayna yang tengah terdiam mengamatinya.

Jayna menerimanya dengan senang hati. "Terimakasih, Vie. Kau baik sekali padaku."

Vie yang tengah merapikan lemari tersenyum. "Tak masalah. Itu sudah tugas kita sebagai manusia."

Jayna ikut tersenyum manis, Vie terlalu baik padanya. Padahal ia hanya orang asing yang tiba-tiba muncul dari hutan kemarin.

"Gantilah di kamarmu. Tempat kau bangun tadi pagi." Ujar Vie sambil menutup lemari, lalu berdiri di hadapan gadis tinggi dengan surai kecoklatan itu dengan tatapan memindai.

"Kau tahu, pakaian pendek-mu itu bisa membuat kita dalam masalah nanti, jadi aku menyuruhmu untuk berganti." Sambungnya.

Jayna sontak menunduk, memandang rok sekolahnya yang memang cukup pendek di banding dengan dress panjang yang tengah di kenakan Vie.

"Benarkah?" Jayna terhenyak.

"Baiklah, aku akan segera berganti!" Teriak Jayna, berlari menuruni tangga dengan terburu-buru. Sedangkan Vie hanya menggeleng ringan.

________

Siang berganti sore, para angsa dan anak-anaknya terlihat beranjak dari sungai setelah seharian berenang. Langit biru di atas juga mulai tergantikan dengan senja yang menyelimuti seluruh negeri.

"Hay Vie, siapa gadis cantik di sampingmu?" Seorang pria tua jangkung menghentikan langkah kedua gadis yang tengah berjalan sore menyusuri desa.

"Temanku dari kota. Ia ingin mencium bau desa kita, jadi aku akan mengajaknya berkeliling, paman." Jawab Vie dengan nada sopan dan bersahabat.

"Ah, ternyata gadis kota. Pantas, dia sangat cantik. Menurutku bisa menyaingi putri Ilene." Paman itu terkekeh jenaka, sedangkan Jayna mengerutkan keningnya.

Siapa itu putri Ilene?

"Ahaha ... ya mungkin saja. Tapi maaf paman, sepertinya kita harus melanjutkan perjalanan sebelum malam. Sampai bertemu besok!" Pamit Vie berjalan kembali di ikuti Jayna yang setia di sampingnya.

"Bersenang-senanglah, dan jangan lupa untuk perayaan besok. Raja akan kemari bersama anaknya!" Teriak paman yang di hadiahi anggukan oleh Vie.

"Siapa itu putri Ilene?" Tanya Jayna ketika mereka sudah jauh dari paman tua itu.

"Putri Raja Leonardo dari kerajaan Benedith. Aku mendengar ia sangat cantik hingga mengalahkan dewi dari segala dewi." Jelas Vie sambil menatap ke jalanan kerikil di depan.

Jayna ikut membayangkan betapa cantiknya putri Ilene. Tanpa sadar perkataan paman tadi membuat wajahnya sedikit bersemu merah.

"Sepertinya ia sama cantiknya denganmu. Pertama kali aku melihat wajahmu, aku bahkan mengira kau adalah putri Ilene yang tersesat." Vie tertawa kecil.

"Mendengar itu, aku menjadi ikut penasaran dengan kecantikannya." Balas Jayna pelan. "Ah ya, apa akan ada perayaan di desa ini?"

Vie mengangguk mantap. "Perayaan tahunan. Raja George dan kedua anaknya akan kemari besok."

"Kenapa di desa ini?"

Vie menghentikan langkahnya, persis di pinggir danau dimana terdapat pantulan cahaya matahari yang mulai terbenam. "Karena desa ini adalah desa kelahiran sang ratu, ibu dari tiga anak Raja George."

"Lihat pulau kecil di tengah danau itu!" Titah Vie, menunjuk dengan dagunya sebuah pulau kecil yang terdapat satu pohon rindang dan sebuah batu besar di atasnya.

Jayna mengikuti arah pandang Vie, hidungnya mengkerut. "Ya."

"Di sana tempat sang ratu tertidur dengan damai." Jelas Vie sembari menundukkan kepalanya. "Kita harus mendoakannya sebentar. Tundukan kepalamu, Jayna."

Jayna dengan sigap ikut menundukkan kepalanya untuk mendoakan sang Ratu, mengikuti apa yang Vie lakukan sekarang.

"Dia pasti ratu yang sangat di hormati. Lihatlah, burung-burung saja terbang di atas sana." Ucap Jayna setelah mereka selesai mengirim doa pada sang ratu.

"Tentu saja. Dia adalah Ratu yang membuat kerajaan ini damai dan tentram." Vie menghembuskan napas kasarnya.

"Tapi sejak dia pergi, entah kenapa kerajaan ini berubah menjadi suram dan sedikit panas. Banyak konflik yang terjadi. Salah satu putranya bahkan harus kehilangan satu penglihatannya karena konflik itu."

"Ah, tapi dia memang patut untuk mendapatkannya." Vie terkekeh kecil.

"Memangnya kenapa dia bisa kehilangan satu penglihatannya?" Jayna ikut penasaran.

"Katanya dia sangat jahat dan suka berbuat onar. Kerajaan bahkan hampir hancur karenanya." Vie melipat tangannya ke depan dada.

"Padahal dulu ia putra raja yang sangat pintar dan penurut. Semua orang selalu mengangguminya dan berharap dia akan menggantikan raja nantinya. Namun posisinya itu harus lengser karena ia cacat." Vie menghembuskan napasnya. "Terakhir kali aku melihatnya dia sudah menggunakan topeng, mungkin untuk menyembunyikan kecacatannya itu."

"Besok kalau mereka datang aku harap kau jangan melihat sang pangeran dengan terang-terangan!" Peringat Vie dengan nada serius.

"Memangnya kenapa?" Jayna sedikit mendekat ke samping Vie karena penasaran.

"Itu tidak sopan, sama saja menghina sang pangeran yang cacat. Jadi kita harus menunduk jika bertemu dengannya." Jelas Vie.

"Kolot sekali." Gumam Jayna pelan.

"Kau mengatakan apa?" Tanya Vie karena tak mendengar apa yang di ucapkan Jayna.

Kepala Jayna menggeleng. " Tidak. Emh, apa ada lagi yang harus aku lakukan dan tidak aku lakukan?"

Vie terlihat tengah berpikir, tak lama kepalanya menggeleng. "Tak ada. Kau cukup hindari bertatapan dengannya."

"Baiklah. Aku mengerti." Jayna mengangguk mengerti. Dirinya hanya harus menaati semua perkataan  Vie. Lagipula ia juga hanya mahluk asing di dunia antah berantah yang tengah ia tempati sekarang.

__________

Terimakasih telah menyempatkan diri untuk membaca cerita ini😇

Acosta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang