Rosela menangis tersedu di balik pintu kamarnya, dia berjongkok guna menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan nya.
Pikiran nya kembali pada saat tadi, ketika dia dan Jeka bertengkar hebat.
"Anna, maaf. Gue belum bisa balas perasaan lo"
"Sedikit aja, sedikit Jeka?. Apa lo bener-bener gak punya perasaan yang sama kayak gue."
Jeka menundukkan kepalanya. Ia merasa dadanya sakit, apalagi melihat tatapan Rosela kepadanya. Gadis itu—kecewa berat.
"Anna..."
"Gue terlalu berharap ya Jek?"
"Anna, kamu penting banget buat aku, kamu kesayangan aku."
Rosela memejamkan matanya guna meredam amarah. Gadis itu menyeka air mata yang mulai berjatuhan. Demi Tuhan, rasanya sangat menyakitkan mendengar hal itu dari mulut Jeka sendiri.
"Anna, please jangan kayak gini." Tutur Jeka pelan, dia menggenggam kedua tangan Rosela, lalu menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
Saking lemahnya, Rosela tidak bisa menolak itu semua. Dirinya terlalu menyedihkan, dia membenamkan wajahnya pada dada Jeka, menangis tersedu disana, seolah dia lupa akan perkataan Jeka yang menolak nya.
"Maafin aku, Anna."
Rosela benar-benar tidak tahu lagi harus melakukan apa agar Jeka meliriknya. Awal pertemuan mereka tidak baik, bahkan Rosela membenci Jeka. Tapi, seiring berjalannya waktu, Jeka memberikan perhatian-perhatian kecilnya, hal itu tentu di anggap sebagai bentuk kasih sayang Jeka untuknya.
Namun, dia merasa di khianati setelah semua pernyataan nya di tepis oleh Jeka tadi. Jeka hanya menganggap nya sebagai sahabat.
Mana ada sahabat yang mencium sahabat nya sendiri. Ini—aneh, berapa kali pun Ia mensugesti, Rosela tidak bisa menarik semua benang kusut yang ada di otaknya.
Hatinya benar-benar pedih, dia tidak tahu harus melakukan apalagi pada Jeka. Rosela tidak pernah menginginkan double date itu terjadi. Mengingat nya saja, dia sudah remuk. Apalagi, membayangkan Jeka yang masih akan bersikap tidak peduli ketika peristiwa tadi siang terjadi.
Di sisi lain, Jeka terlihat baik-baik saja. Pria itu bersandar di sofa rumah Erick. Aura tenangnya terlihat menyeramkan bagi Jeffry dan Erick. Sedang Miqdar, jangan ditanya lelaki itu kemana, yang pasti dia kini sudah menjadi 'budak cinta' nya Lisha.
Jeffry dan Erick saling menyenggol siku, mereka berdua bingung, kenapa Jeka berwajah muram begitu.
"Rosela suka sama gue." Ujar Jeka di tengah suasana mencekam itu.
"Oh"
"Hah?." Jeffry dan Erick saling menatap, Jeffry menepuk pundak Erick, berusaha menenangkannya supaya dia tidak terlalu terpuruk akan kabar yang dibawa Jeka.
Jeffry berdehem, lalu memusatkan atensinya pada Jeka yang kini menyesap rokoknya. "Terus, lo jawab apa?"
"Gue jawab, kalo gue belum bisa bales perasaan nya"
"W-what?. Seriously, Jeka?. Lo beneran jawab itu?." Jeffry menatap tak percaya, dengan penuh selidik, Ia tilik raut muka Jeka, guna memastikan bahwa lelaki itu berkata jujur.
Jeka menghela nafas panjang, lalu tak lama Ia mengangguk mantap. Rasa tak nyaman muncul di hatinya saat dia ingat percakapannya dengan Rosela tadi.
Tiba-tiba saja, Erick berdiri sambil menatap nyalang perawakan Jeka disana. "Gue gak tahu kalo lo se brengsek ini Jek."
Jeka mengernyit heran, Ia ikut berdiri, lalu balas menatap Erick dengan tatapan sengitnya. "Maksud lo apa ngata-ngatain gue begitu. Tahu apa lo tentang perasaan gue?"
"Yang gue tahu, Rosela emang gak akan pernah pantas sama cowok brengsek kayak lo?."
Jeffry, menarik-narik tangan Erick, kode supaya dia menahan emosinya.
"Lo ngatain gue brengsek?. Gue cuman mau mastiin perasaan gue buat dia, Rick"
Erick menggeram marah. Dia maju lebih dekat pada Jeka, lalu pria itu mencengkram erat kerah baju temannya itu. "Gue suka sama Rosela. Kalo emang lo gak punya perasaan buat dia, boleh dong, gue deketin Rosela secara baik-baik?."
***
Rosela memandang sendu pada dua sejoli di balik kaca caffe. Disana, Miqdar dan Lisha sedang bercanda ria bak kekasih yang baru kasmaran. Ia tersenyum miris mengingat semua peristiwa itu pernah dilaluinya bersama Jeka.
"Rosela." Pekik Lisha saat dirinya sudah memasuki caffe. Gadis berponi itu tersenyum sangat lebar.
"Rose. Gue udah nemuin restoran yang cocok buat double date nanti. Lo sama Jeka bisanya kapan?. Biar gue bisa reservasi dari sekarang." Oceh Lisha yang sama sekali tidak Rosela dengarkan. Rosela masih terbayang pertengkaran nya kemarin lusa.
Ia dan Jeka belum bertemu lagi sampai sekarang. Tepatnya, Rosela menghindari semua akses yang berhubungan dengan Jeka. Rosela hanya—masih belum bisa berdamai dengan perasaan nya.
Lisha merasa ada perubahan pada Rosela, temannya itu sedari tadi hanya diam tanpa mendengarkan dia berbicara. Lisha benar-benar bingung dan khawatir. Tidak biasanya Rosela bersikap acuh seperti ini.
"Rose, ada apa?." Jemari Lisha menyentuh permukaan tangan Rose. Hal itu membuat Rosela berjengit kaget.
"Eh iya, kenapa Lis?"
"Lo kenapa?. Kok bengong?. Lagi ada masalah ya?."
Entahlah, perkataan Lisha membuatnya ingin menangis, Rosela merasa sensitif di tanyai begitu. Tak ayal, dia mengedipkan matanya dan bulir bening itu meluruh pada kedua pipi ranum Rosela.
Seolah paham, Lisha hanya diam sambil memeluk Rosela. Dia memberikan waktu lebih pada Rosela untuk menumpahkan segalanya, Lisha tidak ingin menyerobot kisah sedih itu secara tidak lazim. Dia menunggu sampai Rosela mau bercerita padanya.
Rosela menarik nafasnya, dia menatap Lisha dengan seksama. Rosela mulai menceritakan segala cerita yang disimpannya selama ini. Dia berbagi kepedihan itu pada Lisha.
Lisha bahkan sampai menutup tokonya hanya untuk mendengarkan curahan hati sahabat nya itu. Sepanjang cerita, Lisha menggerutu dan merasa marah saat Rosela di perlakukan seperti itu oleh Jeka.
Lisha pikir, Jeka adalah sosok yang paling tepat untuk mengisi kekosongan hati Rosela. Tapi ternyata, dia sama saja dengan Verrel. Sama-sama brengsek. Bisanya mempermainkan hati wanita.
Lagipula, Lisha tidak habis pikir, siapa juga yang tidak akan baper saat berada di posisi Rosela?.
"Kalo gitu, double date itu gak akan pernah terjadi"
"Maaf, rencana lo jadi gagal gara-gara gue"
"Rose, jangan nyalahin diri lo sendiri. Justru gue yang harus minta maaf. Seharusnya, gue gak usah ngungkapin ide gue saat itu. Gue gak tahu kalo lo bakalan sakit hati begini. Please, maafin gue Rose."
Rosela menggeleng, tidak, dia tidak pernah menyalahkan Lisha atas idenya itu. "Nggak Lisha, lo gak salah"
"Yaampun, sahabat kesayangan gue." Gumam Lisha sedih, lalu Ia mengeratkan rengkuhannya pada Rosela.
Namun, tak lama kemudian, Lisha mengurai pelukan itu. Dia mengusap sudut mata Rosela yang berair.
Lisha memegang pundak Rosela, menatap Rosela dengan tatapan yang menyiratkan kedinginan disana.
"Gue gak mau lo terluka lagi Rose. Gue mohon, sekali ini aja lo dengerin gue...."
"....jauhin Jeka ya?. Gue cuma gak mau lo terlalu dalam jatuh sama dia."
***
Please enjoy and happy reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M THE WINNER
Fanfiction[Mature] "Takut?." Pria itu mendecih, lantas dengan tampang sengak, maju selangkah mendekat pada orang di hadapannya. "Gue gak pernah takut." Jawab Jeka menepis semua persepsi Verrel padanya. "Makanya buktiin kalo lo bukan pecundang, buktiin kalo lo...