Prolog.

554 29 0
                                    

Seorang gadis dengan rambut sepinggang tengah makan di warung makan bersama sahabatnya, setelah mereka melakukan perjalanan jauh dari Medan ke Jakarta. Dua gadis beda penampilan itu sedang makan dengan lahapnya, tidak peduli bahwa si gadis tomboi rambut panjang itu sudah menghabiskan dua piring nasi padang.

Gadis feminim di sebelah gadis tomboi itu menyeritkan dahi. "Kau laper ape doyan, El? Tuh perut kagak meledak ape?" celetuknya menatap heran El atau lebih tepatnya Elisya Putri Smith.

Gadis bungsu dari keluarga Smitch yang memiliki kepribadian tomboi. Elisya gadis berdarah Indonesia-Amerika itu menganggap dirinya cewek yang gagal. Ia pernah berkata kalau dulu ia mungkin ketularan saudara kembarnya waktu dalam kandungan sang ibu.

Walau sifatnya sedikit barbar, keluarganya tetap menyayanginya. Apalagi mengingat ia anak perempuan satu-satunya di keluarga Smith.

"Dua-duanya. Lagian enak banget sih." Elisya menjawabnya dengan mulut penuh.

Gadis feminim itu melihat tingkah sahabatnya hanya geleng-geleng kepala. Dia bernama Nasya Sherly Liam, gadis feminim yang berbanding balik dengan Elisya.

Perempuan asal Medan itu memiliki cover yang anggun dan kalem, jika orang tidak tahu bakal berpikir demikian. Padahal.. sifat gadis itu bertolak belakang dengan covernya. Sifatnya yang julit dan suka nyinyir, membuat Elisya terus bersabar jika sahabatnya itu sudah membicarakan orang lain. Dan terakhir, Nasya itu orangnya tidak sabaran parah.

Elisya mengambil es tehnya lalu meneguk habis, perutnya sudah terisi penuh bahkan ia sempat bersendawa kecil. Nasya memelototi Elisya agar sahabatnya itu jaga sikap, namun Elisya tidak menghiraukannya.

"Aish! Kau tuh cewek El, sopan dikit lah! Kagak heran aku, kalau kau sering dipanggil bang gondrong sama orang, sikap kau aja kek gini." Nasya tidak akan bosan memberi teguran untuk sahabatnya, walaupun terselip kata nyinyiran.

Bukannya menuruti Elisya malah mengambil tusukan gigi, lalu mencongkel sisa daging yang menyangkut di giginya. Bersahabatan dari kecil membuat Nasya tidak terlalu kaget dengan sifat Elisya.

Nasya menatap sinis Elisya. "Ku kalau punya pacar macam kau, dah ku putusin kali. Malu-maluin, untung aku yang cantik dan anggun ini tahan dengan sifat aneh bin enggak jelas macam kau."

Tidak ada hari tanpa ngejulit. Luarnya aja yang kalem seperti malaikat, tapi dalamnya seperti setan minta diruqyah. Elisya menarik bibir sahabatnya, agar tidak mengoceh terus. "Hust! Jangan banyak bacot, yok pergi," ujar Elisya lalu pergi mendahului Nasya dengan memasang topi di kepalanya. "Ntar ikut gue ke barber shop, ya? Bentar doang."

Nasya berusaha menyeimbangi langkah besar Elisya. "Mau ngapain?"

"Numpang berak!" jawab Elisya dengan asal membuat mata Nasya kembali melotot.

Dengan gerakan refleks Nasya menepuk lengan Elisya. "Heh!"

Elisya memutar bola matanya malas. "Iya mau ngapain lagi kalau bukan potong rambut. Lagian pertanyaan Lo aneh-aneh!"

Nasya memangut-mangut mengerti. Hampir saja ia ingin mengumpati Elisya. "Ya mangkanya kau tuh ngomong. Jangan bikin orang erosi aje!"

"Tapi El, kau kagak sayang gitu? Rambut kau dah panjang kali tuh, hampir sepaha malahan. Kalau rambut kau bagusan dikit, pasti dah direkrut jadi model iklan shampo." Elisya mengorek kupingnya yang terasa gatal, dia bosan sekali mendengarkan penuturan Nasya tentang rambutnya.

Elisya menoleh melihat ke arah Nasya. "Lo lupa gue panjangin rambut karena apa? Kalau kagak demi duit dua jeti, gue sih ogah. Ribet tahu rambut panjang! Ngabisin shampo, ngeringinya lama banget, suka ketindih kalau tidur, dan kalau kena angin suka ketutup muka, bahkan nih ya waktu makan nih rambut juga keikut makan. Riweh deh pokoknya."

Si Tomboi Masuk Pesantren (Ver.2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang