5. Minta Maaf

92 9 1
                                    

Ruang keluarga terasa sunyi hanya suara dari televisi yang mengisi keheningan. Elisya dan Putra duduk bersebelahan dengan kepala menunduk diam, sementara di depan terdapat Lio yang sedang menatap mereka tajam. Sementara dua kakak yang lain sedang membantu Lia menyiapkan makan malam.

15 menit sudah berlalu, tidak ada yang membuka suara terlebih dulu sampai makan malam sudah siap disajikan di meja makan. Elisya memegangi perutnya, aroma masakan bundanya membuatnya lapar. Putra juga demikian, laki-laki itu memegangi perutnya sambil melirik makanan yang berada di meja makan.

Dari momen ini mereka terasa mirip tingkahnya jika lapar, seperti pinang dibelah dua. Lio menghembuskan nafas kasar, lalu beranjak berdiri. Elisya dan Putra juga ikut berdiri, tapi suara Lio menghentikan gerakan mereka.

"Jangan ada yang berdiri, kalau kalian belum menyelesaikan masalah kalian."

Dua anak kembar itu kembali duduk terkulai lemas, mereka saling melirik satu sama lain lalu bergidik geli.

"Gara-gara Lo ya Nyet, gue jadi telat makan." Putra menatap tajam kembarannya.

Elisya menyenggol dengkul Putra tak terima. "Kok gue? Ya Lo lah, lagian gue cuman bercanda."

"Bercanda paan? Enggak lucu candaan Lo, duit gue ilang lima juta gara-gara Lo ya, Nyet!" Putra membalas menyenggol dengkul Elisya penuh dendam.

Dari ruang makan Lio mengawasi mereka berdua, sudah sesuai dugaan masalah kali ini tidak akan cepat selesai karena mereka sama-sama memiliki ego tinggi.

"Duit Lo kan banyak, jangan kek orang susah dong."

Tangan Putra terkepal, rasanya ia ingin sekali memukul gadis disebelahnya ini. Dari kecil anak itu memang suka kurang ajar, hasil suka dimanjain oleh kakak-kakaknya.

"Nih nih, kalau punya otak cuman jadi pajangan. Lo pikir duit segitu sedikit, enteng banget Lo ngomong?! Lo enggak tau kalau orang di luaran sana susah paya buat nyari duit segitu, dan Lo dengan enggak punya otaknya malah ngabisin duit dengan dalih bercanda. Gila sih, kata gue."

Elisya memutar bola mata malas. Dia merasa Putra terlalu berlebihan, lagian kan laki-laki itu suka sekali cari gara-gara dengannya, dan sekalinya dibalas laki-laki itu tidak terima.

"Dasar playvictim. Gue kan cuman ngebales kelakukan lo aja. Lebay banget," cicitnya pelan dengan melipat tangan di depan dada dan memalingkan wajah. Dia enggak mau bertatap muka dengan kembarannya, yang ada nanti dia yang kalah.

Rendi memasukan potongan daging ke dalam mulutnya, sementara matanya melihat cekcok antara adik-adiknya. "Sampai besok keknya enggak ada yang minta maaf, gengsi mereka kan gede."

"Lagian tuh kembar niru siapa sih gengsinya segede itu, padahal gue enggak gengsian," gerutu Lia pelan sambil mengamati anak kembarnya yang lagi cekcok.

Lio mengambil air minumnya. "Padahal gengsi nurun dari dirinya." Ia bergumam pelan lalu meneguk air hingga setengah.

Lia melirik sinis suaminya. Ting! Suara sendok yang beradu dengan piring membuat mereka menghentikan aktivitas masing-masing. "Lo ngomong apa?"

Uhuk! Tiba-tiba daging yang Lio telan nyangkut di tenggorokan. Dia mengambil air minum, lalu meneguknya sampai habis. Mata Lio menatap ragu wajah elok istrinya. Padahal tadi dia sudah ngomong pelan, tapi denger saja istrinya itu.

"Oh e-enggak, sayang. Aku enggak ngomong apa-apa kok."

Mata Lia memicing. "Lo pikir gue kagak denger? Lo bilang gengsi nurun dari gue kan?"

Para anak-anak hanya bisa diam sambil melihat orang tuanya cekcok masalah sepele, bahkan si kembar juga berhenti debat dan melihat ayah mereka yang kesusahan menghadapi ibu mereka.

Lio mengelus tangan Lia yang berada di atas meja dengan senyuman lebar, berharap istrinya itu luluh. "Kamu salah denger sayang, aku enggak ada ngomong gitu,"

Mata Lia mendelik, lalu ia menepis kasar tangan suaminya. Dikira kupingnya tidak dengar suara kecil apa, Lia jadi tersinggung.

"Basi tau enggak! Dah lah, malam ini Lo tidur diluar!" Lia dengan dipenuhi kekesalan meninggalkan meja makan dan berjalan menuju kamar.

Kalau sudah begini, apa yang bisa Lio sesali kecuali mulut lemesnya. Dari dulu mulutnya ini memang suka sekali ngomong blak-blakan, dan istrinya itu dari dulu memang orangnya sensitif. Kombinasi yang sempurna.

"Dasar mulut sialan!" gerutu Lio pelan, setelah itu dia memutuskan untuk menyudahi makan malamnya dan segera menyusul sang istri. Semoga aja istrinya mudah untuk dibujuk malam ini.

Para anak-anak yang melihat tingkah orang tua mereka hanya bisa menggelengkan kepala pelan, tak ada hari tanpa drama orang tua. Walaupun orang tuanya itu sering adu mulut, tapi mereka tahu kok bahwa orang tuanya saling mencintai, hanya saja perasaan cinta disalurkan lewat adu mulut.

Rizky mengalihkan pandangan menatap kedua adik kembarnya. Sesuai prediksi Rendi, si kembar tidak bakal saling maaf jika bukan karena dipaksa sebab gengsi mereka gede.

"Dek Putri, lebih baik minta maaf cepat sebelum makanan kesukaanmu dihabiskan oleh Rendi."

Mendengar penuturan Abang tertua Rendi tersenyum cerah sambil menggoyangkan ayam goreng kremes, dia berniat menggoda adik bungsunya. "Kalau enggak saling maafan, gue habisin nih ayam goreng kremes kesukaan Lo."

Elisya menatap Rizky dengan tatapan memelas, rasanya tidak Sudi meminta maaf sama Putra. Rizky memang lebih memanjakannya ketimbang abang-abang yang lain, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa Rizky bisa bertindak lebih tegas tanpa membedakan adik-adiknya. Karena itu Elisya rada takut kalau Rizky sudah dalam mode seperti ini.

Dengan berat hati Elisya menyodorkan tangannya, sedangkan tatapan matanya seperti ingin membunuh Putra. "Maaf!"

Putra mengalihkan pandangan, dia tidak membalas jabatan tangan. "Mulut minta maaf, tapi tatapan kek mau bunuh gue."

"CK! Ribet banget, mau maafin enggak?"

Mata Putra memicing menatap mata Elisya. "Kalau enggak mau?"

"Yaudah kalau enggak mau, enggak peduli juga!"

"Elisya Putri, di sini kamu yang salah, kamu harus meminta maaf dengan tulus."

Melihat ekspresi dingin dari Rizky, mental Elisya kembali menciut. Rizky yang berubah jadi dingin, jauh lebih menyeramkan daripada ayah mereka. Entah karena apa bisa seperti itu, padahal Rizky yang paling murah senyum dan ramah.

Elisya menunduk, dia kembali menyodorkan tangannya. "Maaf, gue ngaku salah, tapi gue enggak bisa balikin duit Lo lima juta itu. Tapi gue janji enggak bakal bikin perekonomian Lo anjlok, kek tadi."

Rasanya Putra ingin sekali menceburkan saudari kembarnya ke kolam piranha, enteng banget minta maaf sedangkan dia kehilangan uang sebanyak itu dalam sekejap. Tetapi .aku bagaimana lagi? Dia harus membalas jabatan tangan Elisya walau sebenarnya ia enggan.

"Awas aja kalau Lo ulangi tingkah bejat Lo!" Putra beranjak berdiri meninggalkan Elisya sendiri, dia tidak peduli yang penting perutnya harus segera terisi.

Elisya memanyunkan bibirnya. "Bejat, emang gue ngapain sampai tingkah gue bejat. Kasar banget,"

Tapi Elisya juga tidak menggubris perkataan tidak ada adab Putra, dia menyusul Putra ke meja makan. Menu ayam goreng kremes adalah favoritnya, apalagi dengan sambal terasi dan lalapan, membayangkannya saja sudah bikin ngiler.

Mata berbinar Elisya yang membayangkan makan ayam goreng kremes itu meredup ketika matanya melihat di piring ayam goreng kremes tinggal 1. Putra yang menyadari segera mengambil ayam goreng kremes itu, dan langsung menggigitnya dihadapan Elisya.

"Ayam goreng kremes gue!" Elisya berteriak kesal, lalu merebut ayam goreng itu dari tangan Putra.

Tentu saja Putra tidak membiarkan ayam goreng kremes yang enak ini berada ditangan Elisya. Putra menahan Ayam goreng itu dan menjilati seluruh bagian ayam goreng, agar Elisya mengurungkan niatnya untuk merebut.

"PUTRA, JOROK BANGET!"

TBC

Si Tomboi Masuk Pesantren (Ver.2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang