Satu

271 30 6
                                    

Hari itu Erwin berjalan kaki menyusuri bagian-bagian kota yang sangat dikenalnya. Sudah tiga tahun sejak ditinggalkannya tempat ini pasca perang berakhir, dan tidak banyak hal yang berubah. Memang sedari dulu saat dirinya masih selalu berada di Paradis, kota ini tidak pernah banyak disentuh oleh pemerintah, seolah mereka sengaja untuk meninggalkan bayang-bayang sejarah Paradis di kota kecil yang seperti negeri dongeng ini.

Berbeda dengan musim terakhir kali, sekarang ini cuaca terasa bersahabat. Matahari masih bersinar sampai sore walau tak secerah biasanya. Meski begitu, pepohonan sudah mulai berubah warna. Daun-daun mulai berguguran ke tanah, menghampar bak karpet bagi para pejalan kaki. Angin pun bertiup lebih kencang, membahagiakan anak-anak penggemar layang-layang.

"Cuacanya menyenangkan sekali, kan?" Seorang perempuan berbalut mantel dan syal rajut panjang melambai kepadanya di kejauhan.

"Hanji." Panggil Erwin, menghampiri perempuan yang datang menjemputnya itu.

"Apa kabarmu, Erwin?" Tanya Hanji langsung merangkulnya. "Levi tak bisa ikut menjemput karena sudah ada janji dengan dokternya."

"Kabarku baik." Balas Erwin, masih secanggung dulu. "Dia masih memakai kursi roda?"

"Ya. Tapi dia mulai memakai tongkat, kadang."

Mereka pun mulai berjalan menuju kereta api yang kemudian melewati lapangan berumput, yang keadannya masih sama seperti saat perang perebutan kembali Shiganshina 8 tahun yang lalu. Tempat dirinya nyaris-- dan semestinya-- mati dulu.

"Erwin, kau baik-baik saja?" Tanya Hanji dengan nada cemas dari sisi sebrang tempat duduknya.

Erwin menatap Hanji. Sorot matanya dingin. "Ya."

"Kau yakin? Tiba-tiba kau kelihatan pucat, Erwin. Apa ada sesuatu--"

Kalimat Hanji terputus saat melihat wajah Erwin lebih suram daripada sebelumnya. "Bagian kalimatku yang mana yang tidak kau pahami, Hanji?"

Ia mendesiskan kalimat terakhir itu persis di wajah Hanji, lalu menyambar kopernya yang berada di kabin, kemudian melangkah keluar tanpa berpamitan.

Di belakang punggungnya, ia masih mendengar suara Hanji yang terus bertanya-tanya, namun wanita itu tak mengejarnya.

***

Sehelai daun maple melayang ke bahu seorang gadis bernama Esther, lalu jatuh ke jalan. Trotoar yang dipijaknya tertutup oleh hamparan daun-daun berwarna kecoklatan yang gugur, seperti karpet yang digelar untuk menuntunnya pulang.

Masih ada sisa terang di langit sore, dan angin membawa sedikit kabut yang tidak Esther hiraukan. Kata-kata dokter sebelum ia meninggalkan klinik masih terngiang.

"Untuk jenis akut, untuk harapan hidup penderita biasanya kurang dari 5 tahun. Tetapi penyakit ini masih bisa disembuhkan apabila dilakukan pengobatan secara intensif."

Esther menghembuskan napas panjang, berusaha menguatkan dirinya dan memaksa senyum sementara kakinya yang gemetar terus melangkah melewati bangunan-bangunan familiar menuju rumahnya.

Udara mulai terlalu dingin sehingga Esther merapatkan mantelnya dan membetulkan lilitan syal di lehernya. Saat itulah, dia melihat sosok lelaki sedang duduk di tembok pembatas jembatan. Tubuhnya menghadap ke arah sungai, dengan kaki tergantung di atas air.

Karena jembatan sepi, hanya ada orang itu dan dirinya, Esther pun mempercepat langkah. Namun angin kencang di atas jembatan membuat tubuhnya sedikit terhuyung dan memaksanya untuk berhenti sejenak.

Ketika mengerjap dan membuka mata, Esther terkejut karena tangannya memegang bahu pria itu secara tak sadar, mungkin tergerak secara naluriah karena hati kecilnya khawatir lelaki itu terdorong oleh tiupan angin.

Better Half [Erwin x OC]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang