Tiga

79 12 3
                                    

Erwin dibangunkan oleh sesuatu yang harum. Aroma yang nyaris tak pernah ia rasakan saat bangun di pagi hari. Masakan rumahan.

Setelah beberapa saat, Erwin sadar kalau ia sedang tak berada di rumahnya. Lampu gantung, sofa empuk, selimut berbulu tebal, dan masih banyak hal-hal yang tak dimilikinya di rumah, ada di sekelilingnya.

"Selamat pagi. Kuharap kau suka telur setengah matang." Sapa sebuah suara melengking yang Erwin harap takkan ia dengar lagi sejak semalam. Saat melihat Erwin menerawang bingung, gadis itu terkekeh. "Kau jatuh pingsan semalam setelah mengantarku, jadi kau kubawa masuk saja. Badanmu berat sekali, aku tak sanggup memapah sampai ke rumahmu."

Tanpa menjawab sapaan gadis itu, Erwin langsung bangkit dan berjalan menuju pintu masuk, melewati sang tuan rumah yang sudah repot-repot membuatkannya sarapan.

"Terima kasih bantuannya, tapi aku harus segera pergi--"

"Kau harus makan terlebih dahulu. Pastilah dirimu jatuh pingsan karena tak makan dengan benar."

"Aku ada urusan penting."

Esther menarik mantel pria itu, membuatnya terhuyung mundur dan kembali masuk. "Kumohon."

"Bisa tidak urusi saja hidupmu sendiri? Kau pikir ... " Erwin terkesiap melihat darah berlinang dari lubang hidung gadis itu. Sebelum sempat berbicara lagi, Esther jatuh tergeletak di atas lantai.

***

Hal terakhir yang diingat Esther sebelum tak sadarkan diri adalah Erwin yang memarahinya. Lelaki itu kesal karena Esther selalu ingin mencampurinya sejak kemarin, padahal mereka baru saja saling kenal.

Waktu membuka mata kembali, Esther sudah terbaring di atas tempat tidur, di kamar yang bersih dan asing. Tubuhnya terasa lemas tak berdaya. Ia menolehkan kepalanya untuk melihat-lihat sekitar, tetapi sakit kepala kembali menyerangnya.

Setelah pandangannya kembali fokus, Esther melihat Margaret dan Erwin berdiri di samping tempat tidurnya, memperhatikannya dengan cemas.

"Esther sayangku," Margaret memeluknya. "Syukurlah kau sudah bangun. Aku sangat cemas melihatmu pingsan."

"Aku baik-baik saja, Margaret. Mungkin hanya sedikit lelah." Ia tersenyun lembut dan memalingkan tatapannya pada lelaki yang berdiri di sebelah wanita itu. "Bukankah kau harus segera pergi?"

"Tidak." Erwin menggeleng.

"Syukurlah." Esther merasa sangat lega. "Aku takut kejadian tadi pagi memaksamu untuk membatalkan apa pun rencanamu hari ini."

"Sama sekali tidak."

"Maaf merepotkan."

"Esther, di situasi seperti ini semestinya kau lebih memikirkan dirimu." Tegur Margaret. "Kau tahu dirimu mengidap penyakit berbahaya dan masih saja mencemaskan orang lain," Suara wanita paruh baya itu bergetar, tapi ia berjuang agar tak menangis. "Dan kau menutupinya dariku."

"Aku..." Esther menghela napas panjang penuh rasa bersalah. "Aku tak mau membuatmu cemas, apalagi kerepotan, Margaret."

"Di situasi seperti itu kau harus mencari seseorang untuk direpotkan, nak. Bagaimana kalau itu terjadi lagi dan tak ada yang menolongmu?" Tangisan Margaret terpecah. "Bagaimana kalau itu terjadi dan aku takkan melihatmu lagi?"

"Maafkan aku, Margaret."

"Repotkanlah aku, siapapun. Aku sudah bersamamu seumur hidupmu, rasanya tak adil karena hanya aku yang selalu mengandalkanmu." Margaret mengecup pipi gadis yang sudah seperti cucunya sendiri itu, menepuk dada Erwin sebelum akhirnya berjalan ke pintu masuk. "Sekarang karena sudah baik-baik saja, aku akan membiarkan kalian berdua dulu. Kalian tampaknya perlu membahas sesuatu."

Better Half [Erwin x OC]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang