Lima

28 3 0
                                    

Ia pulang bersama Erwin setelah menjenguk Margaret di rumah sakit. Ada ketenangan dalam dirinya, lebih mudah bagi Esther untuk meninggalkan Margaret karena Joseph sekarang ada di sana untuk menjaga wanita itu. Namun sepanjang perjalanan, Esther tampak semakin pucat, wajahnya nyaris kehilangan warna, dan setiap langkahnya terasa berat baginya. Ia berjalan terhuyung, seakan setiap inci tubuhnya menolak untuk melangkah lebih jauh. Erwin memperhatikan dengan khawatir, menyadari betapa mengkhawatirkan kondisinya itu.

"Ayo berhenti sebentar." Erwin menghentikan langkahnya saat melihat sebuah bangku di pinggir jalan.

"Kurasa kita harus pulang," Ketus gadis itu, gemetar. "Kita sungguh harus pulang sekarang juga."

"Kau perlu istirahat."

"Kalau lebih lama lagi, agaknya bisa tumbang badanku." Esther mendesah lemas, matanya terpejam menahan sensasi mual dari kepalanya yang mulai terasa berputar.

"Justru karena badanmu bisa tumbang kapan pun, kau butuh istirahat sejenak." Bantah Erwin dengan tegas. Dari nada bicaranya, lelaki itu tidak akan menolerir penolakan lagi. Ia berjalan mendekat dan menarik tangan Esther dengan lembut dari trotoar, menuntunnya ke bangku di bawah sorot lampu jalan itu.

Lampu di atas menerangi mereka dengan cahaya pucat, sementara kegelapan malam mengelilingi seperti tirai tebal. Gemuruh langit yang mendung terdengar jauh, seakan memberi peringatan halus agar mereka segera pulang sebelum badai datang. Namun, di antara keheningan yang mencekam, keduanya masih berdiam di sana.

Esther mengangguk berterima kasih dan bersandar ke bangku itu selama beberapa waktu, sementara Erwin di hadapannya berdiri sambil membuka mantel kulitnya untuk ia kemudian berikan kepada gadis itu untuk melindunginya dari udara malam yang menusuk.

"Jangan," Esther menolak saat merasakan kehangatan di pundaknya. "Pakai mantel itu kembali, tolong."

"Kau membutuhkannya." Erwin berlutut untuk mengimbangi wajah mereka. "Pakai. Aku akan memapahmu."

Perlahan Esther membuka matanya, dan ia bisa melihat wajah pria itu dengan amat jelas, untuk pertama kali. Tak pernah mereka sedekat ini sebelumnya, setidaknya dalam keadaan sama-sama sadar.

Erwin menepuk pundaknya. "Aku akan mengangkatmu pulang, dan kau tak boleh membantah sampai kita tiba di rumahmu."

Tanpa menunggu, Erwin segera memapah badan Esther di punggungnya, merasakan tubuhnya lemah dan ringan. Lelaki itu tak menghiraukan rasa dingin yang menusuk hingga ke tulangnya, berusaha menjaga langkah supaya gadis itu tetap nyaman di sana, meski sekujur badan mulai terasa kaku.

***

Mereka telah tiba di depan rumah gadis itu. Napas Erwin terengah, tubuhnya gemetar karena udara semakin dingin. Ketika ia hendak menurunkan Esther dari punggungnya, gadis itu tak bergerak-- matanya tertutup rapat dan wajahnya kian pucat.

Kepanikan menjalari Erwin sewaktu menyadari bahwa Esther telah kehilangan kesadarannya. Dengan cepat, Erwin segera membongkar isi tas yang dibawa gadis itu, berusaha menemukan kunci.

Erwin kemudian membuka pintu rumah Esther dan langsung bergegas ke dalam, memapahnya. Tanpa berpikir panjang, lelaki itu segera menyalakan perapian, membiarkan api mulai membakar kayu dan menghangatkan seisi rumah nan terasa beku itu.

Erwin menarik sofa ke hadapan perapian, meletakkan badan Esther dengan penuh hati-hati di atasnya, memastikan gadis itu tetap hangat. Setelah Esther terbaring nyaman, Erwin bergegas ke kamar untuk mengambil selimut dari ranjang Esther, lalu membiarkan itu membalut seluruh tubuhnya.

Selanjutnya dapur. Erwin membuka lemari dan mencari teh. Dengan cepat, ia menyeduh teh panas, sambil mencari sesuatu yang lembut dan hangat yang bisa dimakan Esther nanti, berharap akan bisa memulihkan sedikit kekuatannya.

Better Half [Erwin x OC]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang