06 | Malam Keakraban

87 8 14
                                    

Gelap malam.

Tergantikan oleh kilauan cahaya kelap-kelip sirine ambulance.

Levita kecil masih sadarkan diri, dia menangis dengan keras. Sedangkan kedua orang tuanya sudah tidak sadarkan diri, bahkan kondisi ayahnya terluka cukup parah di bagian kepala. Mereka segera dilarikan kerumah sakit, termasuk dua anak laki-laki yang mengenakan jaket yang sangat mirip.

Dua anak laki-laki dengan jaket yang sama masuk beriringan ke IGD, Levita yang berbaring di samping salah satunya memperhatikan dengan pandangan yang semakin melemah setelah itu dia tidak sadarkan diri.

Bogor, Indonesia. 2008
▪️▪️▪️

Setelah kegiatan acting selesai, Sigit menghampiriku dengan dua botol air mineral yang dilemparkan dengan bebas tepat di pangkuanku.

Aku mendelik nya kesal, "Dasar gak sopan," ucapku dengan nada kesal.

Sambil tersenyum Sigit malah mengejek aku yang terlihat murung di acara yang superb ini.

Beberapa anak lewat di hadapan kami yang sedang duduk dibawah pohon yang cukup rindang untuk berlindung dari sengatan sinar matahari yang terik. Mereka terlihat masih melanjutkan acara kejutan yang sangat meriah dan mubajir itu.

"Orang kaya selalu menyedihkan dalam hal kebahagiaan," aku bergumam tanpa mengalihkan pandanganku dari mereka.

"Gua selalu bahagia!" ucap Sigit setelah meneguk air mineral ditangannya.

Aku melupakan fakta bahwa orang yang duduk di sampingku adalah seorang pewaris perusahan tekstil terbesar di Surabaya.

"Gua percaya itu special buat Sigit,  mungkin karena lu punya kelainan," jawabku dengan ekspresi santai karena aku merasa tidak pernah melihatnya marah seperti ada kelainan pada dirinya.

"Enak aja gua normal Levita!" dengan ekspresi kesal. "By the way, Ta apa lu gak ada keyakinan bahwa suatu saat dengan kerja keras yang elu lakuin sekarang, lu bakal jadi lebih baik dari mereka yang selalu elu sebut orang kaya ?" tanya Sigit dengan ekspresi serius.

Suasana hening sejenak, hanya angin lembut yang terasa ditengah teriknya siang ini.

"Kamu nanya?" jawabku pada Sigit, mendengar hal itu, Sigit terlihat sangat ingin menjitak ku bertubi-tubi.

"Wahh sejak kapan Levita yang sangat hardworker ini bisa bercanda," jawab Sigit sambil tertawa lepas.

"Sejak gua di kelilingi orang-orang absurd kaya lu sama Rinda," balasku sedikit serius. Mendengar hal itu Sigit tertawa terbahak-bahak.

"Gua yakin hidup ini seperti roda yang berputar, kadang di atas kadang di bawah tapi entahlah perputaran yang seperti apa yang akan gua lalui kedepannya. Gua hanya bisa berupaya semoga ada titik, dimana gua bisa hidup sesuai harapan gua." Perkataanku menghentikan tawa Sigit yang sejak tadi menganggu telingaku.

Keadaan hening untuk beberapa detik, Sigit mencoba mencerna apa yang aku ungkapkan.

"Jujur aja gua yakin banget elu bisa jadi orang sukses. Percaya sama gua Ta!" ucap Sigit dengan wajah yang lebih serius dari orang yang akan pergi ke bulan.

Aku hanya menatap wajahnya beberapa detik dan berkata "Musyrik banget percaya sama elo tentang masa depan gua!"

"Percayalah Ta! karena elu sering terzalimi dan yang gua tau doa orang terzalimi bisanya di ijabah" ucap Sigit santai.

ARAH PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang