Tujuh

675 52 1
                                    

Tidak ada yang lebih mengkhawatirkan selain mendengar isak tangis Jeonghan dari seberang telpon.

Saat itu Seungcheol tengah menandatangani belasan surat kontrak kerja antara perusahaan-perusahaan lain dengan perusahaannya sendiri ketika ponselnya berdering nyaring.

Biasanya ia akan mengabaikan panggilan yang masuk ke dalam ponselnya ketika sedang sibuk bekerja. Tapi saat kedua irisnya melirik ke arah layar ponsel yang menyala diatas meja, tangannya bergerak cepat diluar logikanya sendiri.

Hal yang pertama Seungcheol dengar adalah isak tangis Jeonghan dan kalimatnya yang terdengar putus-putus. Yang bisa tertangkap oleh Seungcheol hanya taman kota. Maka bak kesetanan ia menyambar kunci mobil yang diletakkan di dalam laci meja, mengabaikan jas yang masih tersampir di punggung kursi dan berlari keluar dari ruangannya menuruni anak tangga menuju mobilnya terparkir.

Seungcheol tiba dengan secepat kilat di taman kota. Ia mendapati Jeonghan tengah duduk diatas rerumputan sambil memeluk kedua lututnya sendiri, terlindungi oleh pohon-pohon dan semak-semak hingga tidak ada yang bisa melihatnya jika tidak mendekat. Ia bahkan masih mengenakan seragam pramugarinya.

Wanita itu hanya mengangkat kepalanya sebentar saat Seungcheol berjalan ke arahnya dengan langkah seribu. Tidak ada senyuman ramah atau pelototan kesal seperti yang biasa wanita itu berikan jika bertemu dengan Seungcheol. Yang ada hanya sorot mata penuh luka ketika memandang ke dalam dua iris milik Seungcheol.

"Ada apa?"  Seungcheol ikut mendudukkan dirinya diatas rerumputan, tidak mempedulikan celananya yang kotor terkena rumput yang basah.

Jeonghan tetap diam. Tubuhnya bergoyang ke depan dan belakang seperti seorang anak kecil yang kehilangan balon pemberian sang ibu. Ia terlihat sangat rapuh saat ini.

"Hannie..."  Dengan lembut Seungcheol meraih bahu wanita tersebut, membawanya ke dalam pelukan. "Kau boleh menangis, tapi kumohon jangan seperti ini."

Tidak ada respon yang diberikan oleh Jeonghan selain terdengar isakan tangisnya. Ia masih memilih untuk diam dan menutup mulutnya rapat-rapat. Kini bukan hanya tubuhnya yang bergoyang ke depan dan belakang, namun tubuh Seungcheol juga ikut bergoyang.

"Cheollie..."  Panggil Jeonghan dengan suara parau. Setelah sekian lama, Jeonghan akhirnya memanggil pria itu dengan panggilan yang dulu ia berikan untuknya.

"Hm?"  Balas Seungcheol penuh kelembutan.

"Ini tentang Mingyu dan Nayeon..."

Jeonghan bisa merasakan Seungcheol membuat suara aneh dari dalam kerongkongannya namun ia tidak ingin bertanya. "Nayeon?"  Pria itu mengulang nama yang baru saja disebutkan oleh Jeonghan, seolah meyakinkan diri bahwa apa yang didengarnya tidak salah.

"Ya, Nayeon. Ada yang harus kau tahu tentang Mimgyu juga Nayeon. Tentang mereka berdua..."











Sore itu Choi Anna yang memang mengetahui dan menghapal jadwal terbang Jeonghan memutuskan untuk berkunjung ke rumah wanita bermarga Yoon yang sangat ia sayangi seperti putri kandungnya sendiri.

Jeonghan mempersilahkan Anna untuk duduk diatas kursi santai yang baru saja dibelinya bersama dengan sang tunangan, Mingyu.

"Ada perlu apa Bibi datang kemari? Tidak biasanya..."  Anna tersenyum dan mengucapkan terima kasih saat Jeonghaj menyerahkan secangkir teh hijau hangat kesukaanya.

Anna menyesap tehnya beberapa kali terlebih dahulu sebelum mengutarakan maksud tujuannya datang berkunjung.

"Ini tentang Seungcheol..."

Mendengar nama Seungcheol disebut, Jeonghan mengerutkan kening dan bertanya dengan khawatir. "Ada apa dengan Cheol? Bibi, apa dia baik-baik saja?"

Anna memberinya senyuman lembut keibuan dan meraih satu tangan Jeonghan, mengelus sayang tangan putih miliknya. "Dia baik-baik saja. Tapi ada hal yang membuatku khawatir. Tentang tunangannya, Im Nayeon. Kau tahu, kan?!"

Jeonghan mengangguk. "Ada apa dengan Nayeon, Bi?"

Anna tampak memijat pelipisnya sendiri. Terdapat gurat kelelahan di wajahnya yang anggun. Kedua irisnya yang serupa dengan Seungcheol menatap Jeonghan dalam-dalam, seolah meminta pertolongan.

Anna bercerita tentang segala hal yang selama ini ia tutup rapat-rapat dari banyak orang. Tentang kelakuan Nayeon, tentang kebohongan wanita bermarga Im itu.

Selama ini Nayeon selalu memindahkan lima belas persen dari hasil keuntungan yang diperoleh keluarga Choi ke dalam rekeningnya sendiri. Ia juga masih akan meminta Seungcheol untuk membelikan berbagai macam barang yang diinginkan, meminta Seungcheol membalik nama atas kepemilikan rumah berlantai dua milik Seungcheol serta mobil mewah yang baru dibeli oleh pria itu beberapa bulan yang lalu.

Seungcheol terlalu cinta pada Nayeon hingga menutup mata atas perbuatannya. Semua hal dilakukan demi menyenangkan hati Nayeon meskipun, semua orang---terkecuali Seungcheol, tentu saja---bisa melihat dengan jelas bahwa Nayeon tidak pernah mencintai Seungcheol sedikitpun.

Malam itu Anna meminta Jeonghan untuk menemaninya berkunjung ke kediaman Nayeon. Sebuah rumah mewah yang wanita itu beli menggunakan uang Choi Seungcheol.

Dengan anggun dan dagu yang sengaja diangkat, Anna duduk di kursi empuk dan mahal yang ada di ruang tamu Nayeon sementara Jeonghan hanya bisa duduk diam di sebelahnya sambil sesekali melirik bergantian dari Anna ke Nayeon.

"Aku benar-benar memintamu untuk menjauhi Cheol, Nona Im."  Kerutan muncul di kening Nayeon yang sangat mulus. Tidak ada lagi senyuman ramah di wajahnya digantikan dengan kedua bibir yang saling terkatup rapat.

"Aku mengetahui semua yang kau lakukan pada Seungcheol."  Senyuman sinis dilayangkan oleh Anna sementara wajah Nayeon terlihat semakin pucat pasi.  "Jangan mengira kalau aku tidak mengetahui semuanya."  Tambah Anna.

"Jauhi Cheol, putuskan hubungan kalian dan kembalikan atau buang cincin pertunangan yang Cheol berikan untukmu."

Nayeon tampak memberanikan diri. Terlihat dari sudut bibirnya yang tertarik keatas seolah melawan, menantang Anna. "Bagaimana kalau aku tidak mau?"

Namun Nayeon lupa dengan siapa ia sedang berhadapan saat ini. Seolah ucapan Nayeon hanya angin lalu, Anna tampak mempertahankan senyuman manis namun penuh kesinisan padanya.

"Kau lupa kau berhadapan dengan siapa, Nona Im. Kau melupakan marga yang tersemat di belakang namaku dan juga nama Seungcheol. Aku bisa membuatmu dan keluargamu lebih dari sekedar hancur."

Jeonghan bersumpah, bahwa itu adalah pertama kalinya ia melihat dan menyaksikan sendiri seorang Choi Anna mengancam orang lain. Tanpa perlu melanjutkan kalimatnya Anna bangkit dari kursi yang ia duduki, menarik Jeonghan, mengajaknya pergi dari rumah Nayeon.

FALLIN FLOWER | JEONGCHEOL (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang