Lagi-lagi Marvel terbangun di tengah tidurnya.
Dalam mimpinya, yang ia lihat hanya penuh darah dan sosok lelaki itu yang menatapnya sendu.
Telinganya berdengung penuh dengan tangis dan teriakan.Nampak sakit dan menyedihkan.
Marvel benci rasa ini."Ya Tuhan!"
Marvel mengerang pelan, frustasi dengan hal-hal aneh yang ia alami akhir-akhir ini.
Semenjak kepindahannya ke rumah tua milik kakeknya, ia tak pernah tidur dengan tenang.
Awalnya semua tampak tenang dan normal sebelum malam dimana lukisan lelaki itu ia temukan. Lelaki dengan senyum lebarnya, namun entah mengapa Marvel dapat merasakan pedih dalam tatapannya.
Lagi-lagi ia merasa deja vu.
Ia beranikan diri untuk menuju dapur kembali.
Namun, langkahnya seakan berhenti di pertengahan dapur dengan ruang tamu. Matanya menangkap gerak lelaki itu yang tampak tenang dengan kegiatannya.
"Halo, lo siapa?"
Seakan tak mendengarnya, lelaki itu tetap berkutat dibalik island. Marvel terdiam, langkahnya perlaham mendekat namun ia tersadar bahwa ia kembali lagi.
Ini bukan dapur rumahnya, kendati seluruh perabot disana nampak sama dengan rumahnya sekarang.
"Halo?"Lagi, tak ada jawaban yang Marvel terima. Lantas, mengapa ia bisa kemari?
'Kakak!'
Marvel menoleh mendengar pekikan suara itu. Ia melihat lelaki muda yang waktu itu penuh darah di kepalanya.
'Kak! Hari ini ada pasar malam di desa sebelah! Aku ingin kesana! Ayo, ayo!'
Lelaki itu mengusap lembut surai yang lebih muda, 'Kau ingin pergi kesana, Josh?'
Lelaki yang disapa Josh itu mengangguk berkali-kali, menggoyangkan lengan lelaki muda itu. 'Iya, iya! Berapa lama kita tidak bisa keluar dari rumah, kak? Malam ini kita pergi, ya?'
Derai tawa itu terdengar renyah di telinga Marvel, bahkan senyum lelaki itu memaku netranya. Indah, lelaki itu terlalu indah.
'Baik, malam nanti kita akan bermain petak-umpet! Siap?'
Josh mengangguk kembali, 'Aku siap!'
Lelaki itu tertawa, kemudian menaruh telunjuk di depan bibirnya, 'Sstt, ini rahasia kita berdua, oke?'
Atau mungkin bertiga, bisakan Marvel bergabung?
***
Sejak sore tadi, Marvel bergegas kembali ke rumahnya saat pekerjaannya telah selesai.
Tanpa sadar, ia menanti waktunya untuk dapat kembali kesana.
Ia ingin menatap senyum itu, senyum milik lelaki yang belum ia ketahui namanya.Lelaki yang belakangan ini selalu muncul di rumahnya dan mimpinya.
Setelah membersihkan diri, Marvel telah mengambil posisi di atas ranjangnya kendati ia tahu persis masih terlalu sore untuk tidur.
'Maaf, tolong pukul aku saja!'
Tidak, bukan ini yang Marvel inginkan.
'Maafkan aku, tolong hukum aku saja! Jangan sentuh Josh!'
'Kau memang pembawa sial! Persis dengan ibumu! Pergi kau!' Pria itu terus saja memukulinya dengan rotan panjang itu. Pukulan keras nan bertubi-tubi, tak perduli tubuh ringkih lelaki itu telah meringkuk penuh luka.
'Pergi! Ikut saja bersama mamamu!'
'Jangan ayah, jangan pukul Kak Joan lagi! Josh yang salah, jangan sakiti Kak Joan!'
Nama yang indah, seindah senyum lelaki itu.
'Pergi, Josh,' lirih Joan mengucap sendu dengan senyum masih terpampang jelas untuk Josh. Matanya tersirat pesan seakan ia akan baik-baik saja.
Josh menggeleng ribut, ia hanya ingin bermain dengan Joan. Mengapa sesulit ini?
'Ayah, ampun ayah! Tolong berhenti, ayah!'
Marvel tak tahan lagi, keinginannya untuk melindungi Joan cukup besar membawa langkahnya mendekati mereka.
Ia berusaha menghalangi tubuh Joan yang meringkuk kali ini, namun gagal. Semua terasa nyata namun semu secara bersamaan.
Ia tak dapat menghentikan ayunan rotan ke tubuh Joan, bahkan seolah raganya tak ada disana. Ditatapnya Joan yang semankin meringkuk dalam dibawahnya, tak terhitung lagi luka terbuka di tubuhnya.
Marvel mendengus kesal, terlebih oleh kelakuan pria tua tak beradab itu.
Lagi, ia coba lindungi tubuh Joan dari ayunan rotan itu.
Satu kali, dua kali, tiga kali bahkan untuk keempat kalinya ia masih gagal."Hei — hei, stay with me!" Marvel berusaha untuk menyentuh Joan di bawahnya yang mulai terpejam, namun tetap tak bisa.
Bahkan, ia bisa menatap Joan diantara tubuhnya.
Apakah ia yang tak nyata?"Joan! Open your eyes, Joan!" Marvel masih tak dapat menyentuhnya, tongkat rotan masih terus berayun ke tubuh Joan.
Tanpa sadar, tangisnya tak tertahankan. Marvel ketakutan kala kedua mata Joan tertutup dengan napas tersengal. "No no, bangun!"
"Joan!" Teriaknya tak tertahan dan kemudian yang ia rasakan adalah panas yang menggulir di punggungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Life
FantasySemenjak kepindahannya ke rumah lama milik kakeknya, Marvel mendapati dunianya tak lagi sama. Terkadang terlalu nyata untuk semu, namun semu itu tampak nyata. Terlebih bagaimana ia bertemu pemilik senyum paling indah yang pernah ia jumpai, semua ter...