'Josh!'
Marvel berlari bertelanjang kaki mengikuti setiap langkah Joan yang tak menentu kendati benaknya menyimpan tanya yang ia tahu tak dapat terucap.
'Josh! Dimana kamu?'
Marvel memekik pelan, menyadari darah mulai muncul dari kaki Joan.
Lelaki itu bahkan menyibak dan berlarian di atas semak belukar, tak perduli dengan apa yang ia kenakan.
'Josh!'
Napasnya beradu, tak kalah kencang dengan lelaki itu.
Sebenarnya, kemana kamu Josh?Namun, kemudian ia tahu lelaki itu memekik tertahan menutup mulut dengan kedua tangan. Yang terdengar selanjutnya adalah teriakan Joan yang menyedihkan.
'JOSH!'
Langkah patah-patah diikuti getaran bahu Joan membawa tanya yang lebih besar.
Marvel berjalan melalui, namun tubuhnya ikut limbung menyaksikan pemandangan paling mengerikan yang pernah ia lihat.
Ia tahu jelas tubuh siapa yang terkapar di tanah dengan darah menggenang itu. Sosok yang sedari tadi ditunggu kepulangannya, tubuh yang sedari tadi ia berusaha temu sosoknya.
Disana, Josh terkapar tak bernyawa dengan darah menggenang disisinya. Kepalan tangan lelaki itu menggenggam erat liontin kalung yang Marvel tahu Joan hadiahkan kepada si muda.
Pekikan dan tangis terdengar menyesakkan, Joan telah limbung disebelah Marvel tak percaya dengan apa yang ia lihat.
'Josh! Ya Tuhan, Josh!'
Marvel benci perasaan ini, perasaan tak berdaya dan keinginannya untuk memeluk Joan begitu tinggi.
Ia mendekat, berusaha merengkuh Joan kendati ia tahu semua tak akan berhasil. Setidaknya, biarkan dia mencobanya.
Kemudian yang terdengar hanya pekik pedih Joan dan langkah kaki yang berbondong mendekat. Sedetiknya, ia semua gelap. Dadanya terlalu sesak.
***
"Sumpah, gue nggak bisa tinggalin Marvel disini sendiri!"
"Diam, suara lo mengganggu dia."
Benar saja, berisik itu membuatnya sadar dari tidurnya.
Ia kembali. Ia kembali ke rumahnya.
"Bangun?"
Hendery mendengus dengan pertanyaan retoris yang Devano ajukan,
"Ya lo lihat aja, matanya udah melek tuh!"Devano menatap tajam Hendery, segera membantu Marvel untuk bangun dan bersandar. "Baik?"
Tidak, tubuhnya sangat sakit. Seluruhnya, terutama hatinya.
Ia bahkan masih dapat merasakan pedih dan kesedihan Joan dengan sangat jelas. Membuatnya memukul dadanya, meredakan sesak yang menjalar.
"Wah, gue panggil dokter ya?!" Hendery berdiri dari kursinya, meraih ponsel untuk melakukan panggilan cepat.
Devano berusaha menghentikan kegiatan Marvel, meredakan pukulan yang Marvel hadiahi untuk dirinya sendiri.
"Cukup, Mar. Cukup."
Marvel masih memukul dadanya keras, sungguh ini tak ada apa-apanya dibanding rasa sesak yang ia rasa.
"Cukup, Marvel!"
Devano menarik paksa kedua tangan Marvel, mengunci gerak lelaki itu.
Devano tahu Marvel bukanlah sosok yang akan melakukan hal seperti itu, maka yang ia lakukan adalah menenangkan Marvel dahulu."Lo kenapa, Mar?"
"Kalau gue bilang, lo akan percaya?"
Karena sejujurnya, hingga saat ini Marvel juga belum percaya.
Ia belum percaya bahwa ia disana, bahwa ada Joan dan Josh disana, bahwa kini Joan sendiri, bahwa ia tak bisa lagi melihat Joan dan Josh tertawa.
Semuanya terasa nyata, namun Marvel harap itu hanya semu belaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Life
FantasySemenjak kepindahannya ke rumah lama milik kakeknya, Marvel mendapati dunianya tak lagi sama. Terkadang terlalu nyata untuk semu, namun semu itu tampak nyata. Terlebih bagaimana ia bertemu pemilik senyum paling indah yang pernah ia jumpai, semua ter...