Aiko
Mama pernah bilang ke gue, "Jangan pernah takut buat hidup.". Dan dari kalimat itu pula gue hidup. Tapi, ada beberapa waktu ketika gue lupa sama kalimat Mama itu, yaitu pas kenal sama Joey.
Sebagai anak pertama yang punya tekanan imajiner di kepala sendiri, gue hampir gak pernah sharing apapun yang ada di kepala. Sampai akhirnya gue kewalahan dan Joey nawarin tempat buat bersandar.
Semuanya berjalan cepat. Dan sebagai fresh graduate yang minim pengalaman, ketemu sama Joey itu rejeki yang mustahil gue tolak. Dia nawarin gue kerja di perusahannya jadi sekretaris pribadi yang gak mungkin ditolak. Setelahnya gue makin dibuat ketergantungan sama dia, gak ada satupun hal yang pure gue lakuin sendiri. Selalu ada campur tangan dia.
Pukulan pertama dia lakuin karena gue salah manggil namanya. Dia pikir gue selingkuh, padahal gue cuma terbawa suasana karena habis nonton film. Dan setelah pukulan itu, Joey nangis-nangis minta maaf dan janji gak bakal ngulangin.
Janji yang cuma sebatas janji kosong karena setelahnya dia makin ringan tangan. Setiap gue lakuin sesuatu yang dia pikir itu adalah sebuah kesalahan, tangannya gak tanggung-tanggung melayang, entah ke pipi atau ke tubuh gue yang lain.
Menilik peran dia yang begitu besar di hidup gue, alhasil gue terlalu takut buat laporin dia, meskipun ke keluarga sendiri. Gue berusaha bertahan dengan pikiran bahwa dia bakal kembali lagi ke Joey yang gue kenal di awal.
Tapi nyatanya gak pernah balik. Udah ribuan kali mulutnya ngomong maaf dan ribuan kali juga gue maafin. Bukannya membaik, justru makin-makin.
Mungkin gue yang dulu berhak mikir kalau waktu berjalan terlalu lama, tapi setelah ada di titik sekarang, gue yakin semua ada porsi waktunya masing-masing.
Dan takdir membawa gue ketemu sama Ray, cowok yang gak gue duga-duga bakal dateng di hidup gue. Udah dianya brondong, temen adek gue juga lagi.
Gue sontak geleng-geleng kepala inget waktu pertama kali gue sama Ray ketemu. That was so messy. Bisa gue rasain pipi gue yang mulai memanas, malu gue.
"Ai, Aiko." Sapuan kuas di wajah gue berhenti denger suara Jenar di balik pintu. "Kak, ayo."
"Bentar," teriak gue sambil beresin alat-alat make-up. Sebelum keluar, gue mematut diri di kaca. Malam ini gue pakai midi dress putih yang hampir mirip sama dress inceran gue di Mango, yang sold out pas gue mau beli, cuma bedanya dress yang gue pakai sekarang ada aksen wiru di bagian dadanya. Dan ternyata justru bikin dress-nya kelihatan lebih cantik, apalagi ditambah bagian lengan yang puffed, jadi gue gak perlu baju tambahan buat nutup lengan atas gue.
Gue rapihin rambut yang menjuntai habis itu nyemprotin parfum ke tulang selangka sama tengkuk terus ambil tas dan keluar kamar setelah pastiin semuanya rapi.