🍁VIII : Ke Bumi Lagi (c)🍁

97 25 1
                                    

"Australia," ucap Saga, "Sady bilang, 'Serpihan Niida' pertama ada di Australia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Australia," ucap Saga, "Sady bilang, 'Serpihan Niida' pertama ada di Australia."

Aku tidak menyangkanya. "A-australia? Kenapa?"

Saga terdiam beberapa saat lagi, lalu berkata, "katanya di sanalah tempat Niida lahir dan dibesarkan."

"Lumayan jauh, ya," kata Radit.

Mima berkata dengan bersahabat dan ceria. "Tak perlu risau, aku bisa membawa kalian ke belahan benua manapun!"

Kami berpamitan pada Kak Amma, lalu Mima meminta kami saling bergandeng tangan.

"Sebentar, kita pergi ke Australia bagian mana?" tanyaku baru teringat.

"Aku akan membawa kita ke tempat tinggal sementara dulu. Kalian belum pesan penginapan, kan?" ujar Mima.

"Kamu punya rumah di sana?" tanya Ayahku.

"Tidak, kok."

"Loh, terus ...," bingung Radit.

Sensasi udara di sekitar mendadak terasa kaku dan berat, seolah kami dan udara itu ditarik pergi dengan kecepatan cahaya. Rasanya lebih mengguncang dari menggunakan alat teleportasi. Dan dalam sekejap mata, kami berenam sudah berada di halaman depan rumah berselimut daun-daun kering.

Angin menerpa, aku melihat pemandangan dari ketinggian di balik beberapa pohon di sebelah kiriku dan ada bukit di belakang rumah—tidak, itu bukan sekedar rumah, tapi kabin kayu terbengkalai.

"Kita bisa menempati rumah ini untuk beberapa waktu." Mima melangkah menaiki tangga kecil beranda depan. Kayunya berderak tua ketika diinjak.

Saga bersuara antusias sambil menyusul Mima. "Wah, kelihatannya bakal seru nih malam nanti."

Aku dan Radit bertukar pandang ngeri dan tak yakin. Orang tua kami menyusul ke sana ketika Mima mendorong pintunya ke dalam. "Biar kami cek dulu ke dalam, ya? Kalian tunggu di sini," kata Ibu, meninggalkan kami dengan barang bawaan.

Suara burung Raven—bukan Gagak—yang terdengar kraak kraaak kraaak dari jauh melengkapi efek horor rumah kabin dan sekelilingnya.

"Dit, hantu itu gak ada kan, ya?" risauku.

"Aku belum pernah ketemu sama hantu, sih, Kak," balasnya. "Tapi, aku yakin kalau mereka gak ada."

"Sesuatu yang belum ketemu belum berarti gak ada, bukan?"

Kami hening, tenggelam dalam pemikiran masing-masing.

Saga berdiri di ambang pintu. "Kalian gak masuk? Ada tengkorak, loh, di dalam."

"Tengkorak siapa?" hebohku.

"Tengkorak manusia?" heboh adikkku.

Radit meraih dua tas kami, berlari, masuk buru-buru. Aku menyusul dengan ragu. Rumah kabin kayunya terdiri dari satu lantai. Dari depan terlihat tidak begitu luas, tapi ada ruang depan dan dua kamar yang cukup luas di dalamnya. Bahkan ada tangga menuju ke atas.

Forestesia | Pribumi dan Penjajah [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang