🍁VIII : Ke Bumi Lagi (d)🍁

104 24 2
                                    

Kami tidak jadi menyewa penginapan lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kami tidak jadi menyewa penginapan lain.

Ibu mengusap lengan atas dan agak bergidik bahu. "Ibu gak bermaksud menggunjingi, tapi ibu merasa tidak nyaman menempati ruangan yang berdempetan dengan penyewa asing."

"Lagi pula, kita udah biasa tinggal di dekat alam, untuk apa kita takut?" kata Radit. "Kak Mima juga bakal membawa kita pergi kalau ada yang gak beres."

"Mima sudah pulang. Dia tidak menginap karena ada kegiatan sekolah besok," kataku.

"Yah." Adikku entah kenapa kecewa. "Padahal aku mau bujuk Kak Mima buat pergi ke tempat wisata. Kan enak. Langsung nyampe, terus gratis."

Saga setuju. "Kemampuan kaya gitu praktis banget, ya ...."

Oh? Dia merasa iri pada kemampuan seperti itu?

Aku pribadi bakal iri kalau ada orang yang punya kemampuan untuk menghilang. Itu kemampuan yang sangat, sangat aku perlukan.

Kami makan cukup malam dengan menu yang sudah ibu masak di rumah. Tak membicarakan hal-hal serius dan segera bersiap untuk tidur.

Ayah dan Ibu tidur di kamar sebelah, aku tidur di kasur kamar lain, sementara Radit dan Saga berencana begadang-dasar cowok. Katanya mereka akan tidur di ruang tengah saja sekalian berjaga. Lalu, Ayah yang mendengar itu malah ikut-ikutan, alhasil aku disuruh sekamar dengan Ibu.

Aku memunggunginya. Aku lega kasur ini cukup besar karena kebiasaan tidurku tidak ramah lingkungan. Dan aku juga canggung ditinggal berdua saja dengan Ibu.

"Anna?" panggil Ibu.

"Hmmm?"

"Kalau kamu punya kesulitan sama kemampuan kamu, tak usah segan untuk bilang ke Ibu, ya?"

"Ummm."

Namun, aku beri tahu pun Ibu tidak bisa membantu banyak, kan? Meskipun Ibu sudah sehat, dia sama rapuhnya denganku. Ditambah, tidak ada yang tau tentang kemampuan ini selain Sady dan serpihan Niida.

Pagi kemudian datang. Aku bangun lebih awal, mendapati diri ini merebut selimut dari Ibu, membuatnya meringkuk memeluk diri sambil terlelap.

M-maaf ya, Bu.

Aku memakai baju tebal dan jaket, melangkah ke luar, berkesempatan memandang matahari yang tampak terbit dari balik rumah-rumah. Suhunya lumayan dingin, membuatku ingat pada Nascombe, membuatku rileks.

Kak Amma dan yang lain sedang apa, ya? Aku ingin meneleponnya, tapi aku tidak mau mengganggu misi.

"Kena!"

Aku menjerit, segera menepis tangan yang tadi mendarat di kedua bahuku. Astaga, Mimaaa!

"Matahari terbitnya cantik, kan?" katanya.

Aku mengelus dada, membalas dengan agak kesal. "Gak cantik lagi karena kamu ngagetin."

Dia terkekeh. "Maaf, ya."

Forestesia | Pribumi dan Penjajah [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang